Tuhan melukis dunia hanya dengan tinta hitam. Nampaknya Ia sedang berduka. Itulah sebabnya, dalam perlukisannya, ia mulai menangis.
Benih-benih dari sudut mata-Nya memburai, menaburi bumi yang menggelap. Angin dingin mulai mendesis. Petir setengah baya memberikan tanda, sebentar lagi tanah ini akan dijamah tangisan dari langit.
Sudah saatnya mencari ruang teduh, tetapi masih bisa menikmati prosesi hujan menjamah tanah, mendesah di atas dedaunan atau meluncur deras di bawah lampu taman.
Mari mencari tempat duduk; santai, tenang dan nyaman dengan wangi kopi yang menyelimuti ruangan.
Di sudut Setiabudi, terlihat sofa merah yang kesepian kesepian dan meja kayu yang bisu, menyambut diam-diam. Tempat yang sempurna di waktu hujan sudah mulai bertandang. Sementara wangi kopi dari penjuru Indonesia mulai tercium. Semuanya merasuk ke dalam pikiran. Saya pun terjebak di banyak pilihan. Aceh Gayo Organik, Toraja, Luwak, Jawa, Mandailing, Flores Bajawa dan Papua Wamena.
Ah! Saya cinta sekali dengan Indonesia ini. Setiap daerah memiliki kopi dengan rasanya sendiri. Tidak salah Tuhan menciptakan saya di Indonesia. Terima kasih, Han!
“Papua Wamena. Strong.”
Akhirnya saya memesannya.
Terbayang kekuatannya dari karakteristik petani-petani Papua. Hitam, kuat dan pahit. Semoga, ketika meminumnya, bisa membukakan jendela di kepala. Mencari titik terang yang hilang di muramnya malam.
Papua Wamena, secangkir kekuatan yang pahit di tengah serbuan hujan yang gelisah tak punya arah. Mari! Letakan tubuh sejenak. Duduk santai. Biarkan lidah menjilat bibir cangkir yang hangat, kemudian rasakan betapa nikmatnya kehangatan yang pahit, sambil mengingat cerita manis di balik legamnya kopi Papua Wamena.
06072010
sonofmountmalang