Suatu sore yang masih mentah di Legian. Matahari pun belum begitu matang. Lelautan semakin pendiam keperakan meriak-riak dalam ritme lamban. Ketika itu, aku terlena, menyerana di balkon salah satu resto sebuah resort sambil memegang risalah hidup yang masih kosong. Kopi yang terbengkalai berikut pensil yang masih cerucup. Aku sedang mencari inspirasi hidup untuk dibualkan kepada dunia. Untuk dijual. Untuk mengisi kekeringan rekening di bank, keusangan dompet dan demi secangkir tai Luwak kelas dunia.

Aku menenggelamkan diri saja dalam mengungan menjadi penulis termasyhur, dan merengkuh puncak kesukseskan tertinggi seantero galaksi bima sakti. Itulah mimpi yang sejauh ini hanya menjadi sebuah utopia belaka. Yah, setidaknya aku masih memiliki mimpi. Menjadikannya kenyataan adalah hal yang berbeda.

Lain halnya dengan seseorang yang sejak tadi berdiri tenang di sisian balkon.  Kepuasan di wajahnya merecik. Gestur tubuhnya membentuk simbol kematangan hidup, pencapaian yang selama ini ia naiki. Sesekali memandang lautan keperakan, sesekali menerawang, meretas batas-batas samudera yang melayung jingga.

Kemudian ia menoleh ke arahku. Sambil tangannya tetap di saku celana, ia bertanya,”Penulis?”

“Oh, bukan. Masih calon. Calon penulis. Masih belajar. Belum bisa nulis apa-apa,” jawabku.

Pria itu hanya tersenyum biasa saja.

“Pasti bisa. Pasti berhasil,” katanya, “Kita bisa sesukses yang kita mau. Apa saja. Apa pun.”

“Amin,” jawabku lagi.

“Sebelum saya bisa berdiri di sini, saya jauh lebih susah darimu,” katanya.

“Ah, mulai lagi,” pikirku.

Rasanya sering sekali mendengarkan cerita sukses orang-orang ketika aku bepergian. Naasnya, aku masih begini-begitu saja. Penulis serabutan tanpa banyak tujuan. Terkadang kehilangan jejak di tengah jalan, kemudian linglung, tersesat dan tidak tahu jalan pulang. Tulisan-tulisan tidak pernah menemukan titik klimaks. Bahkan kata ‘Tamat’ sudah lama dicuri berandalan malam.

Sementara itu, aku sudah banyak mendengar, membaca dan diceritakan tentang sukses-sukses yang dimulainya dari TITIK NOL! Bahkan ada yang memulainya dari TITIK MINUS sekian. Dari yang sama sekali bukan siapa-siapa, beberapa belas atau puluh tahun lalu dia menjadi HERO, di kemudian hari menjadi orang paling kaya, orang paling dermawan dan orang paling segala paling. Aku pun mulai bersemangat menulis. Sebulan kemudian semangat itu meredup, meredup, lalu meninggal dunia. Aku terpaksa menguburkannya. Ketika ada yang bercerita lagi, aku kembali menggali kuburan tempat semangat meninggal dunia. Begitu seterusnya. Sampai detik ini, aku masih berlarian di TITIK NOL.

Dan kali ini,  aku mendengarkan kisah sukses seseorang yang berdiri di sebelahku. Dia berjas, berdasi, rapi, sepatu bercahaya, rambut berkilau dan wajahnya melukiskan kepuasan.

“Percaya tidak percaya, sebelum saya menjadi sekarang, saya memulai pekerjaan sebagai Tour Guide. Modalnya hanya dua waktu itu.”

Dua? Aku mulai tidak suka dengan kata modal. Banyak dari mereka mengakunya dari ZERO. Kenyataannya, seringkali ZERO-nya mereka tetap bermodalkan ratusan juta rupiah, pinjam miliaran dari bank ini itu dan jual ini itu.

“Satu keinginan kuat, dua kesungguhan hati,” lanjut pria itu, “Itu dua modal saya.”

Aku merasa sedang dikuliahi orang sejenis Bob Sadino. Meskipun Bob lebih parah. Kata bukunya, kita bisa sukses hanya dengan BEMODALKAN DENGKUL. Sulit dipercaya ucapan pengusaha sableng satu ini. Tapi, kemudian aku percaya,  bahwa aku bisa sukses dengan bermodalkan KATA-KATA. Itulah sebabnya aku menyiapkan pensil dan kertas. Aku siap merekam pengalaman hidup pria ini dan menuliskanya kembali di sini.

Aku memberinya judul, ”Kisah Seorang Tour Guide yang Menunggu Legian Terbakar.”

Beberapa puluh tahun lalu, dia hanyalah seorang pemandu tur biasa. Perawakannya kurus, berpakaian seperti layakanya pemandu tur di Bali. Dia memandu segala jenis turis. Dari Asia, Eropa, Australia, Amerika dan belahan negara lainnya. Semua dia perlakukan sama. Di matanya, semua turis begitu istimewa. Dia sungguh-sungguh memanjakan turisnya. Dan satu hal, katanya, ia selalu berpegang teguh pada buku ajaibnya. Buku “KONSUMEN ADALAH RAJA.” Dari buku itu dia belajar bagaimana memanjakan, memperlakukan, menjamu dan membuat turis betah dan selalu kembali padanya di lain kesempatan. Bahkan nilai-nilai KEINGINAN KUAT DAN KESUNGGUHAN HATI dalam menjalani pekerjaannya sebagai pemandu, tersebar dari mulut turis satu ke turis lainnya. Awalnya ia hanya memiliki beberapa turis sekali pandu. Di lain waktu ada banyak sekali turis. Di lain waktu lagi turisnya semakin banyak. Usahanya perlahan mulai membesar dan terus membesar.

“Saya tidak pernah mengeluh meskipun harus mengantar turis ke pelosok Bali paling jauh pun. Semangat saya mengalahkan panasnya Legian dan dinginnya Ubud. Itu pekerjaan yang sangat saya cintai. Suatu saat saya akan membangun mimpi saya. Resort untuk para turis supaya setelah keliling Bali, mereka bisa bersantai di tempat yang nyaman. Itu mimpi saya, ” katanya.

Aku percaya bahwa pria ini dulunya pemandu tur.  Ia menceritakan inci per inci Bali secara detail. Mendengarkannya bicara seperti diajaknya berjalan-jalan keliling Bali. Dan baginya, Bali sudah seperti garis di tangannya. Ia sudah hapal semua jalanan, jajanan, penginapan, makanan dan segala-galanya. Aku kagum mendengarkan ceritanya. Semangatku untuk menjadi penulis besar benar-benar bangkit dari kubur dan menggunung berkawah. Siap meledak dan memuntahkan miliaran material berupa kata-kata panas. Aku mungkin bisa mencontoh semangat pria ini dan mengambil nilai-nilai yang ia pegang.

 “Ingat,” katanya, “KEINGINAN KUAT DAN KESUNGGUHAN HATI.  ITULAH ARTI SEBUAH KESUKSESAN. Dan inilah hasilnya…” Pria itu menunjuk sekeliling resort mewah miliknya yang ada di tepian pantai.

“Kamu pun bisa sukses jadi penulis besar….” katanya sambil menepuk pundakku. Kemudian ia melepaskan pandangan ke riak-riak di lautan yang sudah mengemas. Ia pun tersenyum puas.

Aku hanya bisa menyeret napas. Tercacak di bawah layung yang terus menjilati bumi Bali.

“sonofmountmalang”

Client      : PT Gelora Djaja
Agency    : Matari Advertising
ECD         : Jaja @kawanjaja
CD            : Bagus
AD            : Gentong @idealisman
Copy         : sonofmountmalang

PH             : Cyrus
Director   : Gandy


2 responses to “Menunggu Legian Terbakar”

  1. amelstrange Avatar

    Oh ternyata sutingan ginian kemaren di Bali! Makin OK aja kerjaan agan2 Ajat Iqbal Bagus Jaja dkk! Ane kasih cendol!

    1. sonofmountmalang Avatar

      Tadinya mau ke Paris, cuma gagal:p

komen sebagian dari blogging!:))

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: