Adegan dibuka di sebuah perkantoran periklanan tempat saya bekerja. Ada Creative Director, Mas Jaja, duduk di sebelah saya. Dia adalah bos saya. Ada partner saya, Iqbal, duduk di seberang meja. Dan beberapa rekan kerja yang sibuk dengan aktivitasnya masing-masing.
“Loe tau ngga nih pembuat Tesaurus Indonesia dan KBBI itu siapa?” Tanya bos saya sambil memegang Roget’s Super Thesaurus milik saya yang selalu tergeletak di atas meja.
“Kayanya Ahmad Dahlan deh.”
“Yakin loe?”
“Kalau ngga salah sih mas.”
“Salah loe.”
Kemudian dia menyebutnya pembuat Tesaurus Indonesia dan pembuat KBBI. Tetapi saya tidak menangkap nama yang disebutkannya. Samar-samar terdengar. Tidak jelas. Namun saya sok mengerti saja.
“Loe tau ngga nih Thesaurus bisa menghasilkan banyak ide.”
Dia melanjutkan kalimatnya.
“Gimana caranya?”
“Loe tunjuk satu kata. Ngasal aja. Dari kata itulah ide loe datangnya. Tepatnya dari kata itu loe bisa mulai satu ide.”
Kemudian dia membuka dengan acak halamana Roget’s Super Thesaurus. Lalu menyuruh saya untuk menunjuk sembarang kata tanpa harus memikirkan kata apa yang akan saya tunjuk.
“Udeh tunjuk aja. Ngga usah mikir.”
Saya langsung menunjuk satu kata. Kemudian dia membacakannya sambil menunjukan kata yang saya tunjuk tadi. Samar-samar terbaca. Samar-samar terdengar suara bos saya membacakannya. Funeral. Atau jangan-jangan bukan Funeral. Kata lain sepertinya. Tapi rasanya kata itu yang saya ingat dan lihat.
“Coba deh loe cari ide dari Funeral. Pasti bakal berakhir di satu ide yang bagus banget. Percaya deh sama gue.”
“Okeh.”
Dia bicara lagi. Cuma semua ucapannya menjadi samar-samar. Saya sama sekali tidak bisa menangkap ucapannya. Namun dalam kondisi itu, saat itu, saya merasakan bos saya ini menjadi satu tokoh yang sangat bijak. Penuh ilmu. Begitu saya berpikir hal tersebut. Raut wajahnya berubah seperti tokoh-tokoh seperti filsuf Cina. Rambut panjang nan putih. Berjenggot panjang dan kumis melenting tajam.
“Loe mikir dulu. Gue mau isi bensin sekalian jemput istri gue. Kalau gue udah balik kita ngobrol lagi.”
“Siap!”
Dia pergi menggunakan mobil sedan. Tetapi selama dia pergi, mata saya ada di atasnya. Jadi, saya melihatnya mengisi bensin, mampir ke rumah sakit, dicek dokter, ngopi dan bertemu istrinya. Istrinya yang mana, saya tidak tahu. Wajahnya samar-samar.
Semua pemandangan menggelap. Saya tidak ingat apa-apa lagi. Adegan terputus begitu saja.
Ketika mata saya terbuka lagi, saya sedang berjalan menuju sebuah rumah. Seorang sahabat. Sahabat dari mana, saya tidak tahu. Yang jelas dia sahabat saya. Kata teman saya, dia meninggal. Jasadnya terbaring di ruang tamu. Saya akan melayatnya dengan beberapa teman lainnya. Beberapa teman lainnya ini juga tidak saya kenal. Terkadang tidak saya kenal. Terkadang saya kenal. Tetapi tidak tahu sahabat dari mana dan siapa.
Saya jadi bingung!
Tiba-tiba dalam perjalanan itu, seorang anak kecil berlari.
“Mas Jaja meninggal,” katanya.
Dalam kepala saya, ketika mendengarnya, seperti ada dualisme tokoh. Satu tokoh bos dan satu lagi tokoh filsuf. Rasa-rasanya dalam diri saya, saya merasa kehilangan yang teramat dalam. Sampai-sampai saya tidak bisa menahan air mata, yang secara otomatis meluncur deras. Sama sekali tak terbendung.
Saya pergi ke tempat tinggal bos saya. Padahal saya tidak tahu dia tinggal dimana. Rumahnya yang mana. Namun ketemu saja rumahnya ada dimana. Ajaib!
Rumahnya di atas bukit. Kalau tidak salah ya. Selama perjalanan itu saya terus menangis. Mengingat kebaikannya sebagai guru besar sekaligus bos. Aneh. Dari mana datangnya istilah itu di kepala saya. Tapi anehnya, saya ingat bahwa bos saya ini punya satu anak. Saya memikirkan bagaimana anaknya nanti. Air mata semakin deras. Saya menangis sepanjang jalan sampai tersedu-sedu. Lelah rasanya menangis seperti itu. Seperti merasakan sebuah derita yang tak berujung. Bahkan ketika saya sampai di rumahnya. Lho? Kenapa orang-orang yang mengelilingnya membaca koran? Kenapa sambil membaca koran mereka manangis juga. Lalu kenapa air mata dan tangisan saya semakin menggila. Apalagi ketika seorang ibu memeluk saya. Ini adegan semakin membingungkan. Saya harus terus terhanyut di dalamnya.
“Sabar ya nak.”
“Hah? Dia kan bos saya. Saya anak buahnya. Bukan anaknya.”
Bingung dengan alurnya, saya pun akhirnya kembali menangis semakin tidak karuan.
“Acara pemakaman akan diadakan di lapangan besar,” kata ibu itu.
Sambil tetap menangis, saya pergi ke lapangan. Melewati pematang sawah. Aneh sekali. Ini tempat yang tidak pernah saya jumpai, tetapi saya tahu jalurnya. Ketika sampai, saya melihat banyak sekali pekerja-pekerja iklan di sana. Tidak mengenal satu pun namun perasaan saya bilang mereka semua pekerja iklan yang sedang menghadiri upacara pelepasan mayat.
Di setiap sudut lapangan dipasang layar-layar besar. Kata-kata berganti visual indah di layar tersebut. Sementara dari pengeras suara terdengar announcer membacakan narasi yang sangat menyentuh. Rasa-rasanya ini suara Iyet atau Petrus. Suaranya terbata-bata. Sesekali di ujung kalimat menangis. Meraung-raung. Membuat mata saya semakin banjir. Sayang sekali, saya tidak ingat persis kata-kata announcer yang indah itu. Yang jelas, semua tentang prestasi bos saya. Piala-piala. Kiprahnya di dunia iklan. Sangat banyak sekali. Disusun dengan kalimat indah. Dibacakan dengan suara berat dan sangat menyentuh. Dia adalah pahlawan periklanan Indonesia.
Saya tidak tahan. Saya berlari. Pergi meninggalkan upacara itu.
Sampailah saya di suatu tempat. Di lapangan yang berbeda. Seperti sebuah pameran poster-poster besar. Di sana terdengar komentator memberikan komentar soal kiprah bos saya di dunia periklanan. Lho? Kok? Kenapa semua foto-fotonya berisi adegan bos saya sedang bermain bola. Bukannya bos saya berkiprah di dunia periklanan? Aneh nih. Jangan-jangan dia alih profesi. Lihat saja gayanya saat menyundul, tackling, sliding dan semua ekspresi di lapangan bola. Anehnya lagi saya tetap saja menangis mengenangnya. Kesedihan yang dipenuhi dengan tanda tanya. Menyedihkan ya.
Saya akhirnya terpuruk dengan air mata yang tidak bisa berhenti. Menangis di bawah pohon pinus sambil memeluknya.
“Grroookkk!!”
Suara dengkuran pohon pinus terdengar kencang. Semakin lama, suaranya semakin jelas. Saya tersadar. Saya sedang memeluk istri saya yang mendengkur. Whuaaaaaa!! Dia merusak mimpi saya. Dan anehnya, ketika saya mengusap mata, air mata saya menggelayut di ujungnya. Saya sungguh menangis dalam mimpi. Kemudian saya mengambil laptop dan menyalakannya.
“Haduh! Jam segini nyalain laptop mau ngapain?”
“Menulis mimpi tadi. Belum kelar mimpinya. Kamu bangunin aku dengan dengkuranmu itu.”
“Hahhahaah!”
Istri saya tertawa puas. Bangun dan pergi ke toilet. Saya bersiap menulis mimpi.
Laptop sudah menyala. Jam digital di laptop menunjukan pukul empat pagi buta. sayup-sayup terdengar suara orang mengaji di pengeras suara mesjid. Hiuh! Sudah mau subuh rupanya. Tulisan mimpi ini harus kelar sebelum matahari terbit. Seperti biasanya. Setiap bangun saya selalu menilis mimpi. Kalau tidak, semuanya akan lupa dalam hitungan jam.
Sambil menunggu satu kata untuk dimulai, saya mengingat kembali kejadian-kejadian di mimpi. Memejamkan mata. Dan kembali tertidur.
“Emang meninggalnya kapan?”
Tiba-tiba adegan saya sedang bicara dengan Account Executive. Dani namanya. Dia duduk di bangku kayu dekat ruang tamu. Di ruangan tengah duduk Juhi Kalia. Tangan kanannya memegang pensil. Tangan kiri memegang lembaran kertas.
“Ini idenya gimana sih?” Tanyanya ke saya. “Ini kok ngga nyambung ya. Bingung saya.”
“Ngga tau. Emang siapa yang ngide?”
“Bukannya kamu? Yah, gimana kamu mau masuk Lowe nih.”
“Hah? Lowe? Siapa yang mau masuk Lowe? Bos saya aja baru meninggal.”
“Iya ya. Kapan meninggalnya?”
“Ngga tau.”
“Coba deh loe cek status terakhirnya di YM,” Dani memotong pembicaraan saya dengan Juhi. Rasanya sih itu Juhi ya. Kurus. Putih. Cantik. Kecil.
Saya pun mengikuti apa yang dikatakan Dani. Saya mengambil Blackberry. Kemudian melihat YM dan status terakhirnya Mas Jaja. Di sana tertulis dengan jelas ”Kembali ke titik koma.” Di bawahnya terlihat kalau Mas Jaja sudah tidak update status selama 10 jam. Jadi, dia meninggal sepuluh jam lalu. Setelah membaca statusnya, saya menggantikan status di YM saya dengan tulisan yang sama ”Kembali ke titik koma.”
“Sepuluh jam lalu dia meninggal,” jawab saya.
Mendengar berita itu, Dani langsung menarik saya ke ruang makan. Ruang makan? Tadi kantor. Sekarang ruang makan. Ini kantor atau rumah? Tidak terrekam dengan jelas. Yang pasti ada ruangan besar. Ada Juhi Kalia duduk di tengahnya sambil mengutak-ngatik kata.
“Wah, kacau nih!” Dani terlihat panik,”Ini gimana produk kita. Siapa yang megang. Juhi?”
“Ngga tau. Gue juga bingung, Dan.”
“Kata Juhi loe mau ke Lowe?”
“Ngarang! Boro-boro. Lamaran ajah belum gue kasih.”
“Terus siapa yang pegang ini. Kacau!”
Dani terlihat frustasi dengan ekspresi wajah serius. Dahinya mengkerut. Dia berpikir keras. Sepertinya.
Saat hening itu Juhi bicara dari ruang besar,”Katanya Vina ngirim SMS tuh. Coba cek.”
Terdengarnya seperti Vina, tapi di saat yang bersamaan saya mendengarnya Wina. Jadi Wina atau Vina? Ketika saya membuka SMS, tertera namanya Wina. Dia menanyakan di SMSnya, “Pensil warna apa enaknya?”
Saya berpikir sejenak. Lalu saya mengetik,”Pelangi.” Kemudian memencet kirim.
“Vina atau Wina itu siapa?”
“HRD,” jawab Juhi.
“Ohhh…!”
Tidak lama kemudian saya mendapat SMS lagi. Isinya sebuah pertanyaan,”Kenapa pelangi?”
“Biar meriah,” kali ini saja jawab tanpa pikir panjang.
“Jangan bercanda. Ini test diterima atau tidaknya kamu di kantor ini.”
Haduh! Saya panik. Saya pikir pertanyaan bercanda. Saya menaruh kembali Blackberry di saku celana. Berjalan ke ruang makan. Melanjutkan pembicaraan dengan Dani.
“Ingetin Mas Jaja, Dan.”
“Apaan?”
“Bilang tuh jangan banyak minum kopi. Kayanya itu deh yang bikin dia meninggal.”
“Kok loe bisa tau?”
“Rasanya gue sering banget liat dia ngopi sampe bercangkir-cangkir.”
“Okeh. Nanti gue bilangin.”
“Sip!”
“Deadline-nya besok tuh kerjaan kalender.”
“Hah?! Kalender?!”
“Iye! Kan ada kerjaan kalender.”
“Waduh!”
Saya kaget. Terperanjat. Terbangun dari tidur. Jarum jam di Blackberry menunjukan pukul enam pagi. Hiuh. Mimpi penuh dengan polemik air mata. Dunia kerja. Deadline. Lebih baik mandi untuk menyegarkan kepala.
“Lihat!”
Saya menunjuk ke arah selatan ketika baru keluar dari rumah untuk berangkat kerja. Tala, mantan pacar saya, yang doyan mendengkur ketika tidur dan sudah menjadi istri saya, melihat ke selatan.
“Wahhhhh! Aku suka sekali pelangiii!” Teriaknya dengan senang.
Aku pergi meninggalkannya diiringi gerimis pagi. Sementara matahari mengintip dari balik bukit. Cahayanya menciptakan fenomena alam yang sangat cantik.
Pelangi.
Kembali ke titik koma. Saya tidak mengerti maknanya apa.
::sonofmountmalang::
26072010