Jakarta sudah tidak aman lagi. Gunung purba yang selama ini mendiami kota sudah aktif. Abu panas mulai meletup-letup didorong angin kencang. Letupannya menyerupai gerakan ubur-ubur. Bentuknya seperti bulu domba ukuran raksasa. Bergumpal-gumpal, mulai dari putih hingga pekat hitam. Setiap kali menghembus, awan ini menyapu apa pun yang ada di sekitarnya. Pohon, rumah dan semua benda meleleh dibuatnya. Keluarga saya sepertinya sudah punah dihantam awan panas. Begitu juga sahabat-sahabat saya. Wassalam!
Beruntung saya sedang berada di atas bukit. Jadi hanya terkena hembusan awan panas sedikit. Meskipun sedikit, panas di kulit begitu menyengat. Setiap kali awan menghembus, meluap, saya berlindung di balik tembok. Hembusannya membuat tembok tempat saya berlindung ambrol. Saya melarikan diri menuju tempat yang lebih tinggi, banyak pohonnya dan kebetulan ada rumah kecil di atas bukit dekat hutan.
Saya masuk ke dalam rumah dengan banyak jendela di bagian depannya. Di rumah tersebut sudah ada beberapa orang berlindung dari hantaman awan panas.
“Ini anak kamu selamat,” ucap seorang bapak setengah baya. Dia menunjukkan bayi imut dibungkus selimut batik.
“Kita beruntung sembunyi di bawah tanah,” lanjutnya.
Saya terbengongkan sejenak. Sejak kapan saya punya anak?
“Sebentar lagi awan panas datang. Kita harus sembunyi.”
Bapak setengah baya itu menuju ruang bawah tanah.
“Saya jaga-jaga di sini ya,” ucap saya dengan pertanyaan yang belum terjawab soal anak itu dari hubungan saya dengan siapa.
Baru saja ucapan saya selesai, awan panas menghantam kaca-kaca rumah. Menghancurkan semua kaca hingga berkeping-keping. Hawa panas langsung menerjang ke ruang bawah tanah. Orang-orang mulai panik, bayi mungil itu menangis kencang.
Saya bergerak cepat. Mencari papan-papan untuk menutupi jendela yang bolong. Semoga ini bisa melindungi dari serangan awan panas.
Tiba-tiba terdengar suara dentuman keras, tembakan peluru dan suara serangan dari udara. Tentara-tentara menenteng senjata mengejar-ngejar gerombolan awan yang ternyata itu ada sekumpulan alien warna putih. Sebenarnya, awan-awan yang bergejolak itu merupakan gabungan dari jutaan alien. Mereka menyerang Jakarta dari segala arah. Syukurlah ada tentara yang membasmi alien-alien itu. Mereka membunuh alien dengan mudah. Mungkin karena aliennya berbentuk awan. Sekali tembak langsung buyar.
Tidak lama setelah serangan menganjingbuta, alien-alien awan lari menuju ke UFO-nya masing-masing yang mereka simpan di lembah. UFO-UFO terbang di atas langit Jakarta. Mereka siap lepas landas menuju planet lain. Tapi sebelum mereka pergi, saya merampas senjata dari tentara, menembak UFO tanpa jeda. Lumayan, satu UFO jatuh dan alien-alien awan mati terkapar. Mayat-mayatnya menguap, sebagian lagi yang masih utuh langsung dimakan tentara kelaparan.
Saya lega Jakarta sudah terbebas dari alien. Kini, yang tersisa berupa puing-puing UFO dan kerusakan bekas perang. Saya menatap langit, melihat ribuan UFO terbang menjauh. Menjauh dan semakin menjauh. Hingga tinggal setitik terang. Kemudian semuanya hilang. Bersamaan dengan hilangnya pandangan saya terhadap situasi yang baru saja terjadi.
“sonofmountmalang”