Sore-sore kehidupan saya dikejutkan dengan penemuan banyak buaya di danau. Di dasara danau, buaya-buaya itu membentuk sebuah komunitas buaya. Salah satu pemimpin komunitasnya tidak pernah muncul di setiap pertemuan. Dia diwakili dua buaya berkulit hitam dengan perawakan tegap dan wajahnya sangar. Menurut selentingan di sekitar danau, dua buaya itu adalaha jagonya buaya. Mereka preman di dasar danau ini. Jadi, semua pemancing dan nelayan di danau ini musuh besar buaya-buaya di dasarnya.

Konon, salah satu musuh besarnya pemimpin buaya itu adalah atasan saya di kantor. Mereka berdua musuh bebuyutan. Jika bertemu, akan terjadi perang hebat. Mungkin ini perang hebat antara manusia dan buaya sepanjang sejarah.

Atasan saya hobinya mancing. Dia seringkali dibuat kesal oleh buaya-buaya karena ikan-ikan tidak berani menyantap kail.

Sore itu, ketika anak-anak sekantor pergi ke danau tersebut, atasan saya bersumpah,”Kalau sore ini gue masih nggak dapet ikan juga, gue ancurin buaya-buaya keparat itu di dasar danau!”

Atasan saya membenamkan kepalanya ke dalam air. Dia menantang buaya-buaya yang sedang mengadakan pertemuan di dasarnya. Dua buaya melihatnya dengan tatapan penuh kesal.

“Tunggu kepala buaya muncul! Tau rasa kalian semua!” ancamnya. Mereka melanjutkan pertemuannya di dasar danau.

“Mas, lebih baik jangan melawan buaya. Katanya buaya raksasa di sini ukurannya itu segede pesawat Airbus. Sekali caplok, gue, elo dan semua anak kantor END!” saya memberinya saran sebelum terlambat.

“Serahin ke gue, Jats. Gue udah biasa nanganin buaya. Lagian buaya ini udah kurang ajar. Udah waktunya gue ngelawan dia. Loe back up gue di belakang ya,” jawabnya.

Atasan saya ini membereskan kailnya. Dia meminta nelayan setempat mendorong perahunya ke tengah.

“Loe awasi buaya di dasar ya. Kalau ada gerakan, BBM gue!” ucapnya.

Atasan saya mengayuh sampannya ke tengah danau yang tenang.

Di sisi lain, saya mengawasi buaya-buaya yang masih mengadakan pertemuan. Sesekali mulut para buaya itu mencaplok ikan yang kecentilan lewat di dekatnya. Hitungan seper juta detik, ikan lenyap ke dalam perutnya. Kemudian buaya itu melirik ke arah saya, dia menyeringai. Menunjukan deretan taringnya.

“Tunggu pemimpin kita muncul! Tamatlah kalian semua!” ucapnya sok!

Saya tetap berwibawa. Berdiri mengawasinya.

Tidak lama kemudian, buaya-buaya itu membubarkan diri. Dari kejauhan di dasar danau yang jernih, terdengar suara gemuruh dan teriakan menggema.

“Hiaaaaattttttttt!!” teriak suara itu semakin mendekat. Dan barulah saya terperenjat setengah metong. Buaya segede pesawat Airbus melesat, guling-guling, melejit-lejit sambil berteriak-teriak kaya buaya gila kegirangan karena musuh bebuyutannya datang.

“Who are you!?” bentaknya.

“????”

Buaya itu ngomong pakai bahasa Inggris. Saya gelagapan diajak ngomong Inggris.

“Me?” saya menunjuk ke dada saya.

“Who are you!?” bentaknya lagi sambil membanting ekornya. Air danau memuncrat ke udara. Mengakibatkan efek gelombang dahsyat. Membuat perahu atasan saya terombang-ambing hebat, lalu terbalik dan atasan saya tercebur ke dasar danau. Teman-teman sekantor tidak bisa menolongnya. Mereka hanya bisa berteriak-teriak di pinggir danau.

“Me frenan with Jaja. He’s my boss.”

Buaya itu keluar dari danau. Dia terlihat geram.

“Where is he?! Jaja! I want to fight!”

“Heh?!”

Ngehe! Kenapa nih buaya ngemeng Inggris segala. Mana Inggris gue pas-pasan pula. Umpat saya dalam hati.

“Let’s fight!” gertaknya sambil mengambil sebilah golok sebesar mobil Avanza.

“Sir! Please. Calm down! Let me tell you ya. Come.”

Buaya itu mendengus-dengus di depan saya. Saya tidak berani menatapnya. Jatung saya bisa copot kalau menatapnya. Bahkan bisa-bisa nyawa saya melayang begitu saja ke udara. Sementara atasan saya masih tenggelam di dasar danau. Saya harus menolongnya melalui buaya raksasa ini yang menjadi musuh bebuyutan atasan saya.

“Your enemy is your friend. He’s tenggelem. If you let him tenggelem, you’ll have no enemy. If you have no enemy, you’ll be the most loneliness buaya ever! Please help my boss. He’s tenggelem. Blek bek blek bek, sir. Please….”

Saya mencoba merayu, merangkul hati buaya raksasa itu.

“Oke, sir?” saya melihat buaya itu. Dia berpikir di pinggir danau. Tangannya memegang dagu. Kepalanya angguk-angguk. Buaya gila!

“Hmmmm…..” gumamanya.

“No help? Friend is enemy. Enemy is friend. You can’t runlah from that, sir. Please…” saya menyilahkan buaya menolong atasan saya.

“Over there. He’s tenggelem,” saya menunjuk ke tengah danau. Di sana terlihat perahu terbalik. Alat-alat pancingan tenggelam.

“Ok! I’ll help my enemy!” buaya itu akhirnya memutuskan menolong musuh bebuyutannya. Dia berenang menuju dasar danau.

Saya menghampiri teman kerja saya yang sedang me-layout iklan Print Ad di leptop.

“Bal, tolong loe layout danaunya. Perahunya, alat pancingannya dan semuanya yang ada di tengah danau.”

“Buat apa?” tanyanya.

“Iklan asuransi. Kalau loe kecelekaan pas mancing, lo akan dijamin sama asuransi. Jadi, nggak perlu takut mancing di danau ini atau dimana pun. Asuransi akan mengantinya kalau terjadi apa-apa.”

“Oke oke,” jawabnya semangat.

“Sekarang, sambil loe layout, kita tunggu Mas Jaja ditolongin buaya yak.

“Sip sip!”

Saya dan teman-teman lainnnya menunggu di sisi danau. Sekian lama menunggu, buaya itu tidak muncul. Yang ditolong juga tidak kelihatan. Saking lamanya menunggu saya merasa ngantuk. Saya pun cuci muka di danau. Wajah terasa seger dan saya bangun dari tidur.

“sonofmountmalang”


komen sebagian dari blogging!:))

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: