Entah kenapa, tiba-tiba saya memiliki emosi yang meledak-ledak dan tidak bisa dikendalikan. Sebagai akibatnya, saya mengajukan surat resign ke HRD. Sorenya, teman sekantor membawa saya ke tempat pesta. Katanya untuk mengadakan farewell party. Lintingan ganja dan minuman yang dilarang oleh agama pun berlimpah ruah.
Masalahnya, tempat ferewell itu ada bersebalah dengan gereja dan masjid. Kedua tempat ibadah ini sedang ramai oleh orang-orang yang beribadah. Pemuka-pemuka agama terlihat berlalu lalang di depan masjid dan pastur dengan jubah putih memasuki gereja. Sementara teman sekantor masih berada di mobil. Mereka semua melakukan pemanasan dengan hisapan ganja. Sayangnya saya tidak bisa merokok. Ganja yang dihisap pun terbuang begitu saja tanpa masuk ke dalam paru-paru atau pun pembuluh darah dan saraf di otak dan sekitarnya.
Setelah acara di masjid dan gereja bubaran, barulah kami semua masuk ke dalam hotel. Di dalam itu sudah disediakan banyak sekali makanan. Ini lebih mirip pesta perkawinan dibandingkan pesta perpisahan. Semua teman sekantor merayakan kepergiaan saya dengan senang hati. Minuman, ganja, buah dan segala jenis makanan ada di sini. Bahkan, saking baiknya mereka, boks-boks berisi dokumen dan barang-barang di meja saya pun sudah mereka bungkus dengan rapi. Mirip kado ulang tahun raksasa.
Sambil menikmati hidangan, ganja dan minuman, big boss saya, sang executive CD bertanya. “Emang loe mau pindah kemana?”
“Wah! Itu dia. Gue nggak tau mau pindah kemana. Masih nyari-nyari.”
Seketika saja, tubuh saya terpental jauh ke hadapan istri di depan rumah.
“Kalau nggak tau mau pindah kemana, kenapa resign?!” katanya keheranan.
“Ah, gampang. Sambil nyari sambil side job. Plus kan mau nerbitin novel.”
“Iya, tapi nggak setiap hari ada side job! Itu anak kita dan bayar-bayaran mau pake apa? Daun?!”
Tiba-tiba daun-daun sebesar pesawat terbang berjatuhan di halaman rumah. Dan tubuh saya terpental kembali ke ruangan hotel. Di situ teman-teman sekantor terdiam. Mereka heran. Kenapa saya resign sebelum mendapatkan pekerjaan di kantor baru.
“Minta dicabut aja surat resignnya. Kan belum seminggu.” Teman saya memberikan saran.
“Hmmm….!” saya memikirkan ulang perkataannya.
“Kalau nggak, loe tunggu seminggu dulu sampe mereka buka lowongan, nah terus loe ngelamar lagi.”
“Iya, gitu aja tuh.” Yang lain mengiyakan perkataan teman saya.
Dah! Saya jadi galau. Semakin galau malah sekarang. Bener juga ya. Belum dapat kantor baru, terus resign. Tapi, saya tidak mungkin menjilat air ludah sendiri. Kalau sudah resign, ya resign saja. Tuhan pasti ngasih jalan lain untuk saya mendapatkan pekerjaan lain.
“Sebenarnya sih bukan begitu…,” bos saya mulai bicara sambil memegang lintingan ganja dan cairan beralkohol. “Gue ada cerita begini….”
Semua anak kantor mengerubunginya. Mereka bersiap mendengarkan sang bos bercerita. Awalnya saya menangkap kalimatnya.
“Emang sih baiknya kalau mau resign, ya dapetin kantor baru dulu…..”
Semakin lama kalimatnya semakin menyayup dan menyamar. Suaranya bersaru dengan suara kicauan burung. Saya memasang telinga, tetapi suara bos saya sungguh-sungguh menghilang. Digantikan dengan kicauan burung dan suasana hotel pun berubah perlahan ke suasana kamar.
Saya menggeliat. Berjalan keluar rumah. Rupanya matahari sudah keluar dari persembunyiannya. Membuat seluruh padang rumput di depan rumah berubah menjadi kuning. Burung-burung bercerita sambil menikmati buah ceri di depan rumah. Saya pun berlari-lari kecil menikmati pagi cerah dibalut aroma dari sisa hujan semalam.
Hmmmmm….!
“sonofmountmalang”