Suatu waktu di suatu masa muda, di bis Mayasari Bakti 81 jurusan Kalideres – Depok. Seperti biasa, hari-hari kuliah saya selalu menyetop bis 81 di depan Untar. Saya masuk lewat pintu belakang. Saat berada di dalam, semua bangku sudah penuh. Saya pun berdiri di bagian belakang dekat pintu. Supaya kalau turun lebih gampang dan cepat.
Tiba-tiba terdengar teriakan kondektur dari arah depan ,”Neng! Neng! Maju! Jangan berdiri di belakang! Maju ke tengah!”
Kondektur itu melambai-lambaikan tangannya. Dia melihat ke arah saya. Semua orang yang duduk di bagian belakang ikut-ikutan melihat saya.
“Neng! Maju neng!” teriaknya lagi.
Orang-orang yang duduk di bagian tengah ke depan pun mulai menengok ke belakang. Saya belaga tolol saja. Saya melihat ke belakang, eh memang tidak ada siapa-siapa lagi yang berdiri. Perasaan mulai tidak enak.
“Neng kaos hitam! Maju, neng!” teriak kondektur.
Sial, tidak ada orang yang berdiri dan mengenakan kaos hitam selain saya. Perasaan semakin tidak enak. Tapi demi gengsi, harga diri dan moral, saya tetap tidak bergerak. Belaga gila. Berdiri dan pura-pura ngetik SMS.
Setelah jalan berapa menit, bis berhenti untuk menaikkan penumpang. Kondektur pindah ke pintu belakang. Dia mencolek saya,”Yeee! Si eneng disuruh maju diem aja. Maju neng!”
Saya nengok, menatap wajahnya dengan geram, tatapan nanar ala sinetron, bibir komat-kamit, jantung menriukan suara simbal berkali-kali, perasaan zoom in zoom out. Dalam sekejap saja kondektur itu ngomong,”Eh, mas, tolong maju mas….”
Saya pun maju ke tengah. Semua orang sepertinya geli menahan tawa atau apalah, saya tidak tahu itu. Sgrookk!
Penderitaan banyak salah panggil oleh kondektur itu saya alami sekitar tiga tahunan. Setelah lulus kuliah, saya kerja, uang transport sedikit meningkat plus saya jadi trauma naik bis. Jadinya saya lebih sering menggunakan taksi.
Lalu…bagaimana dengan supir taksi?
Hmmmm…..! Tunggu cerita Copywriter Banci berikutnya. Tatahhh….!
“sonofmountmalang”
*Derita copywriter banci akan terus di-update. Jangan sampai terlewatkan ya:p