Bagian Satu.
Pagi-pagi sekali, saya sudah sampai di kantor. Saya pun menunggu lift. Selang berapa detik, muncul teman sekantor, Lita dan Syaiful. Lita bekerja sebagai traffic, Syaiful bekerja di bagian FA Artist. Mereka ikut menunggu lift. Kami bertiga tidak saling sapa. Seperti tidak saling mengenal satu sama lain. Ekspresi wajah keduanya dingin. Mirip hantu-hantu Thailand.
Lift terbuka, kami bertiga pun masuk.
Lift mulai naik dari lantai G ke lantai 1, 2, 3 dan 4. Di lantai lima, tempat ruangan kami kerja, lift-nya tidak berhenti. Malahan terus naik ke lantai 6 dan 7.
Dasar lift ngaco!
Di kantor saya memang lift-nya suka ngaco.
Pintu lift berhenti di lantai tujuh. Pintunya tidak terbuka. Lift berhenti sekitar lima detik.
Jreg!
Terdengar bunyi lift anjlok. Kami bertiga mulai panik. Tapi tidak satu pun kata-kata keluar .
Jangan-jangan mereka berdua setan.
Baru saja pikiran itu keluar, lift yang saya tumpangi melesat cepat ke bawah. Jantung saya mau copot. Perasaan jadi ngilu. Membayangkan lift ambruk di lantai paling bawah. Mati bersama Lita dan Syaiful.
“Aaaaaaaaaaa!!! Liftnya jatooohhhhh!!!” Mereka tiba-tiba berteriak sekeras-kerasnya.
Lita dan Syaiful berpelukan.
Saya putuskan merapatkan badan ke dinding lift saja. Tentunya sambil teriak juga,”Aaaaaaa….!”
Lampu di dalam lift mati. Pemandangan jadi gelap.
Bagian Dua.
Saya sedang berlari di selokan. Kabur dari kejaran sekelompok penyihir jahat. Penyihir ini akan menjadikan seluruh penduduk sebagai budak-budaknya. Dia memiliki pasukan bersenjata, berpakaian ala tentara dan bisa terbang.
Hebatnya lagi, pasukannya ini terbang menggunakan awan api. Mirip awan kinton, cuma berapi-api.
Dalam pelarian itu, saya kabur dengan sang pacar.
“Kita kabur pake apa? Mereka bisa terbang.”
Pacar saya ketakutan.
“Tenang, kita nyolong mobil, terus kabur pake mobil.”
Kebetulan sekali, di samping kolam dekat selokan banyak mobil travel terparkir.
Saya membuka pintu mobilnya, masuk, menyalakannya, kebetulan lagi kuncinya tergantung begitu saja. Selang beberapa detik, mobil travel melesat menjauhi penyihir gila dan pasukannya.
Anehnya, di tengah jalan, mobil travel yang saya tumpangi berubah menjadi dua kuda ukuran keledai. Lidahnya menjulur, mulutnya berbusa.
“Gila! Gue capeee! Lari terus dari tadi. Gue ga mau lari lagi!”
Kuda-kuda itu mengeluh. Dia berhenti berlari. Badannya disandarkan di balik pohon.
Saya dan pacar saling lirik. Kesal bercampur panik ketakutan.
“Kalo loe ga mau lari, penyihir gila itu bakalan jadiin loe budak seumur hidup. Loe mau jadi budak?”
Saya membentak kedua kuda. Mereka geleng-geleng kepala.
“Kalo ga mau, loe lari sekarang juga!”
“Iya deh!”
Mimik dua kuda lesu. Mereka memaksakan diri berlari, tapi mulut keduanya tidak berhenti ngedumel.
“Gue malu sama kuda lainnya,” keluhnya.
“Emang kenapa?” tanya saya
“Kuda lainnya tuh badannya keker, tinggi dan sangat kuda!”
“Lha? Emang loe berdua bukan kuda?”
“Kuda sih kuda, tapi cungkring gini. Nggak pede gue jadi kuda.”
Lha? Kuda yang aneh. Jadi kuda kok nggak pede.
Eh, bener lho. Dua kuda yang saya tunggangi melipir ke samping semak-semak ketika ada satu kuda hitam, tinggi, keker berlari ke arah kami. Kedua kuda yang kami tunggangi membuang wajahnya. Sepertinya tidak ingin wajahnya dilihat kuda keker yang lewat.
Ternyata kuda juga punya malu tho…!
Setelah kuda keker itu lewat jauh, barulah dua kuda ini keluar dari balik semak. Lalu berlari lagi menuju suatu tempat. Pokoknya sejauh-jauhnya. Jauh dari kejaran penyihir gila dan pasukannya.
“Kita ngumpet di sini aja ya,” ucap saya ketika kami sampai di kebun teh.
“Boleh,” jawab pacar saya sembari turun dari kuda.
“Gue berdua mau rebahan. Cape!” keluh dua kuda. Mereka pun rebahan di kebun teh.
Baru saja menarik napas lega, dari langit terdengar suara gemuruh.
Pasukan penyihir mengendus keberadaan kami. Mereka datang bergerombol menggunakan awan api.
Blug!
Suara mereka mendaratkan awan apinya.
“Jangan ada suara, jangan ada gerakan. Semuanya diam. Kalo bisa, tahan napas ya,” bisik saya.
Pacar saya dan kedua kuda mengangguk.
Saya kembali memerhatikan pasukan-pasukan penyihir, dan tentunya ratu penyihir baru turun dari langit dengan sapu terbang berapinya.
Penyihir itu mengendus-ngenduskan hidungnya. Begitu juga dengan pasukan-pasukannya. Sepertinya mereka tahu dimana kami berada. Ah, semoga saja tidak.
“Kita di sini! Kita di sini! Ampun! Jangan jadikan kami budak! Ampun!”
Tiba-tiba dua kuda keluar dari persembunyian sambil berteriak-teriak.
Kuda keparaaattt! Dibilang jangan berisik, eh dia malah nyerahin diri.
Saya dan sang pacar mencoba bersembunyi lebih dalam di balik semak.
“Di sana tuh ada dua manusia!”
Kuda menunjuk ke arah kami berdua.
“Tae ya tuh kuda. Tau gitu gue bunuh aja tadi di jalan,” umpat saya.
Pacar saya terlihat semakin ketakutan.
“Mau nggak mau harus kita lawan,” ucap saya sok berani.
Saya mengambil ranting. Seketika ranting itu berubah menjadi senjata.
Saya keluar dari persembunyian.
“Ampun! Kami di sini!”
Saya dan pacar angkat tangan. Pasukan penyihir mengelilingi kami berdua.
“Katanya mau ngelawan?” bisik pacar saya.
“Iya, sebentar lagi.”
Ketika pasukan itu mulai mendekat, saya memuntahkan peluru ke tubuh pasukan penyihir.
Waahh! Pasukannya sakti. Peluru mental begitu saja. Mereka kebal senapan mesin. Tapi saya terus memuntahkan senapan ke tubuh mereka. Sampai senapannya kosong. Tidak ada lagi yang bisa ditembakan.
“Bunuh!” seru ratu penyihir.
Semua pasukan menodongkan senjata ke arah kami berdua.
“Tembak!” teriaknya.
Jutaan peluru berduyun-duyun napsu menyerang tubuh saya dan sang pacar.
Kami berdua tersungkur ke tanah. Pemandangan menjadi gelap gulita.
Semenit kemudian, saya membuka mata. Meraba-raba badan. Eh, nggak ada bekas peluru. Eh, cuma mimpi rupanya.
Dan dunia pun sudah terang.
“sonofmountmalang”