Epidose Hantu

Frame pertama dibuka dengan adegan saya dan keluarga dari istri sedang berlibur di puncak. Menginap di sebuah villa, tepat di atas puncak bukit tinggi. Di dalam villa, terdapat ruang tamu, ruang makan, kamar tidur dan toilet. Di dinding-dinding tembok, tergantung foto-foto engkong dan emaknya istri saya. Fotonya hitam putih. Mereka sudah meninggal beberapa tahun lalu.

Kami semua duduk di ruang makan. Menikmati hidangan malam berupa babi panggang di atas meja. Warna kulit dan daging babinya coklat berminyak, tetapi mulut monyongnya tetap pinky-pinky basah. Moncongnya masih gerak-gerak. Matanya kedip-kedip minta belas kasihan.

Kasihan ya si babi.

“Vel,” panggil mertua saya,”Kamu sebenernya ga papa restui lho nikah sama Chika. Apalagi engkong sama emak sekarang gentayangan. Mereka nggak setuju juga.”

Mertua saya menunjuk ke foto-foto hitam putih engkong-engkong emak-emak cina nemempel di tembok. Masing-masing matanya melotot ke arah saya. Hiiii!!

“Tapi…” mertua saya melanjutkan kalimatnya,”Kalau engkong sama emak ngasih restu, kamu boleh nikah sama Chika.”

“Engkong sama emak kan udah meninggal, pah. Gimana caranya dapet restu mereka?” saya melirik ke foto engkong dan emak yang menatap serius ke arah saya.

“Gampang. Panggil arwahnya. Bakar hio di tuh di meja.”

Merrtua saya menunjuk ke meja. Di sana ada foto engkong dan emak. Di kanan kiri fotonya tersaji bunga dan buah-buahan. Di depan foto terbakar beberapa batang hio. Di kanan kiri hio, menyala lilin dua batang berwarna merah.

“Kamu minta maaf sekalian minta restu sama engkong dan emak ya,” lanjut mertua saya.

Saya pergi ke depan meja. Berdiri sambil memegang  tiga batang hio, menatap kuat-kuat foto engkong dan emak. Mereka balik menatap saya. Lalu saya jampe-jampe dengan bahasa cina dengan tangan gemetaran.

Hebat! Saya bisa jampe-jampe dalam bahasa cina.

Bulu roma mulai berdiri, hawa menjadi dingin, lampu kriyep-kriyep, angin berhembus kencang. Sepertinya engkong dan emak sudah datang. Saatnya berdialog, meskipun saya ketakutan setengah hidup.

Dialog pun tidak pernah terjadi. Saya keburu kabur dari villa membawa istri saya menuju penginapan lain.

 

Episode Beol

Suara kicauan burung di pagi hari membangunkan saya dari tidur nyenyak di villa puncak. Hawanya terasa sejuk menyegarkan. Badan dan pikiran seperti diisi energi baru.

“Bangun! Kita mau lari pagi naek mobil ke atas gunung bareng tukang ojek.”

Saya membangunkan istri yang tertidur lelap. Yang dibangunkan tidak bangun-bangun. Ketika selimutnya saya singkap, di sana hanya ada guling. Istri saya hilang. Pasti diculik arwah engkong dan emaknya nih.

“Cik! Ciikkkk! Dimana kamuuu!?”

Saya berteriak memanggil-manggil namanya. Tidak ada sahutan apa-apa.

Saya memutuskan untuk mencuci muka dengan embun-embun dari ujung daun.

Brrrr!! Seger! 

Saya melanjutkan mencarinya ke masjid-masjid, ke gudang dan kamar mandi. Istri saya hilang. Sedih rasanya.

“Kenapa sedih?” tiba-tiba suara istri saya muncul dari belakang.

Saya menengok. Terlihat dia membawa peralatan mandi. Gayung, sabun, pasta gigi, sikat gigi, shampoo dan handuk.

“Dari mana sih?”

“Abis mandi,” jawabnya santai.

Plong! Istri saya tidak hilang. Dia pergi mandi rupanya. Sekarang dia sudah kembali.

“Pengen beol. Dimana ya?” tanya saya sambil merapatkan pantat. Mendengar kata mandi, panggilan alam langsung mendesak mau keluar.

“Di sana. Di bawah sana. Lurus aja.”

Istri saya menunjuk ke lembah luas di bawah sana.

“Wah! Jauh sepertinya.”

“Deket. Lari aja.”

Saya langsung berlari menuju lembah. Mencari-cari kamar mandi untuk buang air besar. Kamar mandi pertama terkunci. Kamar mandi kedua, ada gadis desa sedang keramas. Begitu terus. Setiap kamar mandi yang saya datangi, di dalamnya pasti ada orang. Ada yang sedang mencuci baju, mandiin kambing, nyuci mobil, ada juga yang sedang disedot WC-nya. Yang lebih mengesalkan, kamar mandinya kosong, airnya juga kosong. Kering kerontang! Sementara panggilan alam semakin mendesak. Saya berjuang menahannya sambil berlari ke sana ke mari mencari kamar mandi kosong.

Sudah banyak kamar mandi yang ditemukan, tidak ada satu pun yang kosong. Semua kamar mandi selalu penuh. Diisi berbagai kegiatan. Saya memutuskan untuk menuju kamar mandi di masjid. Mungkin di sana kosong.

Ketika saya masuk, kamar mandi masjid sudah berubah menjadi kuburan massal. Banyak sarang laba-laba, nisan batu, kayu dan keramik ada dimana-mana. Kelopak bunga warna-warni dan menyan terbakar terlihat di dekat nisan. Serrrr! Bulu-bulu langsung berdiri. Saya pun menutup pintu kamar mandi. Lalu berlari menuju tempat lain.

Ini kamar mandi yang tepat sepertinya. Saya berhenti di sebuah kamar mandi besar berbentuk panggung. Di bawahnya ada kolam ikan. Saya membuka pintu perlahan. Kreekk! Ada suara riuh di dalamnya. Saya pun membuka lebar-lebar pintu kamar mandi, di dalamnya terlihat ada kehebohan konser musik. Ahmad Dhani terlihat bernyanyi setengah berdakwah di mimbar. Sementara jutaan 414y jingkrak-jingkrak tak berpola.

Rusuh! Bising! Kamar mandi dipakai konser.

“Oiii! Gue mau beol nih! Ngapain pada konser di kamar mandi!?” teriak saya penuh kekesalan. Tentunya sambil menahan supaya panggilan alam itu tidak keluar tiba-tiba.

Ahmad Dhani melongokkan kepalanya keluar pintu.

“Mau beol ya? Tunggu gue kelar konser ya.” Katanya.

“Iye! Buru! Jangan lama-lama! Ga tahan neh gue!”

“Sipp! Tunggu ya. Lima lagu lagi.”

Dia kembali ke dalam. Menutup pintu dan melanjutkan konser. Gemblung! Kaya nggak ada tempat lain aja buat konser.

Saya pergi berkelana mencari kamar mandi. Masuk hutan keluar hutan. Masuk desa keluar desa. Masuk lagi ke hutan. Mendaki gunung. Menuruni lembah. Berjalan di bukit. Tidak ada satu pun kamar mandi kosong. Semuanya seakan-akan sengaja diisi penuh supaya saya tidak bisa buang air besar. Perbuatan kejam!

Saya kembali ke istri saya. Dia menunggu di bukit.

“Ga nemu kamar mandi. Semuanya penuh. Ga jadi beol deh. Kita pulang aja.”

Kami berdua pergi meninggalkan bukit. Rasa ingin buang air besar pun hilang sudah.

Epidose Domba Edan

      “Mbeeeeeee! Mbeeeeeee!”

Secara tiba-tiba, dalam perjalanan pulang, ada dua domba dengan tanduk besar menyeruduk dari belakang. Domba itu teriak-teriak. Ngamuk. Dia mencoba menanduk, saya berkelit. Beletak! Suara keras tandukannya mengenai dada istri saya. Istri saya memegang dadanya. Dia menahan sakit. Kemudian domba satunya datang menanduknya dadanya lagi. Bunyi keras terdengar lagi. Istri saya tersungkur ke tanah. Dia meringis menahan sakit. Emosi saya langsung memuncak.

“Dasarrr domba anjing! Keparat! Domba babi! Domba edan! Lawan gue kalo berani! Anjing lu domba!” saya teriak-teriak memaki kedua domba edan. Saya memegang tanduk domba yang satu. Kemudian dengan sekuat tenaga, saya membanting-banting tubuh domba ke kayu raksasa. Tubuh domba besar itu pun dalam seketika berubah menjadi kerepes. Setipis baju di papan penggilasan. Mampus! Saya melemparkan tubuh domba edan ke lembah. Tinggal satu domba lagi.

“Sini lu babi!!” teriak saya menantang domba edan. Dia memasang kuda-kuda. Rupanya dia marah karena temannya sudah tamat. Dengan cepat dia menyeruduk ke arah saya. Kecepatannya seperti kilat. Dia menyambar sambil teriak, “Mbeeeeeeeeeeeee!!!”

Beruntung gerakan saya lebih gesit. Jadi, saya langsung memegang tanduknya kuat-kuat. Membantingnya ke tanah. Sekali, dua kali, tiga kali dan berkali-kali tanpa ampun.

“Ampuuunnn! Jangan bunuh gue! Jangan bunuh! Ampuunn!” Domba edan itu ngomong. Dia memohon ampun. Sayangnya, tak ada kata ampun di kamus saya. Hanya ada satu kata di kamus saya, MATI! Saya melempar domba jauh ke lembah. Matilah dua domba edan itu.

Saya membangunkan sang istri. Tangannya masih memegang dada yang terkena tandukan dua domba edan.

“Masih sakit?” tanya saya.

“Udah ga begitu. Cuma sesak aja dadanya.”

“Tentang, udah aku bunuh domba edannya. Keduanya udah modiyar!”

“Dibuang kemana mayatnya?”

“Tuh, ke lembah.”

Saya menunjuk ke lembah. Kami berdua melihat ke arah lembah. Dari arah lembah terdengar gemuruh  kencang. Gemuruh itu menuju bukit. Kami berdua memerhatikan gemuruh itu. Semakin lama, suara gemuruh semakin dekat. Setelah berjarak 20 meter, barulah terlihat. Dua domba tadi sudah berubah menjadi domba raksasa. Kakinya menunjuk-nunjuk ke arah saya. Matanya memerah. Tanduknya meruncing. Mulutnya mendengus, mengeluarkan asap hitam. Mereka siap balas dendam. Istri saya panik.

“Santai aja. Ga usah  panik. Kita habisi dua domba edan ini. Okeh!”

Saya menyiapkan gelondongan kayu seukuran dua kali drum. Rencana saya, kalau kedua domba edan itu mendekat, saya tinggal menggelindingkan kayu besar ini ke arahnya. Kedua domba edan itu akan segera terlindas gelondongan kayu. Mati digencet.

Rencana berhasil sesuai prediksi. Kedua domba mati tergencet kayu di bawah sana. Kami berdua selamat dari amukannya.

Syukurlah.

Sekarang saatnya saya bangun dan pergi ke kamar mandi.

“sonofmountmalang”

 


komen sebagian dari blogging!:))

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: