Kado Istimewa
Selamat Natal dan Tahun Baru. Semoga mendapat kehidupan baru. Haks! Menyenangkan bisa mendengar kalimat itu. Saya suka Natal dan kebaruan dalam hidup. Bisa memberikan daging segar di tubuh tandus ini. Untuk mendapatkan kebaruan itu, saya berdoa di waktu hening. Doa saya sederhana, minta berikan sesuatu di malam Natal dan tahun baru, yaitu Kado Istimewa. Ditaruhnya bukan di bawah pohon Cemara, bukan juga di kotak pos depan rumah. Saya inginnya ditaruh di rahim istri saya. Itulah Kado Istimewa yang saya minta. Tuhan, saya ingin seorang anak di tahun baru untuk memberikan kebaruan di tahun baru.
Eh, tau nggak? Tuhan denger lho doa saya. Di tahun baru, saya sungguh-sungguh dapat kebaruan itu. Beneran Kado Istimewa. Wah, terima kasih Tuhan. Kamu baik sekali ya. Kalau Kamu berwujud sekarang, pasti sudah aku traktir anggur dan roti. Roti dan Anggur terbaik di Jakarta. Serius nih. Saya juga berencana mau bawa coklat untuk temen-temen kantor. Tapi nanti, kalau sudah tiga bulan. Satu lagi deng, saya mau potong rambut. Eh, nanti juga, kalau sudah tiga bulan. Hehehehe!
Senangnyaaaa! Yuk ah senyum-senyum sendiri. Haks!
~
“Kenapa loe crod? Ada apaan sih? Seneng amat muke loe.”
Teman-teman nanya. Penasaran melihat saya bahagia gila.
Sini! Gue bisikin. Biar loe semua kejang terkejut-kejut.
“Gue bakalan jadi bapaaaaaak!”
Itu sih bukan bisikan ya. Itu teriakan. Bikin orang-orang kaget ikut teriak.
Yeeyyy! Selamaaattt! Horee! Congrats! Dan ekspresi-ekskpresi lainnya. Lain lagi ekspresi ibu dan mertua, mereka langsung sujud syukur. Ucapan mereka nyaris sama,”Duhhh…! Dapet cucu pertama. Syukurlah. Terima kasih, Tuhan…”
Padahal saya sudah merencakan kejutan buat mereka. Susah ya. Namanya juga orang tua, dikasih kejutan ekspresinya tidak seperti anak muda. Mereka tidak jijingkrakan atau guling-guling. Mereka cukup mengucap syukur. Kemudian pergi ke gereja. Berdoa di hadapan Bunda Maria dengan hati berbunga-bunga.
~
Aha! Senangnya bisa melihat orang-orang bahagia. Lihat saja, seorang teman dekat mengirimkan ucapan lewat BBM.
“Selamat, anak gunung! Udah berhasil menghamili. Yeeee!”
“Kakakakak! Ternyata gue beneran jantan yak!” Canda saya.
“Jantaaannnnn!” jawabnya lantang.
Yes! Saya pejantan tangguh! Berhasil membuat istri halimah aka hamil.
Saya manggut-manggut di depan kaca. Melinting janggut dan kumis. Wah, jangan dipotong nih. Biar kental kesan bapaknya. Mungkin rambut memang layak dipotong ya. Okeh! Seperti janji, setelah tiga bulan kehamilan, saya akan potong rambut. Itu janji saya.
“Gimana rasanya?” seorang teman lainnya nanya.
“Rasanya? Kaya nelen inek dua kilogram, makan dua piring dadar jamur yang tumbuh di ee sapi, ngisep daun sekarung, orgasme seharian penuh! Kebayang kan rasanya kaya apa?”
“ Kebayang, setan! Hahahahah! ” jawabnya diakhiri tawa gila.
Haks! Sekali lagi, senang ya melihat orang ikut bahagia. Lihat ‘kan? Ngasih kebahagiaan itu tidak harus dalam bentuk materi. Bisa juga bentuknya berita baik. Maka, mari kita sebarkan berita bahagia ini kepada seluruh dunia.
Haks!
Horeehhh! Horeehhh! Horeehhh! Hatiku gembira. Nyanyi ala Sherina saat masih lucu-lucunya.
~
“Eh, yakin loe berhasil ngamilin?” teman yang suka bercanda, nanya dengan gaya bercandannya. Tidak percaya dia.
“Gue beli testpack segala jenis. Gue suruh test pagi-pagi. Dijembrengin dah tuh testpack. Hasilnya semua positif. Meskipun tipis. Gue yakin! Pulang kantor, gue cek lagi tuh testpack, garisnya tetap ada dua. Yakin banget! Test berkali-kali, garisnya keluar. Hamil banget itu nek!”
“Udah cek dokter?”
“Udah. Hasil lab positif. Hasil USG sih bilang kantungnya belum ada. Dokternya juga ngomong, mungkin usia kandungannya masih muda. Jadi ga keliatan. Tunggu dua minggu lagi. Gitu katanya. Dua minggu lagi gue suruh balik.”
“Selamat, coy. Jadi bokap yeh. Jaga tuh bini ama anak loe.”
“Siappp! Laksanakan!”
Asik ya kalau punya banyak teman. Bisa berbagi rasa. Bisa juga dijadikan media pamer. Hakakakak! Pamer jadi bapak kok, bukan pamer kekayaan. Maksutnya, biar yang belum hamil, segera menggenjot siang malam tanpa ampun.
Crod! Salah satu mantra agar hamil. Haks! Haks!
~
Waktu itu kaya anak hiperaktif ya. Terus bergerak dan bergerak. Perut istri saya semakin membengkak. Mulut saya semakin bawel dari biasanya. Melarang dia minum ini, minum itu. Jangan makan ini itu. Harus makan ikan Salmon, Bandeng, sayuran, buah-buahan, vitamin dan susu. Wah! Saya jadi suami terbawel se-alam semesta. Saya mencari menu di Oom Google. Menu khusus ibu hamil. Selain menu, semua artikel tentang kehamilan saya baca. Seru! Seru! Seru! *Gaya Ipin Upin*
Saya bilang ke dia, “Tenang ya, akan aku masakin, masakan terenak, bergizi, bervitamin. Pokoknya lengkap. Buat kamu dan anak kita.”
“Haduuuhh! Ikan lagi nih,” keluhnya.
Saya sih tidak peduli keluhannya ya. Yang penting dia makan makanan sehat. Supaya janin di dalam perut juga sehat.
Sok galak yah!
“Hallo, baby….,” sapa saya sambil mengusap perut istri yang semakin membuncit, ”Kamu bakalan makan ikan dan sayuran hari ini. Suruh mamah kamu suka ikan ya.”
Begitulah cara saya menyapanya. Memutarkan musik klasik. Membuat masakan sehat. Mengupas buah setiap pagi. Membuatkannya segelas susu hangat. Menyiapkan segala kebutuhan agar gizinya terpenuhi dengan baik. Obsesi calon bapak. Istri tidak suka ikan, dipaksa harus makan ikan. Tapi, akhirnya dia makan ikan juga meskipun menutup hidung. Xixixixixi!
Yes! Berhasil!
~
Ada ritual baru dan seru di hidup saya. Mengusap, mencium, menempelkan telinga dan mengajak bicara perut buncit istri, saat bangun dan sebelum tidur. Rasanya asik juga ya mengusap-ngusap perut. Apalagi kalau berdebat soal nama. Siapa namanya kalau wanita dan siapa kalau laki-laki. Namanya aneh-aneh. Mulai dari nama filsuf semisal Nietzsche, Gibran, Rumi sampai penulis macam Shakespear, Virgil, Hemingway, Dante, Bronte dan seterusnya.
Mendengar Dante dan Bronte disebut, dia langsung menolak, “Yehh! Itu mah nama anjing pemberian temen kantormu tuh!”
Oh iya! Bener juga. Haks!
Istri saya memilih nama-nama yang lebih halus. Kalau laki-laki akan dia beri nama Aidan. Kalau perempuan, dia beri nama Alegra. Tapi dia belum sreg dengan nama Alegra. Dia sudah memastikan namanya Aidan kalau laki-laki.
Saya menolaknya. Tidak begitu setuju dengan huruf awal A. Kalau bisa namanya dimulai dari Z, X, Y atau Q.
“Begh!” ucapnya.
Akhirnya diambil kesepakatan. Kalau wanita, dia kasih nama. Kalau pria, biar saya kasih nama. Asalkan jangan beri nama yang bisa diplesetin temannya. Seperti nama saya, bisa jadi bejat, hajat, kurangajat, hujat. Tertawa dia mendengar ucapan saya.
Seru ‘kan?
Kalian harus mengalaminya. Kalau tidak, rugi besar deh. Ada keseruan sendiri. Tidak bisa digantikan dengan mainan apa pun. BBM atau Twitter mah kalah:p. Cobain deh!
~
Malam tadi, seperti biasa, saya mengusap, mencium perut buncit istri saya. Bahkan kembali mengajaknya bicara.
“Eh, baby….ketemu lagi. Baik-baik ya di dalem. Masih suka ikan kan ya? Tuh mama bandel, ngga suka ikan dia. Ayo, kamu pasti suka ikan. Ikan itu enak lho. Sehat lagi. Ya ya ya…!”
Begitu celoteh saya. Sok tahu ya. Kaya bayi di dalam perut sudah bisa mendengar saja. Kemudian saya mengusapnya pelan-pelan. Istri saya mengeluh perutnya lebih sakit dari biasanya. Saya cek di Kang Google soal perut sakit. Ah, katanya ibu hamil memang biasa begitu. Soalnya rahim berkontraksi agar ruangnya membesar untuk perkembangan janin.
“Tenang,” kata saya ke istri yang meringis, ”Itu babynya lagi butuh ruang lebih luas.” Dia pun tenang, lalu tertidur lelap.
Tenang, kata itu ampuh juga ya untuk menenangkan orang. Kalau ada apa-apa, cukup bilang, tenang…nggak apa-apa kok yah. Tenang…
~
Paginya, saya masih mencoba menenangkan saat perutnya semakin sakit. Membuatnya nyaris tidak bisa bangun. Saya mengusap perutnya, tenang kok. Pasti baik-baik aja. Kita ke dokter yah.
Di perjalanan, saya masih menenangkan rasa sakit di perutnya. Tidak ada pikiran jelek apa-apa. Semua akan berjalan dengan baik. Lihat saja, mata sebelah kanan saya sejak kemarin sangat mengganggu. Kedat-kedut terus. Pastinya akan ada kabar bahagia lagi. Kantung kehamilannya pasti kelihatan kali ini. Horeee!
Tidak sampai sejam, ketenangan itu meledak hebat di ruangan dokter. Saya tidak percaya. Kata hati saya, ah tuh dokter pasti lagi bercanda. Bikin orang kaget aja dia. Saya tidak ingin mendengar suara-suara di balik tirai. Suaranya tidak enak di telinga. Sengau. Bising. Gendang telinga rasanya mau pecah. Saya menutup telinga. Sementara ibu mertua di samping berdoa dengan rosario-nya. Ia mencoba menahan air mata. Sayang ya, dia tidak bisa menahannya. Sambil berdoa, dia menangis. Itu dokter bercanda kok, Mam. Tenang saja, hibur saya dalam hati.
“Bisa ke sini sebentar, pak.” Dokter mengajak saya ke balik tirai.
Langkah saya melayang semeter dari lantai. Serasa habis minum segalon Vodka.
“Ini…” dokter itu mulai menjelaskan layar USG, ”Ini rahim,” lanjutnya.
Saya mengangguk sok tahu.
“Ini darah ada di mana-mana.” Dokter menunjuk ke gumpalan darah di daerah perut.
“Yakin darah tuh? Darah dari mana? Warnanya hitam gitu kok yah. Darah kan merah.” Saya menggerutu dalam hati.
“Janinnya mana dok?”
“Nah, ini janinnya. Parkirnya di sini.”
“Dimana itu, dok?”
“Ini saluran Tuba Fallopi.”
“Ohhh. Masih bisa selamat kan dok? Kan janinnya tinggal dipindahin ke rahim, dok.” Saya masih mencoba tenang. Menghibur diri.
Dokter mangambil gambar rahim. Dia menjelaskan soal kondisinya. “Ibunya masih bisa selamat. Janinnya sudah pecah. Tuba Fallopinya juga sudah pecah. Sudah tidak bisa diapa-apain. Sekarang kita harus menyelamatkan mamanya. Karena darahnya sudah kemana-mana. Ini harus dioperasi. Dibersihkan darahnya. Dipotong Tuba Fallopi-nya. Atau mau ke dokter ahli USG buat second opinion. Gimana? Ini harus cepat-cepat. Kasian mamanya kesakitan.”
Dong!! Tiba-tiba, tinju Mike Tyson menghantam jidat saya sekeras-kerasnya. Ibu mertua menangis sepi di kursi. Tangannya menghitung biji-biji rosario. Dia masih mencoba berdoa di tengah kekacauan ucapan dokter. Air matanya saja yang bicara. Saya hanya mampu tercenung. Menopang dagu. Menyulam bisu. Menahan air mata agar tetap terdiam pada tempatnya. Saya perlahan menghapus catatan khayalan di kepala. Bagaimana janin itu semakin membesar, menjadi sebentuk bayi, kemudian lahir, tumbuh, tertawa dan bermain. Mengajarinya membaca novel-novel klasik, filsuf-filsuf dunia dan melandasinya dengan semua agama yang ada. Hindu, Budha, Islam dan Katolik. Ah!
Perlahan saya, semampunya menghapus halaman demi halaman, namun tangisan bayi-bayi yang baru lahir di luar ruangan, membuat saya sulit menghapusnya. Damn!
Mungkin saya harus keluar ruangan sejenak. Mengumpulkan kembali ketenangan dan kekuatan yang sempat tercerai-berai. Di luar, saya melihat lalu-lalang, tawa kecil, tangisan kencang bayi-bayi mungil nan lucu. Saya tersenyum. Betapa lucunya bayi-bayi itu ya. Sayang, bayi saya tidak bisa tumbuh sebesar itu. Dia tidak tumbuh di dunia, tapi dia tumbuh di pangkuan Tuhan. Begitu kata Romo. Hiks!
~
Saya kembali ke ruangan. Menyapa istri yang meringis kesakitan, ketakutan bercampur kesedihan.
“Aku takut dioperasi. Aku takuttt…”
“Tenang ya. Kan ada aku. Kamu nggak boleh down. Nggak boleh nangis. Kamu harus sabar dan tabah yah. Tuhan punya rencana lain buat kita berdua.”
“Tapi aku takuttt…” dia pun menangis pelan.
“Tenang yah. Lihat nih dokter ajats, tenang kan,” canda saya sambil merapihkan jubah penutup yang sering dipakai dokter-dokter saat operasi. Dia terpaksa tersenyum. Yah, setidaknya saya bisa melihatnya tersenyum. Itu bisa membuat ketenangan saya pulih kembali.
Setelah tenang, saya melepasnya ke ruang operasi. Kedua mertua saya terpaku diam di atas bangku. Sesekali mengusap air matanya. Harusnya hari ini hujan deras. Jadi saya bisa hujan-hujanan di luar, agar tak seorang pun tahu kalau air mata saya keluar deras.
Kami bertiga pun tidak saling bicara, tapi jiwa kami terikat isyarat yang sama. Meresapi kedukaan yang terlalu dini untuk kami nikmati di bulan Januari. Bulan dimana Tuhan memberikan kado istimewa, kemudian mengambilnya kembali.
~
Terima kasih, Tuhan. Kadonya sangat istimewa meskipun hanya tujuh minggu. Kami menunggu kado berikutnya ya. Kasihan istri saya. Dia menangis setiap kali mendengar tangisan bayi di kamar sebelah kiri dan kanan.
“Sedih ya. Aku denger tangisan bayi di kiri kanan,” ucapnya setelah berada di kamar rawat. Menohok jantung saya.
“Tabah dan ikhlas ya sayang. Tuhan pasti ngasih kado lebih istimewa lagi.”
Saya tetap berusaha membuatnya tenang.
“Aku iklhas, tapi aku tetep sedih.”
“Aku tau….”
Dia menangis. Hati saya langsung diiris kecil-kecil. Ah! Sesak rasanya. Seakan tenggorokan ini tersedak air mata miliknya sebesar kepalan tangan orang dewasa. Kali ini saya sungguh-sungguh butuh hujan deras.
Sayang sekali ya, hujannya tidak turun. Jadilah saya pergi ke kamar mandi. Cuci muka. Menghapus wajah duka. Menyiramnya dengan senyuman dan harapan. Karena itulah yang bisa kita lakukan. Untuk membuatnya tetap kuat. Ya, hanya itu…
Selamat jalan Aidan – Alegra. Selamat malam, istriku sayang:).
Aku mencintai kalian.
“sonofmountmalang”
YPK, Menteng, 12.01.2011