
Sekarang, saatnya berhenti bernapas. Berhenti bergerak. Berhenti berkedip. Berhenti bicara. Berhenti mengunyah. Kita semua akan terduduk di atas pasir. Mendengarkan perbincangan lautan, yang mabuk asmara, kepada pasiran, yang pun mendesah, tergelisahkan kebasahan membusa. Kita semua akan mendiami sebuah selasar sesamudera tak terukur, untuk menyambut rangkaian gemawan, saling tersulam, mengabu, menghitam, memutih, membiru mudar, yang ketika senja mulai melantai di air muka lautan, yang tak lagi jalang. Hanyalah paras jinak, memalu dan mulai berpijar, sembari menarikan erotisme terjelmakan seriak-riak berahi, yang mungkin sesaat juga akan meledak, menjadi pasang meraksasa. Dan, menghangtam kami bertiga, yang bercinta, berhampa, bernapsu dan rasa tak berbilang, tak terdefiniskan. Aku, Minke dan satu perempuan, di Pangandaran yang siap berpendar, dari memutih, menguning, melayung hingga layar malam terkembang. Kini, matahari pun mulai mengarungi lautan.
Seterusnya, aku dan minke melindurkan idealisme, di bawah pengaruh madat cahaya senja, dari carik barik puisi di masa kelam keemasan, sastra yang tak terjual dan beraroma anyir, dipunahkan pelacur bahasa jaman, yang menumpahkan odokolonye di atas susunan kotoran kata dan menjualnya seharga kacangan dengan kepala kata mencolok mata. Aku dan dia tertawa, melihat topi sang laskar, sastrawan karbitan terhebat se-Indonesia. Tertawa, menoleh sastrawan twitter, sastrawan facebook, sastrawan blogger, sastrawan milis, yang terbukukan. Dijual. Dijual. Dijual. Sastra sejenis kacang di pinggir jalan. Selamat menelannya dan diberakkan, plung!, di kakus. Musnah tak berjejak. Kami berdua tertawa kembali, saat senja terus mengiris urat nadi langit, dan warna serupa darah tercecer-cecer di refleksi lautan. Memerah semakin mengilu di retina jiwa.
Begitulah. Aku dan Minke, seorang sahabat sekaligus musuh jahat, terus melindurkan idealisme di atas desisan pasir bersama selinting ganja, sebungkusan kopi bencong dan sepenggal senja kelu nyaris habis terbungkus malam. Kami berdua dikondisikan giting olehnya.
Katanya,”Kapan lagi aku bisa membunuh karyamu, mencacinya, menginjaknya dan merendamnya di dasar lautan ya atau pun sebaliknya atau pun mereka, yang pernah tinggal di penjagalan sastra? Kapan lagi? Aku haus membunuh.”
Lantas, tertawa, dikalahkan letupan-letupan gelombang Pangandaran. Dia, Minke, terus berceloteh aneh. Aku menggangguk kepada lautan yang terus menciumi kakiku.
Berhentilah menjadi seolah-olahnya sastrawan, penyair atau pun binatang sejenisnya. Nikmati saja dunia kata, tanpa harus ada cap di jidat. Sebab, kita, adalah, mungkin, para idealis yang hanya bisa menggelisahi huruf tanpa menjualnya seharga sebungkusan kacang-kacang di pinggir jalan.
Kami berdua membenamkan puisi di bawah pasir. Memberikannya karangan kecil, dengan coretan pasir, “Puisi Sudah Modiyar!” Dan, marilah kita menari di bawah temaram senja yang sedang merangkai kata,”Selamat Jalan” kepada alam kabir, yang termengung di bibir laut, seraya mendesah basah. Sudah tidak ada waktu untuk berpuisi-puisian, bersastraan atau pun segala jenis sebutan lainnya. Aku terlalu sibuk menikmati keduniawian.
Seperti itulah, aku dan mungkin juga Minke, sudah meninggalkan masa lalu, perpuisian yang sering dimasturbasikan. Aku pun menyudahi bualan soal idealisme di ketika senja kian melumer di tapal batas samudera. Kami bertiga menikmati sisa lumerannya, hingga tak bersisa ditelan sang kelam.
Sekianlah, pergombalan tidak jelas ini. Selamat malam, Pangandaran, dan selamat menikmati kegelapan. Sampai bertemu di bualan berikutnya.










“sonofmountmalang”