
Di tahun 2013 ini, saya akan menambahkan satu kategori “DONGENG TIDUR TALA.” Dongeng pengantar tidur untuk pacar saya setiap malam, sampai ia tertidur dan terdengar bunyi ngorok. Sudah banyak dongeng pengantar tidur yang saya ceritakan. Sekarang, giliran saya menuliskan dongeng-dongeng itu di blog ini.
Dongengnya sendiri biasanya berisi keseruan, kesenangan, pengatahuan, permainan dan kehidupan bebas masa kecil saya di kaki Gunung Malang. Keseruan yang tidak akan pernah dialami anak-anak Jakarta, anak-anak masa kini, anak-anak saya kelak. Keseruan ini mungkin sekarang juga sudah dilupakan anak-anak di kaki Gunung Malang karena teknologi, permainan modern, film, tv dan kebaruan lainnya.
Saya akan memulainya dari KICENTE. Tanaman ini mudah ditemukan. Di sisi hutan, sisi kali, di tebing, di tengah padang belantara, di sisi perkebunan teh, sisi perkebunan cengkeh. Jika siang hari panasnya terik, mendeteksi tanaman ini mudah. Wangi daun dan bunganya menguap, sehingga bisa tercium di hidung. Wanginya sangat khas, tajam dan enak di penciuman. Jika tidak percaya, coba saja ambil bagian daunnya, kemudian remas-remas dan cium. Menurut saya, wanginya enak. Mau coba? Silakan.
Bagi burung, biasanya Kicente dijadikan tempat mereka singgah. Bersantai di dahannya sambil menyantap buah matang berwarna hitam. Rasanya manis.
Bagi saya, Kicente merupakan sumber peluru dalam peperangan di padang belantara bersama belasan teman lainnya. Buah Kicente yang masih hijau dan keras bisa dijadikan peluru. Jika terkena pipi atau bagian tubuh lainnya, rasanya pedas. Bisa meninggalkan bentol merah. Lumayan sakit sih jika kena pelurunya.
Lalu, bagaimana caranya buah Kicente bisa jadi peluru?
Biasanya, saya mencari batang bambu berdiameter seukuran jempol, panjangnya sekitar 30 cm dengan lubang bagian dalamnya sebesar pentulnya jarum pentul. Lebih besar sedikit atau ya saya mencari lubang yang sesuai dengan ukuran buah Kicente. Setelah mendapatkan bambu sepanjang 30 cm, saya membuat penusuk lubangnya dari bambu sepanjang 25 cm dengan pegangan dari buku bambu. Wah! Ini susah jelasinnya dengan kata-kata. Harus ada gambarnya. Gambarnya menyusul ya. Saya belum sempat membuat senjatanya. Nanti kalau sempat ke kaki Gunung Malang, akan saya buatkan senjatanya dan posting di sini supaya lebih jelas.
Nah, kalau senjatanya sudah siap, kantung celana sudah penuh dengan buah Kicente, maka perang pun siap dimulai. Jangan lupa juga membuat markas dari daun kering, ranting kering dan jerami kering. Supaya kalau kita sudah menguasai markas musuh, kita bisa membakar markasnya dengan mudah. Perang pun usai. Berujung damai, kemudian berenang di bendungan.
Seru kan ya!
Itu baru satu dongeng yang saya ceritakan tentang masa kecil saya di kaki Gunung Malang. Masih banyak dongeng lainnya yang saya ceritakan. Perlahan akan saya tuliskan di sini.
Untuk sementara, dongeng Kicente dulu saja ya. Dongeng lainnya menyusul.



“sonofmountmalang”