Suasana sangat kacau balau. Matahari terlihat sedang digerogoti binatang aneh. Kemampuan bersinarnya berkurang. Menjadikan orang-orang di bumi sedikit mengalami kegelapan. Saya dan teman kantor sedang nongkrong di Setiabudi.
Bobby, salah satu teman kantor saya tiba-tiba berdiri, ”Eh, Jats. Ini mau kiamat lho.”
“Hah!? Kiamat!? Bukannya 2012?!”
“Lho, ini kan udah 2012.”
“Wadduh! Neraka! Gue belum ibadah!”
“Mau ibadah dimana? Semua tempat ibadah udah ancur lho.”
Saya panik. Takut masuk neraka kalau hari ini kiamat sungguh terjadi. Bobby terlihat sibuk menyelamatkan ikan-ikan yang menggelapar di darat. Sementara Rinda, teman sekantor dulu, asik menyaksikan di tangga.
“Jats!” teriak Rinda,”Tolongin Anggia tuh! Dia ga bisa berenang!”
Di sungai berwarna hitam, seorang teman saya, Anggia, terlihat sedang berjuang berenang ke sungai hitam. Teman-temannya, Lala, Yana dan lainnya malah bertepuk tangan di pinggir sungai. Anggia timbul tenggelam di air sungai hitam. Sesekali gerakannya berubah menjadi gerakan ikan paus. Meloncat tinggi ke permukaan air. Ini Anggia apa ikan paus? Pikir saya dalam hati. Bingung harus menyelamatkan dengan cara apa. Air sungainya terlalu dalam. Saya bisa mati di sana.
“Jats, loe mau masuk surga?” Bobby bertanya ke saya.
“Maulah!”
“Kita harus jadi Nabi Nuh,” katanya, “Kita harus nyelamatin ikan-ikan ini. Loe selamaten ikan cere. Nih embernya. Masukin ikan cerenya ke ember. Nanti embernya dibawa ke perahu.”
“Perahunya dimana?” tanya saya heran. Di daratan seperti ini mana bisa perahu berlabuh.
“Ntar perahunya terbang kok.”
“Wew!”
“Buruan! Sebelum kiamat nih!”
Tanpa bertanya banyak lagi, saya langsung mengambil ikan cere yang menggelapar di daratan. Saya memasukannya ke dalam ember berisi air. Ini satu-satunya kesempatan untuk memuluskan saya masuk ke surga. Yes!
Anehnya, sebanyak apa pun ikan cere yang saya masukkan ke dalam ember, tidak pernah penuh-penuh. Malahan ikannya semakin berkurang. Kenapa bisa begitu? Hah! Rupanya Rinda mengambil ikan cere di ember dan memakannya.
“Rindaaa! Gila kamu! Ini kan tiket gue masuk surga! Kenapa loe makan ikan cerenya!”
Saya kesal. Saya mengambil ikan cere yang ada di tangan Rinda. Bukannya bantuin mengambil ikan cere di daratan, eh dia malah sibuk makan dari ember. Rese!
“Ini kan enak,” jawabnya sambil mengunyah sisa ikan cere. Kemudian dia memasukan satu ikan cere hidup-hidup ke dalam mulutnya. Glek! Langsung ditelan. Wong edhan!
“Please, bantuin donk. Jangan cuma makan,” saya memohon sambil bersujud di depannya.
“Iya iya iya. Gue ganti ikan cerenya.”
“Asiik!”
Saya senang ikan cere saya diganti. Tapi suwenya, Rinda menggantinya dengan ikan cere yang sudah mati.
“Maksut loh???!!!” teriak saya.
“Ahhh…! Kan gampang kalo nangkep yang udah mati.”
Clep! Pasrah.
“Suka-suka loe deh ah!”
Saya konsentrasi mengambil ikan cere di daratan untuk diselamatkan dan dibawa ke perahu. Saya harus menjadi nabi Nuh agar bisa masuk surga.
Amin!
Matahari sudah coak di sana sini. Ukurannya tinggal segede biji kacang tanah. Ikan cere tidak kunjung abis di daratan. Ember berisi ikan cere, tidak juga penuh-penuh. Meskipun begitu, saya tetap sabar mengambilnya hingga batas waktu tak terkira. Hingga dunia sungguh-sungguh gelap. Kemudian semua kegiatan berhenti. Saya tidak masuk neraka, tidak juga masuk surga. Saya masuk dunia nyata.
Bangun, lalu menyeduh kopi panas.
“sonofmountmalang”