Saya tersesat di hutan belantara. Pohon-pohon tua berlumut menjulang ke angkasa. Sinar matahari hanya berupa bercak-bercak putih menembus dedaunan. Jejak-jejaknya tertancap di hamparan daun coklat di tanah. Suara cenggeret bersahutan di segala arah. Anjing hutan terdengar melolong panjang. Burung pelatuk sibuk mematuk-matuk. Rupanya, sore sudah sampai di hutan ini.
Saya tidak bisa menemukan jalan setapak pun untuk pulang. Mungkin harus menginap di hutan ini. Tidur di atas pohon atau membuat tenda dari ranting dan daun. Saya memutuskan untuk memanjat pohon saja, tidur di atasnya agar tidak dilahap binatang buas.
Setelah menemukan pohon yang tepat untuk dipanjat, saya menyiapkan diri. Meregangkan otot-otot dan sedikit pemanasan.
Hup! Hup! Hup!
Saya memanjat pohon senti demi senti. Tidak semudah yang dibayangkan ternyata. Memanjat pohon berlumut itu susah. Tapi, demi selamat dari binatang buas, senti demi senti pun saya panjat. Lama-lama juga menjadi bermeter-meter jarak. Betul?
Saat sedang asik memanjat pohon, secara seporadis terdengar suara kelinci dari segala arah. Dari ketinggian pohon yang saya panjat, terlihat ribuan kelinci membawa perlengkapan perang. Panah, tombah, pedang, palu, tameng, kapak dan senjata perang lainnya. Mereka menyerbu seperti suku Indian yang siap melalap musuhnya.
Melihat ribuan kelinci lengkap dengan senjata, saya langsung ngebut manjat pohon. Ukuran kelincinya sangat tidak masuk akal. Badannya segede beruang madu. Dari mulutnya, keluar taring tajam.
Cilaka berbelas-belas! Panjatan belum tinggi, kelinci-kelinci itu sudah keburu sampai di bawah pohon. Mereka bahu membahu menarik kaki saya.
“Turun! Turun! Turun!”
Ribuan kelinci itu berteriak-teriak di bawah sana. Mereka mengacung-ngacungkan senjatanya.
Hiks! Bakalan mati di tangan kelinci nih, pikir saya.
Mereka berhasil menurunkan saya dari pohon.
Sambil menghentak-hentakkan senjatanya ke tanah, ribuan kelinci ini berteriak-teriak lagi,”Bunuh! Bunuh! Bunuh!”
Saya melihat satu per satu kelinci yang ada di sekeliling. Kalau saya lawan, sudah bisa dipastikan saya tidak akan menang. Kalau tidak dilawan, mau saya taruh dimana harga diri ini sebagai manusia. Masa nyerah begitu saja di hadapan kelinci-kelinci raksasa ini. Saya pun mencari titik terlemah kelinci-kelinci ini. Mata saya tertuju ke satu kelinci. Badannya lebih kurus, bulunya coklat, bibirnya seksi, wajahnya cantik dan payudaranya menonjol. Sepertinya saya harus menyerang satu kelinci ini. Menjadikannya tawanan agar lolos dari amukan ribuan kelinci.
Dengan aba-aba singkat, saya langsung menyerang satu kelinci seksi. Kemudian menodongkan ranting tajam ke lehernya.
“Jangan gerak! Atau gue bunuh nih temen loe!” teriak saya sambil mengancam kelinci cewek yang imut-imut menggemaskan. Ribuan kelinci lainnya langsung diam. Mereka saling lirik satu sama lain.
Saya mundur pelan-pelan. Menjauhi ribuan kelinci raksasa itu. Setelah cukup jauh, saya melepaskan kelinci yang saya tawan.
“Sekarang kamu bebas,” ucap saya,”Silakan pergi.”
“Aku ikut kamu aja deh. Aku mau dinikahi kamu aja. Pleasee…!”
Kelinci cewek itu merengek-rengek di depan saya. Dia menangis.
“Masa gue kawin sama kelinci? Ogah! Pergi sana!”
Saya mengusir kelinci itu. Wajahnya terlihat murung. Saya jadi tidak tega melihatnya. Menurut saya, kelinci itu hewan lucu. Tapi, masa saya harus mengawini kelinci? Yang bener saja!
Saya meninggalkan kelinci itu di bawah pohon. Dia menangis tersedu-sedu.
Baru saja saya melangkahkan kaki, tiba-tiba ribuan kelinci terdengar datang lagi. Mereka menyerbu dari segala arah. Mereka sungguh-sungguh marah kali ini. Terlihat dari ekspresi wajahnya yang geram.
Gawat!
Saya membalikan badan. Memegang kelinci cewek yang sedang menangis, memeluknya dari belakang. Badan akan saya jadikan tameng untuk menahan serbuan panah, tombak dan senjata lainnya. Licik yak!
Tidak perlu menunggu lama, ribuan panah, tombak dan senjata lainnya melayang di udara. Semuanya tertuju ke arah saya. Enaknya, saya sudah menyiapkan tameng kelinci. Tidak apalah satu kelinci mati hari ini. Masih ada ribuan kelinci lainnya.
Ribuan senjata semakin mendekat.
Dan pluk! Pluk! Pluk! Pluk! Senjata-senjata itu berjatuhan di depan saya. Tak ada satu pun senjata yang mengenai tubuh kelinci. Ribuan kelinci itu melepaskan senjata lagi, semuanya meleset. Sampai akhirnya ribuan kelinci itu kehabisan tenaga dan senjata. Mereka berhenti, putus asa dan pergi satu per satu.
Saya menarik napas lega, kemudian membuka mata.
Sambil membereskan bantal dan guling, saya mengucap janji dalam hati, “Saya tidak akan pernah makan sate kelinci!”
“sonofmountmalang”