
Saya pernah bertanya begini ke seorang teman, Ares, asal Tasik, “Res, pernah ke Kampung Naga?” Jawabnya, “Nggak pernah euy.” Ok. Pembicaraan cukup sampai di situ saja. Kenapa? Ares ini asli Sunda, asli Tasik. Baginya, kampung-kampung sejenis Kampung Naga bukanlah sesuatu hal istimewa. Di kampungnya, Tasik, sudah bisa dipastikan masih banyak rumah-rumah asli Sunda. Bagi saya pun itu bukanlah sesuatu yang baru. Berhubung pacar saya asli Cina Mangga Besar dan terlalu kekotaan, maka membawanya ke kampung-kampung tradisional adalah pengetahuan baru untuknya. Yuk! Kita menuju Kampung Naga.
Menurut Mbah Google Map, perjalanan menuju Kampung Naga dari Garut itu sekitar 30 KM dengan jarak tempuh sekitar satu jam 6 menit. Oke. Mari kita pacu. Mobil pun meluncur melewati pemandangan pegunungan dan sawah. Keindahan sawah di perjalanan kali ini tidak kalah dari sawah-sawah di Bali. Subak-subak di sini lebih ekstrim dan partner jalan-jalan sekaligus pacar berdecak-decak norak dan terus ckrak-ckrek dengan kameranya. Dasar anak kota! Norak kamu! Hahahaha! Tapi sesekali juga saya berhenti. Memarkir mobil, keluar dan memandang diberingi menghirup udara persawahan yang tidak bisa saya ceritakan kemegahannya di sini. Saya juga tidak lupa memotretnya. Wah! Perjalanan kali ini banyak berhentinya. Godaan maut dari hijau-kuning dan subak-subak sawah membuat perjalanan tidak lancar. Namun semua itu tidak akan pernah terasa. Tahu-tahu mobil sudah belok kiri menuju parkiran luas untuk para pengunjung Kampung Naga. Saya pun sampai.
Lalu, dari mana asalnya nama Kampung Naga? Tersebutlah pada jaman dahulu kala ada sebuah perkampungan di lembah sisi sungai. Di kelilingi bukit, hutan dan sawah-sawah yang tidak pernah putus panen. Seluruh penduduk di kampung tersebut hidup dalam kecukupan. Padi di sawah, padi di lumbung desa, di lumbung ‘leuit’ rumah dan ikan-ikan di kolam tidak pernah ada habisnya. Mereka hidup damai, tenteram dan aman.
Sampai pada suatu sore, mereka digegerkan dengan kedatangan seekor naga raksasa. Naga tersebut mengamuk. Memakan semua padi, ikan dan menyemburkan api ke seluruh rumah. Rumah-rumah penduduk yang terbuat dari ijuk, bilik bambu dan kayu pun terbakar dengan cepat. Tidak ada seorang pun yang bisa menghentikan amukan naga raksasa. Namun, beruntunglah kampung tersebut memiliki seorang kuncen yang sedang bertapa di hutan keramat. Kuncen ini terkenal sakti. Dia penjaga kampung dari segala bahaya. Dia seorang yang memiliki insting paling kuat, tapi karena naga tersebut sakti, jadinya insting kuncen tertutup. Kuncen baru menyadari ada bahaya ketika ia melihat semburan api di tengah kampung.
Maka, dengan kesaktiannya, ia langsung terbang dari hutan keramat menuju ke tengah kampung. Sembari terbang, kuncen tersebut komat-kamit. Tidak lama kemudian, air deras dari aliran sungai pun terangkat ke atas desa. Hujan deras mengguyur seketika memadamkan kobaran api. Di tengah hujan deras itulah terjadi adu kesaktian antara KUNCEN dan NAGA. Suara gemuruh naga, suara lengkingan kuncen menghadirkan petir dan guntur di atas perkampungan. Seluruh penduduk bersila di tengah alun-alun. Mereka berdoa, menyatukan kekuatan untuk Sang Kuncen. Pertarungan berlangsung selama semalaman. Ketika menjelang subuh, tubuh sang naga sudah tidak kuat menahan gempuran dari ilmu kuncen yang dikeluarkan memalui Kujang Sakti, senjata khas tanah Sunda.
Akibat dari gempuran Kujang Sakti, tubuh naga perlahan melemas, semburan api dari mulutnya pun sudah mereda. Hanya tinggal asap putihnya saja. Pas saat matahari terbit, naga menyerah, kalah dan berjanji akan membalas kerusakan akibat amukannya dengan menjaga kampung dan penduduknya dari segala bahaya. Ia meminta maaf, kemudian melesak ke dalam tanah di tengah kampung tersebut.
Semenjak kejadian itu, kabar tentang kampung diserang naga tersebar ke desa-desa lainnya. Kampung-kampung di sekitarnya mulai menyebut kampung itu dengan sebutan Kampung Naga, kampung yang diserang naga. Semakin lama nama itu semakin melekat dan menjadi nama Kampung Naga hingga sekarang.
Itu cerita yang terlintas di kepala saya ketika memandang dari kejauhan Kampung Naga. Lain lagi cerita Mang Endud, pemandu asli asal Kampung Naga. Ia bercerita asal muasal nama Kampung Naga. Menurutnya, struktur tanah di Kampung Naga bukanlah dataran. Strukturnya berundak-undak atau bertebing-tebing atau ‘Gawir’ dalam bahasa Sunda. Untuk membuat Gawir ini tidak longsor dan membuat rumah di atasnya aman, maka dibuatlah Gawir tersebut dari batu-batu kali dengan perekat tanah merah. Rumah-rumah di kampung ini dipisahkan oleh Gawir-Gawir. Disederhanakan menjadi Nagawir. “Na” dalam bahasa Sunda artinya “terletak” “dekat” “di situ” “di dekat.” Sebagai bentuk penyederhanaannya menjadi Kampung Nagawir atau Kampung yang rumahnya ada di gawir-gawir. Disederhanakan lagi menjadi Kampung Naga. Nama ini sangat pas sekali dengan letak perkampungannya, yaitu di undakan tebing-tebing. So, jangan berharap datang ke Kampung Naga, kemudian bisa melihat Naga ya.
Sambil menuruni anak tangga menuju Kampung Naga, Mang Endud terus bercerita tak henti-hentinya. Sesekali dia berhenti, menunjuk ke hutan keramat, sesekali malah saya berhenti, menarik napas. Dia bercerita banyak sekali. Otak saya tidak mampu menampung semuanya. Lagipula sudah ada ribuan orang datang ke Kampung Naga dan menuliskannya di masing-masing Blog, Website, Milis dan sejenisnya. Bisa jadi tulisan-tulisan mereka lebih komplit dengan bahasa yang mudah dipahami. Namun saya akan tetap mencoba menuliskannya melalui bahasa sederhana secara singkat saja ya. Semoga bisa singkat.
Kampung Naga ini hanya memiliki luas sekitar 1,3 hektar dan tidak boleh diperluas. Jumlah rumahnya sekarang ada 113 rumah, satu Bumi Ageung, satu masjid dan balai pertemuan. Di tengahnya terdapat alun-alun atau dalam bahasa Sunda itu “buruan” atau tempat bermain, berkumpul dan menjemur padi. Bumi Ageung ini tidak semua orang boleh masuk. Hanya kuncenlah yang boleh masuk. Itu pun di hari-hari tertentu. Ada pun fungsi Balai Pertemuan digunakan untuk menampung tamu dalam jumlah besar dan acara-acara besar lainnya.
Ada yang terlewat soal bangunan. Di Kampung Naga ada bangunan lain, yaitu lumbung tempat menumbuk padi, lengkap dengan Leusung dan Alu, kandang hewan peliharaan dan jamban. Sayangnya sewaktu saya ke datang, tidak ada kegiatan menumbuk padi di lumbung. Kalau ada, pasti seru mencoba ikut menumbuk padi.
Kenapa rumah di Kampung Naga sudah tidak bisa bertambah lagi? Jawabannya sudah jelas. Kampung Naga memiliki batasan alam, berupa sungai, hutan keramat, hutan makam, parit kecil dan bukit. Jumlah rumahnya sekarang ada 113. Sudah tidak bisa ditambah lagi. Penduduk Kampung Naga yang sudah tidak bisa membangun rumah karena tanahnya sudah tidak cukup, dengan suka rela harus keluar dari Kampung Naga. Mereka mendirikan rumah di luar area Kampung Naga. Rumah di luar Kampung Naga, yang masih keturunan penduduk asli Naga, boleh membangun rumahnya secara modern. Atap boleh genteng, tembok boleh dari semen. Sementara rumah di dalam Kampung Naga masih menganut nilai-nilai tradisional, menyatu dengan alam dan memiliki arti penting bagi mereka yang tinggal di dalamnya. Semua bahan rumah 100 persen dari alam. Tidak ada yang campur tangan mesin dalam pengolahannya. Bahannya ijuk dari pohon aren, bilik dari anyaman bambu dan kayu. Setiap rumah saling berhadap-hadapan. Dapur ketemu dapur, belakang ketemu belakang dan pintu utama ketemu pintu utama. Rumah menghadap utara selatan dan membujur barat timur. Selain di Kampung Naga, setahu saya, konsep utara selatan timur barat itu memang terdapat di beberapa daerah Jawa Barat. Mungkin itu sudah menjadi pakem leluhur Sunda sejak jaman nenek moyangnya.
Mengapa bisa begitu? Ada sebuah nilai luhur yang tidak pernah dimiliki penduduk kota seperti Jakarta, bahkan mungkin sudah punah di kota ini. Nilai itu berupa keramahan bertegur sapa, saling menghormati dan penuh kerukunan. Itulah fungsi rumah saling berhadap-hadapan. Kita bisa belajar banyak kearifan lokal untuk diterapkan kembali ke dalam kehidupan kerasnya kota. #mimpi!
Wah! Banyak juga ya tulisannya. Padahal belum kelar nih cerita, nilai-nilai, kearifan dan budaya tentang Kampung Naga. Jika dibukukan, bisa menghasilkan satu gepok buku setebal ratusan halaman. Hmm…! Penasaran? Sebaiknya kalian berkunjunglah ke Kampung Naga. Ada banyak cerita yang bisa didengar, kemudian dicoba diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Melihat kehidupan di Kampung Naga akan membuat kita, kalian, saya dan siapa saja, akan merasa begitu iri. Mereka hidup sederhana dalam keserbacukupan dan menikmatinya. Bisakah kita begitu? Di kota besar seperti Jakarta dengan kegilaan jalanan, keegoisan orang-orang dan pekerjaan merajalela? Hmmm…!
Selamat menikmati!













Cat.: Jika ingin berkunjung atau menginap dan menikmati suasana Kampung Naga, coba saja hubungi Mang Endud (085721193916). Dia pemandu asli penduduk Kampung Naga yang bersiap memandu dengan ramah.
“sonofmountmalang”