
Sebelum memutuskan pergi ke pantai, saya ngecek jarak dulu di Google Map. Jarak Tarogong – Pantai Santolo itu sekitar 90,8 KM dengan waktu tempuh sekitar 2 jam 27 menit. Untuk memastikannya, saya bertanya ke resepsionis hotel. Jawabnya singkat,”Dekat kok.” Saya tanya berapa jam ya kira-kira. Ya…sejamlah. Owww! Oke! Mari buktikan.
Seperti biasa, saya menyetir dan pacar saya duduk santai di sebelah kiri. Sesekali tertidur, ngorok, ngeces dan sesekali bangun. Sementara saya harus super rajin mengoper gigi, nginjak rem, kopling dan gas. Jalanan menuju Pantai Santolo teramat indah sebenarnya untuk dilewati begitu saja. Di beberapa spot, pemandangan bisa diabadikan dengan lensa wide. Buat penganut lensa standar seperti saya ini, lupakan saja keindahan panorama alam. Saya pun hanya bisa berdecak. Wahhh! Kerennn! Itu bukitnya keren! Itu awannya keren! Itu hutannya keren! Itu kabutnya keren! Itu keren! Wahhh! Kerennn! Sampai lupa meng-klick kamera.
Lalu, apakah Pantai Santolo itu dekat? Itu mitos! Sampai pantat saya pegal, sampai kaki saya pegal, sampai saya bosan menginjak gas, pantai itu belum juga nampak batang hidungnya. Perkebunan teh sudah saya lalui, hutan belantara, pedesaan, hutan lagi, perkebunan teh lagi, sawah-sawah, bukit-bukit, keramaian dan kesepian, kesenyapan sampai suasana sungguh sepi! Pantai Santolo masih sejam lagi, menurut Google Map. FYI, jarak tempuh Tarogong – Pantai Santolo itu sekitar 6 jam lebih PP. Kecuali nyetirnya kaya SETAN! Eh, nggak bisa kaya setan juga sih. Wong baru ngegas udah ngerem, udah ngoper gigi dan udah hati-hati deh pokoknya. Bisa-bisa kalau ngebut setan nanti nyemplung ke jurang. Amit-amit deh ya.
Namun, perjalanan panjang itu pada akhirnya tidak begitu terasa. Tahu-tahu saya sudah berada di gerbang Pantai Santolo, dan membayar tiket masuk sebesar 6 ribu.
Seperti apa sih pantainya?
Jujur saja ya. Pantai Santolo ini bisa dibilang masih sepi untuk ukuran pantai di long weekend. Pasirnya masih bersih, krem menuju putih, ombaknya meledak-ledak dan airnya dingin. Segerrr! Sayangnya, entah penduduk setempat, pengelola penginapan atau pendatang yang tidak sadar lingkungan, sehingga membuat Pantai Santolo sekilas seperti tempat sampah. Banyak sekali sampah bertaburan dimana-mana.
Kenapa ya? Memangnya sulit ya membersihkan sampah plastik di sekitar pantai? Pantai bersih, pendatang juga nyaman, penginapan dan tempat di sekitarnyalah juga yang diuntungkan. Apa salahnya ya bergotong royong mengambil sampah demi memanusiakan pantai. Sepertinya tugas yang berat sekali membuat pantai bersih. Sepertinya penduduk setempat harus dibina dalam hal “MENJAGA KEBERSIHAN PANTAI!” Eh, ini liburan apa pemerhati lingkungan sih? Hahahahah! Tapi benar kan? Siapa coba yang nyaman dengan pantai penuh sampah? Tidak ada kan? Nah, tidak ada salahnya jugalah saya menulis sedikit bernada kritik. Supaya siapa pun yang membacanya, mereka mulai sadar soal sampah di tempat liburan. Semoga tersadarkan. Amin!
Oke. Lupakan dulu soal sampah di pantai. Kita coba cek penginapannya. Beberapa penginapan sederhana berkumpul, sekaligus menyajikan makanan laut, dengan harga yang saya sendiri tidak tahu. Lobster setengah kilo itu harganya seratus ribu. Tahu deh itu kemahalan atau tidak ya. Maklum ya, bukan ibu-ibu. Tapi secara insfratruktur, Pantai Sontolo belum begitu sesiap pantai-pantai di Pangandaran, Pelabuhan Ratu atau Carita. Penginapan di sini rata-rata masih terbilang sederhana. Bagi yang manja, baiknya tidak perlu menginap di sekitar pantai. Cari penginapan di sekitaran Garut saja. Toh jika niatnya ingin seharian di Pantai Santolo saja pun waktunya sudah cukup. Dari pagi hingga jelang senja. Tapi hati-hati juga saat pulang ke kota Garut, karena harus melewati hutan dan jalanan gelap. Atau cara lain ya tidur di mobil saja. Itu namanya nama penghematan ala backpacker. Hmmm…!
Sayangnya, saya tidak bisa berlama-lama di Santolo. Jadi, saya tidak bisa menyaksikan “The Great Sunset” khas Pantai Santolo. Plus, saya juga melewatkan beberapa pantai di sekitar Pameumpeuk, seperti Sayang Heulang, Ranca Buaya dan Hutan Sancang. Saya percaya, banyak sekali tujuan wisata yang masih perawan dan layak untuk dikunjungi di seantero Garut. Berhubung waktu saya hanya seiprit, saya pun melewatkan banyak objek wisata. Curug Orok, Curug Sanghyang Taraje, Curug Citiis, Curug Neglasari dan curug-curug lainnya.
Mungkin ini bisa dijadikan alasan kuat untuk saya kembali ke Garut, menjelajahi tempat yang belum saya jelajahi, dan menuliskannya di sini. Sementara sekarang, cukup sekilas inilah yang bisa saya sajikan.
Tunggu ulasan singkat soal Garut yang masih terselip ya.
Selamat menikmati Santolo!
“sonofmountmalang”