Tidak terasa ya. Sudah tiga hari di Bali. Seperti yang sudah saya rencanakan. Hari ketiga ini akan menyisir sedikit Bali Utara. Rute yang diambil kali ini sepanjang Kintamani. Dari Ubud tinggal melaju menuju Tegalalang. Melesat terus menanjak dengan mobil.

Jika sehari lalu di kanan kiri jalanan dimanjakan oleh pemandangan pantai, bukit dan banyak sawah, kali ini hanya ada pemandangan sawah sampai Subak Tegalalang saja. Setelah itu, pemandangan di kanan kiri hanyalah perkebunan jeruk bali, sesekali kopi, sesekali buah-buahan dan bunga.

Dan, karena saya berangkat dari Ubud jam enam pagi, maka sepanjang jalanan menanjak menuju Kintamani dipenuhi kabut tebal super dingin. Wangi kabut menusuk hidung dan udara dingin level 10 merasuki seluruh tubuh. Saya menyetir dengan kondisi menggigil, gigi gemertak dan napas mengeluarkan asap. Membuat seluruh indera menyala.

Tujuan pertama di Kintamani adalah melihat sunrise di Gunung-Danau Batur. Selain itu, bisa juga wisata ke Gunung Baturnya, tapi melihat medan jalannya plus banyak truk pasir mengeruk di kaki Gunung Batur, saya mikir dua kali untuk ke sana. Pastinya juga butuh semangat 45 untuk naik ke Gunung Batur. Padahal saya mau yang santai-santai tanpa bikin kaki gempor. Selain itu, ada juga kan wisata ke Trunyan. Namun masih serem mendengar banyak cerita dari orang soal Trunyan, dan  Pak Ketut, sopir saya tahun lalu juga bercerita soal kejelekan pemilik perahu ketika membawa turis ke Trunyan. Jadi cukup melihat sunrise di Danau Batur saja sambil menikmati dinginnya pagi.

Tidak butuh waktu lama untuk sampai ke Kintamani yang masih dipenuhi kabut. Jarak pandang hanya 3 meter di jalanan. Seluruh bangunan dan pohon disembunyikan kabut tebal. Tapi anehnya kabut tebal tidak ada ketika sudah turun jauh ke Danau Batur. Sementara jika kita melihat ke arah atas, sekitaran Kintamani masih putih tertutup kabut. Ajaib!

Ada apa sih di Danau Batur? Sampai sepagi itu dibela-belain. Tentu saja ada danau luas disembur matahari pagi dengan pemandangan Gunung Batur di seberang sana. Perahu-perahu nganggur terikat tali di sisi dermaga. Turis pun hanya berempat. Saya, pacar dan turis lokal sepasang, suami istri. Dua penjual oleh-oleh berupa kalung, gelang dan cincin mencoba merayu sepasang suami istri. Sementara saya dan pacar sibuk berfoto. Biar tidak ditawari apa-apa. Kata sopir tahun lalu, mereka suka memaksa kita membeli jualannya. Lebih baik jangan ke Danau Batur. Ah, ternyata tidak maksa tuh. Malah ada salah satu penjual, ibu-ibu, mencoba menawarkan barang jualannya dengan cara halus. Dia menceritakan Danau Batur sepi pengunjung. Jualannya dibatesin oleh pemerintah setempat. Mungkin karena banyak yang protes dengan cara jualannya. Pendapatannya berkurang. Dan banyak lagi cerita deritanya sejak diberlakukan peraturan soal jualan di Danau Batur.

Akhirnya, karena dia baik, kami berdua membeli kalung dan gelang. Pacar saya bilang, nggak apa-apalah, bantu orang susah. Karena penduduk Danau Batur tergolong miskin dibandingkan dengan daerah lainnya.

Kalau mendengar cerita sopir waktu itu, penduduk asli di daerah Danau Batur terlalu memanfaatkan turis dan gegar uang. Dikit-dikit uang. Dikit-dikit uang. Mereka tidak sadar bahwa wisata itu tidak hanya sekali kunjung. Sekali namanya jelek, orang-orang akan malas kembali. Begitu ceritanya. Dan, itulah yang membuat Danau Batur, Trunyan tidak seramai dulu lagi.

Tapi sekarang sudah berubah, pedagang itu bilang, semuanya sudah diatur ketat pemerintahan setempat. Jadi, tidak ada istilah menyeberang ke Trunyan, tiba-tiba perahunya dimatiin di tengah jalan dan minta bayar lagi. Atau tidak ada lagi istilah setelah sampai Trunyan, perahunya pergi dan orang yang bayar lagi perahu lainnya untuk bisa kembali ke dermaga. Itu katanya. Kenyataannya saya sih tidak tahu. Saya sebenarnya ingin melihat Trunyan ketika seorang pemilik perahu menawarkan perahunya untuk melihat Trunyan. Ada mayat dan tengkorak baru, katanya. Terima kasih, ucap saya. Jadi ragu juga. Takut ditinggal di Trunyan atau disuruh bayar lagi ketika berada di tengah danau.

Tidak terasa juga. Sudah setengah jam di Danau Batur. Saatnya kembali ke mobil. Dan tiba-tiba saja pintu mobil pacar saya ditahan seorang pedagang ibu-ibu lainnya. Dia langsung menaruh 3 cincin di pangkuan pacar saya. Dia memaksa pacar saya membeli cincin tersebut. Meskipun menolaknya berkali-kali dan mencoba mengembalikannya, penjual itu tidak mau menerima cincin dan tetap memaksa dibayar sambil menunjuk 30 ribu di mobil.

“Maaf bu, saya sudah beli. “

“Nggak apa-apa beli lagi. Pake uang itu aja,” dia menunjuk uang di laci mobil.

“Maaf ya bu.”

“Ya udah. Nih 3 bayar 30 ribu.”

“Bu! Saya tidak mau beli,” nada saya tinggi.

“Ya udah nih. Dua ya. Bayar pake uang itu aja”

Pacar saya mencoba mengembalikan cincin itu, tetapi si ibu tidak mau menerimanya. Dia memaksa kami memeli sambil menahan pintu mobil. Ini sungguh tidak nyaman. Dan kejadian tersebut membuat saya sedikit sebal. Benar kata Pak Ketut, ceritanya persis sama soal pemaksaan untuk membeli oleh-oleh. Itu akhirnya terjadi pada kami berdua.

Akhirnya, demi bisa menutup pintu dan pergi, pacar saya membeli cincin. Setelah dibayar pun dia masih ngedumel.

Sigh! Itu baru satu penjual. Terbayang kan jika ada 10 penjual dengan karakter yang sama. Malas yah. Mungkin ini yang membuat orang jadi malas ke sini.

Oke! Lepaskan ketidaknyamanan itu. Mari kita berhenti sejenak di atas tempat orang-orang melihat Danau Batur dan Gunung Batur ketinggian pinggir jalan sambil menikmati udara dingin, kopi Kintamani dan pisang goreng hangat. Cukup membayar 30 ribu untuk secangkir kopi susu, kopi hitan dan pisang goreng. 30 ribu? Hmmm…!

Relakan saja. Yang penting tenggorokan senang, perut sedikit kenyang.

Mau kemana lagi setelah Danau Batur? Sementara berpikir dulu ya sambil leyeh-leyeh di kursi mengisi paru-paru dengan kabut diiringi musik khas Sunda, suling dan gamelannya. Berasa di Bandung atau Cianjur jadinya. Iseng banget nih penjual kopi nyetel musiknya gamelan Sunda. Hoehh!

Selamat kabut-kabutan!

“sonofmountmalang”

“sonofmoumtmalang”


2 responses to “Seven Days in Bali; Danau Batur”

  1. nonoymanga Avatar

    Very nice atmosphric shots and landscape photos. Cheers Nonoy Manga

  2. sonofmountmalang Avatar

    Thank you, Nonoy! It’s so freakin’ cold here. Brrrr….!

komen sebagian dari blogging!:))

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: