Si Cacing dan Kotoran Kesayangannya 2. Judulnya terkesan jorki. Well, don’t judge a book by its cover ya. Buku ini, meskipun bagian luarnya bergambar cacing dan kotoran, tetapi isinya, menurut penilaian saya, berisi humoran, gurauan, guru, sentilan, ilmu, meditasi, kesabaran, pembuka hati, pembelajaran, cinta, damai, keindahan hidup, kearifan, berlian dan segala jenis kebaikan, yang bisa dicomot, kemudian diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Serius lho! Membaca buku ini, batin serta merta seperti terhipnotis sejuta malaikat kebaikan. Kita, eh saya, seakan-akan, mencoba, menjadi manusia yang sangat baik, sabar dan sebegitu damainya. Sampai-sampai, saya, bahkan merasa bersalah kalau perilaku saya sudah mulai menyimpang. Ya eyalahyah! Bukan begitu maksudnya, sebagai contoh, saya tahu pemotor-pemotor itu memang orang-orang yang sangat sulit diatur, dan saya tahu mereka salah, tetapi saya juga tahu mereka tidak akan pernah bisa diatur *emangnya gue polisi sok ngatur!* dan rasanya merasa bersalah kalau tangan saya memencet klakson sedikit lama:D.
Namun, akan tetapi, sesungguhnya, demikian, pret! Saya pada akhirnya mencoba kembali ke jalan yang benar, bersabar dan membiarkan terserah maunya mereka gimana. Saya nggak rugi juga kan. Ya kan kan?
Pengalaman sederhana saja, beberapa waktu lalu, jalanan sangat macet. Pertigaan lampu merah sudah terkunci. Semuanya maju, tidak ada yang mau mengalah. Beruntunglah saya belok kiri langsung, jadi tidak ikut terlibat di tengah-tengah pertigaan. Eh, ternyata saya malah kejebak macet tiga meter setelah pertigaan. Tahu penyebabnya kenapa? Jalur saya, yang lima meteran berikutnya saya tempuh sejam setengah, sampai matiin mesin segala, punya masalah yang sederhana banget penyebabnya, jalur saya sudah penuh dengan ratusan motor sampai puluhan meter ke depan sana. Ratusan wajah-wajah berhelm itu melihat ke arah saya. Nggak tahu apa yang ada di kepala mereka. Bersalahkah? Sabodo teuingkah? Atau apa ya? Tebakan saya, mungkin mereka berpikir kalau mengambil jalur saya bisa mendapatkan jalanan lancar menuju rumah dengan cepat. Lha? Mau jalan gimana? Wong itu jalur orang. Ya, pasti nggak geraklah. Human! *marah lagi*:p
Nah, pada tahap ini, saya sedang hidup dengan orang-orang yang begitu sulit. Jalan satu-satunya adalah ah ya sudahlah. Sabar dan pasrahkan saja. Terserah maunya gimana. Mau marah? Nglakson sampe jebol? Tidak akan pengaruh buat pemotor. Toh, dia juga nggak bisa gerak. Selain itu, mereka juga orang-orang yang “sulit”.
Jadi saya harus menerimanya. Gampang ya. Saya tidak kesel, tidak dongkol, tidak marah-marah, tidak ngumpat. Ini tidak akan membuat saya mati. Begitu saya pikir. *padahal di twitter misah misuh* Kan itu twitter:p
Menjadi orang baik itu tidak susah. Masalahnya apakah kita ada keinginan. Betul? *Ala Almr. Dai sejuta umat*
Itu bagian kecil dari buku Si Cacing yang bisa diselami, masih banyak hal lainnya yang bisa diselami, kemudian pelan-pelan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Enak kok menerapkannya. Berasa mendapatkan kesejukan di tengah compang-campingnya kehidupan negeri ini. Tapi, sekali lagi, kita bukan manusia sempurna yey. Kadang, pembelajaran itu tidak berlaku untuk situasi tertentu. Lepas kontrol neeeek!
Sebagai bonus review ala kadarnya, saya kasih salah satu tulisannya ya. Ini khusus buat kalian-kalian yang sudah bekerja atau bertemu dengan orang-orang yang “sulit” di kantor, di jalan, di rumah atau dimana saja.
Selamat membaca. Dan beli juga nggak bakalan kecewa:)
Hidup Bersama Orang Sulit
Beberapa orang bertanya kepada saya, bagaimana cara menangani orang-orang yang sulit. Di lingkungan kerja, kadang kita bertemu dengan orang-orang semacam ini.
Pertama-tama, terapkan prinsip bahwa : kita tidak akan pernah bisa lolos dari orang sulit. Orang yang sulit adalah bagian dari hidup. Bahkan sekalipun saya meninggalkan keduniawian untuk menjadi biksu, saya pikir saya hanya akan hidup bersama orang-orang yang tercerahkan, namun sayangnya tidak semua biksu adalah orang yang tercerahkan. Sebagian besar biksu tidak langsung tercerahkan dan sebagian sangat sulit diajak hidup bersama.
Kenyataannya, sebagai biksu sepuh, saya sering mendapat surat permintaan untuk menampung biksu dari wihara lain yang mengatakan, “Kami punya biksu ini…”. Dan jika mereka menulis “ia menyukai kesunyian”, itu sesungguhnya sandi untuk mengatakan bahwa biksu itu tidak bisa akur dengan siapa pun, atau “ia pekerja yang sangat baik”, artinya ia tidak bisa bermeditasi sekalipun terancam maut, atau “ia sangat introspektif dan kontemplatif”, yang berarti ia mencari-cari kesalahan orang lain dan mengatakannya kepada orang lain.
Jadi biasanya jika mereka bilang bahwa mereka ingin mengirim biksu dari wihara lain, kami menelpon biksu yang bukan kepala wihara itu, melainkan biksu lainnya untuk mencari tahu orang macam apa yang mereka kirimkan untuk memastikan orang itu tidak bakal menjadi pembuat onar.
Jika, entah bagaimana, pembuat onar datang ke bisnis Anda, keluarga Anda atau Anda lahir bersama mereka, mereka anggota keluarga Anda atau Anda jadi guru mereka, atau mereka muncul begitu saja dalam hidup Anda, apa yang bisa Anda lakukan? Ini adlaah masalah yang setiap dari kita harus hadapi dari waktu ke waktu : berurusan dengan orang sulit.
Bagaimana kita menangani hal ini? Nomor satu : Terimalah bahwa orang sulit adalah bagian dari hidup. Alih-alih menjadi galau sendiri, “Aku tidak menginginkan ini… ini salah! Mengapa aku harus berurusan dengan ini? Mengapa harus saya?” Ketimbang segala macam pemikiran negatif yang bikin masalah tambah rumit, kadang kita cukup belajar cara hidup bersama orang sulit.
Ketika saya masih muda, ketika belum banyak buku spiritual terbit, saya ingat akan seorang guru spiritual tua yang istimewa. Ia tinggal di Perancis oada zaman antara Perang Dunia I dan II. Namanya Gurdjieff. Ia adalah seorang pemimpin komunitas spiritual kecil. Nah, dalam komunitas itu ada satu orang pembuat onar – orang yang begitu sulit untuk diajak tinggal bersama. Semua anggota komunitas itu sering sekali mengeluh kepada guru mereka. “Orang ini benar-benar bagaikan duri dalam daging. Dia tidak pernah bersih-bersih, selalu bikin rebut, makan semua yang enak-enak, benar-benar sulit an egois, dia sama sekali tidak spiritual. Bolehkah kami mengusirnya?” Gurdjieff selalu mengatakan,”Tidak. Jangan. Belajarlah dari hal ini. Sabarlah, milikilah batin yang lebih lapang dan berbelas kasih”.
Setiap orang mengeluhkan orang ini, namun Gurdjieff tidak pernah mengusirnya. Sampai setelah guru besar ini meninggal, ketika mereka menelusuri surat-surat dan berkas miliknya, mereka menemukan buku catatan keuangan komunitas itu. Setiap anggota komunitas itu membayar iuran agar bisa tinggal di sana. Namun dalam catatan itu si pembuat onar adalah satu-satunya yang bukan hanya tidak membayar, tetapi malah mendapat uang dari Gurdjieff! Ternyata dia adalah anggota komunitas yang dibayar oleh Gurdjieff untuk mengusik komunitasnya, membuat orang kesal dan marah, untuk mengajari semua orang bagaimana menjadi lebih toleran.
Sangatlah mudah berdamai dan memiliki cinta kasih kepada orang-orang yang kita sukai. Namun, ujian spiritual sejatinya adalah jika kita bisa memiliki belas kasih dan kedamaian terhadap hal-hal – terutama orang-orang – yang tidak kita sukai. Mudah saja menolerir orang yang baik, namun menolerir orang yang sulit? Itu baru perjuangan yang sebenarnya!
Itulah tantangannya. Itulah bagaimana kita bisa belajar dan berkembang. Jika kita belajar memiliki toleransi terhadap orang yang sulit, maka kita juga bisa belajar menolorir berbagai kesulitan dalam hidup seperti penyakit, usia tua, kekecewaan, jatuhnya bursa saham dan segala kesulitan lain. Semua ini karena hidup ini memang sulit.
Singkatnya, cara pertama menangani orang sulit adalah selalu ingat bahwa apapun yang kita lakukan, betapa pun kita berupaya dan berjuang, orang sulit akan selalu ada dalam hidup kita.
Selamat datang ke dunia! Ini bukan surga, Bung!
*Dari buku Si Cacing dan Kotoran Kesayangannya 2, Ajahn Brahm.
“sonofmountmalang”