Sebuah pantai yang indah. Pasir putih. Deburan ombak teriak-teriak. Berhembus-hembus angin kencang. Saya sedang ngobrol dengan seorang teman. Dia seorang sutradara muda berbakat.
“Mana scriptnya? Gue mau cek dulu.”
Saya memberikan memberikan script cerita yang sudah saya buat.
“Sebentar gue baca dulu. Ini bahasa Inggris kan?”
“Iya,” jawab saya.
“Bagus. Soalnya pemeran kita kan Julia Roberts.”
“Siapa?!” saya kaget bukan main.
“Julia Roberts!” Jawabnya tegas.
“Lho!? Bukannya Marie Fredriksson?”
“Siapa?”
“Marie Fredriksson!”
“Ya, bukanlah. Jelas-jelas kita mau pake Julia Roberts. Mumpung dia ada di Indonesia.”
Wajahnya terlihat serius membaca berlembar-lembar kertas.
“Udah okeh nih. Tinggal kasih ke Julia Roberts aja.”
Dia merapihkan lembaran-lembaran kertas yang berisi narasi dan dialog. Ceritanya soal apa, sebagai penulis script, saya tidak tahu. Sepertinya tentang drama yang berlangsung di tepi pantai dengan berbagai nyanyian romantis. Ya, sepertinya.
“Julia Roberts sebentar lagi datang. Ntar loe ketemuannya di kafe ya.”
“Gue sendirian?”
“Iya. Gue mau nyiapin buat shoting.”
“Oke.”
Selintas di kepala saya, Julia Roberts itu mirip sekali dengan Marie Fredriksson, salah satu personel Roxette. Lagunya It Must Have Been Love meledak di era 80’an. Namun, tidak lama kemudian, wajah Marie Fredriksson di kepala saya terhapus begitu saja. Digantikan dengan cantiknya wajah Julia Roberts. Senyumnya yang membuat jantung loncat dari rongga dada. Rambutnya yang disibak angin pantai membuat seluruh bulu roma merinding dan darah mendesir ke ubun-ubun. Membayangkannya, saya sangat bergairah.
Tanpa dasar yang kuat, saya merasakan seperti sedang jatuh cinta. Oh, Julia Roberts, I’m comiiing!
Di salah satu kafe di tepian pantai. Sore hari yang indah. Saya mendatangi sebuah kafe untuk bertemu dengan Julia Roberts. Sambil memegang tumpukan script, saya mencoba menghafalkan lagunya Marie Fredriksson. Wanita itu kembali menggantikan wajah Julia Roberts di mata hati saya. Joyride, begitu saya menyanyikan lagunya. Sepertinya saya sangat hafal sekali lirik dan nadanya dengan ucapan bahasa Inggris.
Sesampainya di dalam, saya mendapati Julia Roberts sedang makan bersama dua temannya. Dua-duanya wanita. Gemuk. Wajahnya sangat asia sekali. Mereka pasti bukan dari Amerika. Mereka asli Indonesia. Mulutnya penuh dengan makanan. Tangan memegang kepiting dan lobster ukuran monster.
“Mba Julia Roberts?” saya menyapanya.
Julia Roberts langsung berdiri. Dia menghampiri saya dengan senyum lebarnya yang khas.
“Jul, itu siapa sih?”
Salah satu temannya bertanya dengan mulut penuh makanan dan menatap dengan sinis ke arah saya.
“This is my friend.”Jawab Julia Roberts tenang. Senyum melayang-layang di bibirnya yang seksi.
OMG! Saya dikenali Julia Roberts. Dia menyebut saya temannya. Membuat jantung berlari-lari kencang.
“Julia Roberts. Joyride. This song. This script. I love you. Eat pray love”
Saya bicara berantakan ketika berada di hadapannya.
“Ok. I’ll sing it.”
Julia Roberts mengambil script di tangan saya. Kemudian dia menyanyikan sebuah lagunya Roxette. Judulnya Joyride. Ketika dia bernyanyi, wajahnya seketika berubah menjadi Marie Fredriksson. Setelah selesai bernyanyi, wajahnya kembali menjadi Julia Roberts.
“I love you! I love you! I love you! Please! Please! Be my love. Julia Roberts!”
Tiba-tiba saya memohon. Berjongkok. Memeluk kakinya. Merengek. Meminta dengan sangat kepada Julia Roberts untuk merelakan diri mencintai saya sepenuh hati.
“Well, oke oke.”
Hanya itu jawabannya, tetapi efeknya membuat saya begitu senang. Saya berlari-larian sepanjang tepi pantai berpasir putih sampai ke ujung lautan dan lupa bagaimana caranya kembali.
Lantas segalanya melenyap. Seperti buih di atas pasir-pasir yang termangu bisu.