Sewaktu sore tiba, saya tengah berada di ruang tamu, menemani seorang teman melamar pacarnya untuk dijadikan pasangan sehidup semati. Sepertinya, acara melamarnya tidak berjalan mulus. Sang ayah wanita tiba-tiba tidak setuju jika anaknya menikah dengan teman saya. Lho? Kenapa? Mereka sudah pacaran bertahun-tahun, kenapa sekarang baru menolaknya. Rupanya, sang ayah memang selalu melarang mereka pacaran. Setiap malam minggu, teman saya diusir secara halus oleh sang ayah pacar. Oh, begitu toh. Dia tetap nekat. Nekat melamar sang pacar. Saat proses ingin melamar, ayahnya baru saja pulang. Dia terlihat naik Nissan Terano dengan plat B 88 FFF. Katanya, itu plat jenderal. Itu kata teman saya, yang juga anak tentara. Lho? Kalau sama-sama anak tentara, kenapa tidak boleh menikah. Bukannya bagus tuh. Trah sebagai anak tentara semakin kuat. Kalau itu, kata teman saya, masing-masing orang tua mereka berada di bawah naungan partai yang berbeda. Jadi, itu semacan hubungan terlarang, seperti Romoe dan Juliet. Oooh!
Akhirnya, teman saya ini, pergi begitu saja. Meninggalkan rumah pacarnya tanpa basa-basi. Sebelum benar-benar pergi, dia berucap, “Tunggu pembalasan saya. Kita akan tahu siapa yang paling berkuasa!” dan pergilah dia menggunakan sepeda roda tiga yang di bagian belakangnya terdapat dua roket. Dia melesat dengan wajah penuh amarah. Lha? Saya ditinggalin. Apa kabarnya ini?
Ah, daripada ditembak jenderal, saya pun pamitan pergi. Sang jenderal terlihat tidak senang. Dia mengeluarkan anjing bulldog warna hitam. Bulldog itu disuruh mengejar saya. Kok saya yang kena? Aneh banget sih. Saya minta bantuan satpam kompleks supaya menutup pagar agar anjing itu tidak bisa mengejar . Bersyukur satpamnya baik. Dia segera menutup pagar, dan saya bisa jalan santai di luar kompleks.
Di luar kompleks, saya bertemu teman lama, Nai, yang sudah menikah. Dia memiliki seorang anak perempuan lucu. Anaknya tiba-tiba mengajak saya bermain di halaman rumahnya. Saya pun naik sepeda roda kecil miliknya dan anak perempuan itu duduk di bagian depan. Saya gowes, dia tertawa bahagia. Sesekali kakinya terselip di jari-jari sepeda. Lecet sedikit, namun tidak menangis. Wah! Anak yang kuat. Karena takut terluka lebih parah, saya mengembalikan anak itu ke ibunya.
“Nih Nai anaknya. Rada luka tuh.”
“Taroh aja anaknya di halaman rumah! Ntar gue ambil!” teriaknya dari dapur.
“Nai, gue mau pinjem mobil loe ya. Mau ngejar temen gue. Takut bunuh diri.”
“Ambil aja mobilnya di depan. Mobilnya matic ya!”
Saya masuk ke dalam mobil VW Kodok warna putih. Mobil matic yah. Rempong. Saya tidak bisa nyetir matic. Ya, coba-coba sajalah. Saya menyalakan mobil. Sial. Tidak ada AC, tape atau pun CD player. Hanya ada radio busuk. Ya sudahlah. Saya melajukan VW Kodok maju mundur sebentar. Latihan sebelum menuju jalanan raya. Baru saja latihan sekali maju dan sekali mundur, mobil meluncur ke jalan raya. Tidak bisa direm. Tidak bisa dimatikan. Tidak bisa dikendalikan. Mobil meluncur mundur, dan untungnya tidak menabrak apa pun.
Sampai akhirnya mobil berhenti di bawah pohon mahoni. Di sana ada tukang mie ayam sedang mangkal dan teman saya yang tadi melamar sedang melahap mie ayam penuh nikmat. Kampret dia! Meninggalkan saya dan sekarang enak-enakan makan mie ayam. Setan! Saya omelin, raut wajahnya malah terlihat serius. Ketika saya tatap, kok wajahnya mirip Audy. Audy teman sekantor beberapa bulan lalu sebelum akhirnya dia resign ke lain agency. Kok dia melamar ya? Bukannya dia sudah punya anak dan istri. Ah! Tak tahulah saya.
“Gue mau balas dendam,” katanya.
“Balas dendam apaan sih loe?” tanya saya.
“Mau gue bunuh bapaknya tuh cewek. Temen gue polisi sama tentara semua.”
“Serius loe?! Nggak damai aja?”
“Nggak ada damai! Gue merasa dihina. Harus mati pokoknya.”
“Ya udah. Ntar gue bantuin ya. Gue makan mie ayam dulu.”
Saya memesan mie ayam. Nggak pake ayam, nggak pake sayur, nggak pake MSG. Tidak lama kemudian abangnya datang dengan semangkuk mie ayam komplit dan airnya sampai meleber. Beh! Gimana nih si abang. Saya ngedumel. Kata teman saya, abangnya budeg. Oalahhh! Mie ayamnya pun tidak enak. Hambar dan terlalu penuh dengan air. Saya buang saja.
“Yok! Kita serbu sekarang!” ucap Audy dengan semangat.
“Kita langsung nyerang?”
“Ke kantor polisi dulu. Kita minta bantuan sama mereka.”
Saya dan Audy menuju kantor polisi. Di kantor polisi terlihat banyak tentara dan polisi bersiaga. Ada apa? Kata salah satu polisi, mereka sedang diserang. Siapa yang nyerang? Salah satu polisi menunjuk ke puncak bukit. Di sana terlihat ayahnya pacar Audy sedeng memegang senapan mesin dan memuntahkan pelurunya sambil tertawa ngakak dan sesekali bersumpah serapah.
Wadduh! Gawat! Ayah saya sedang bertugas. Dia dalam bahaya. Saya langsung merayap menghindari terjangan peluru menuju barisan polisi di bagian paling depan. Di sana terlihat ayah saya sedang menembak dengan pistol kecilnya ke puncak bukit. Tidak satu pun peluru mengenai orang-orang di puncak bukit. Mereka membalasnya dengan senapan mesin tanpa henti. Beberapa polisi pun tumbang. Darah muncrat dimana-mana. Teriakan polisi bersaing dengan letusan peluru. Saya khawatir ayah terkena peluru. Dan, baru saja memikirkannya, ayah saya mengerang. Lehernya bolong dihajar peluru dari senapan mesin ayahnya pacar Audy. Ini sudah kelewatan! Darah di kepala saya langsung mendidih. Saya menarik ayah ke pos terdekat. Saya membaringkan badannya di kursi. Sambil menunggu petugas medis tiba, saya meminta tangan ayah saya tetap berada di leher, untuk menekan darah supaya tidak banyak keluar.
“Tunggu di sini ya, Yah. Bantuan segera tiba. Tahan ya. Jangan meninggal dulu. Mau aku gendong ke RS?”
“Nggak perlu. Ayah di sini. Kamu bantuin polisi aja.”
Saya melihat wajah ayah sebelum pergi. Sekilas dia seperti bukan ayah saya. Tampangnya lebih mirip Pak Tos, Art Director di kantor saya. Ah, iya. Dia bukan ayah saya. Dia Pak Tos. Saya kenal dari kumis dan jenggotnya yang khas. Ah! Rese nih! Gerutu saya sambil meraih senjata khusus snipper.
“Audy! Dimana loe?! Ayo! Kita perang!”
“Di sini!” teriak Audy
Saya melirik, dia sedang berduaan dengan wanita lainnya di kantin polisi. Lho? Gimana sih? Tadi ngajakin bunuh ayah pacarnya. Sekarang malah berduaan sama wanita lain.
“Nyusul!” teriaknya.
“Bedebah!”
Saya merangkak menuju spot terbaik untuk menembak menggunakan snipper. Ketika sedang mencoba membidik orang-orang yang berada di puncak bukit, dari samping muncul istri saya, Dwi, membawa kotak PMR. Katanya biar kalau kenapa-kenapa tinggal dibalut. Oke deh!
Saya kembali membidik melalui teropong di badan snipper. Teropong tersebut bisa melihat dengan jelas wajah-wajah yang ada di puncak bukit. Saya berhasil mendeteksi lima wajah. Meskipun mereka memakai make-up dan topeng ala pesta prom night, saya tetap bisa mengenalinya. Ada Luna Maya, Rieke Diah Pitaloka, Cut Tari, Dewi Rezer dan Oscar Lawata. Mereka semua memegang senapan mesin, dan tidak berhenti memuntahakan pelurunya ke arah kami semua. Harus saya tembak salah satu dari mereka sebelum ketahuan. Saya memusatkan konsentrasi ke wajahnya Dewi Rezer. Waahhh! Cantik ya. Saya tidak tega menembaknya. Tapi kalau tidak ditembak, saya dan seluruh pasukan polisi kewalahan menghadapi gerombolah ayahnya pacar Audy. Jadi saya putuskan untuk menembak Dewi Rezer. Saya menembak di bagian lehernya. Dia tumbang dan teman-temannya langsung berhamburan. Mereka kabur ke tempat lain, termasuk sang ayahnya pacar Audy.
“Kita harus mengejar mereka. Sebisa mungkin kita harus tahu dimana mereka sembunyi,” ucap saya ke pacar di sebelah.
“Hayuk! Sekalian jalan-jalan yah.”
“Heeee?!”
“Yahhh!”
“Eh, lihat deh. Kayanya cewek yang sama Audy itu mata-mata.”
“Tahu dari mana?”
“Lihat matanya. Matanya belanja kemana-mana. Kayanya dia ngawasin kita, trus ngasih tau ke temen-temennya yang di atas puncak itu.”
“Masa sih?”
“Nggak percaya. Nih ya aku tarik.”
Saya pun menarik wanita itu dari sisi Audy. Saya tarik bagian kakinya. Gubrak! Dia jatuh dan terseret. Pahanya kemana-mana saat roknya tersingkap di lantai ketika ia terjatuh. Woow! Seksi ya.
Plaak! Pacar saya ngeplak kepala. Oh, bukan mata-mata. Maaf ya. Tapi saya tetap curiga. Tuh, belum juga pikiran itu dua menit, wanita itu sudah berlari ke jalan raya, di sana temannya sudah menunggu dengan motor gedenya. Dalam sekedipan mata, wanita itu hilang entah kemana. Kaannn! Saya juga bilang apa?! Dia mata-mata. Audy hanya bisa gigit jari.
“Saatnya kita perang beneran!”
“Ahhh! Ngemeng aja loe!” umpat saya sembari meninggalkan Audy.
“Yuk! Jalan!” saya mengajak Dwi yang masih memegang kotak PMR, “Kita kejar mereka dan tuntaskan perang ini.”
Saya dan Dwi naik truk tentara. Kami semua momotong jalan supaya bisa berada di depan dan bisa mencegat gerombolan ayahnya pacar Audy.
Tidak butuh waktu sejam sih. Dalam hitungan detik, saya sudah berada di puncak bukit. Saya bisa melihat dengan leluasa gerakan gerombolan itu. Mereka baru tiba di sebuah terminal kecil. Mereka berkumpul dengan mata jelalatan. Kalau-kalau para polisi itu tiba, mereka tinggal memberendongnya. Kasihan, mereka tidak tahu saya sudah berada di puncak tersembunyi dan siap membantai satu per satu dengan snipper.
Di puncak bukit itu, saya menyiapkan diri, menyiapkan peluru dan siap menembak. Ketika sudah yakin, saya menembak satu orang di bawah, tidak kena. Mereka tahu posisi saya. Dengan gerakan serentak, mereka memanjat ke tempat saya, saya terus menembakkan snipper, tapi tidak ada pelurunya. Malahan snipper berubah menjadi gunting raksasa. Apakah ini artinya saya harus menggunting mereka? Bisa jadi. Sambil menunggu mereka tiba, saya berteriak minta bantuan. Tak ada satu pun tentara atau pun polisi yang datang. Yang ada malah petani sedang memanen tomat. Dalam situasi kalut itu, saya mencoba memikirkan cara bagaimana bisa mengalahkan gerombolan ayahnya pacar saya ini. Bagaimana ya? Bagaimana ya? Jantung saya semakin berdebar. Semakin berdebar. Berdebar dan mengejut seketika seperti disengat listri! Saya terbangun dengan jantung masih berdebar.
Hiuh! Mimpi riweh sekali. Ini semua gara-gara sejam sebelum tidur saya main ZOMNOMNOM. Game di Android yang tugasnya membantai ZOMBIE tanpa basa basi. Kapok deh mainan lagi. Uninstall!
“sonofmountmalang”