Awalnya saya tidak ingin mem-posting soal Semarang, tapi sepertinya untuk menunjukkan keeksistensian saya pernah ke kota ini, maka sudah layak dan sepantasnyalah tulisan ini di-posting.
Saya tidak pernah menyangka kota ini akan memiliki suhu sepanas hati ketika melihat pacar ciuman dengan pria lain. Saya pikir panasnya masih bisa diterima akal sehat. Ternyata, menurut pribadi saya, panasnya Surabaya terkalahkan panasnya Semarang. Maka, dalam waktu hitungan jam, kulit saya yang memang awalnya sudah gosong, seketika berubah menjadi arang. Hitam, kelam dan berpeluh basah.
Namun hanya atas nama KERJALAH, semua itu saya nikmati panas demi panasnya.
Dan, jika membaca sejarah Semarang, itu sangat menarik. Dari jaman kerajaan hingga jaman Belanda. Sayangnya, saya tidak akan menuliskan sejarah Semarang. Terlalu banyak dan saya juga tidak bertemu tokoh yang mengerti secara detail soal sejarah Semarang. Ini kunjungan saya yang ala kadarnya. Tidak menggali sejarah, budaya, bangunan, seni, manusia-manusianya dan yang paling harus diperhatikan adalah makanannya. Nah, saya tidak menggali soal makanan lebih dalam. Tidak ada waktu.
Tenang sih, saya ada seiprit waktu untuk mencicipi makanan Semarang. Mesikpun tidak sebanyak refrensi yang dianjurkan seorang teman sekantor asli Semarang.
Pertama, Nasi Gandul. Kebanyakan rekan kerja saya lahir dan dibesarkan di keluarga Jawa, mereka bilang, Nasi Gandul ENAK! Cocok di lidah mereka. Menurut saya, Nasi Gandul terlalu manis. Lidah saya tidak cocok. Saya lebih jatuh cinta dengan masakan Surabayaan.
Sebagai oleh-oleh fotonya, inilah wajah Nasi Gandul.


Kedua, untuk melengkapi panasnya hawa Semarang, maka marilah kita semua makan Sate Kambing dan Gulai Kambing. Sate kambingnya enak dan gulai kambingnya manis. Ini menu sejuta umat di seluruh Indonesia. Gosipnya Sate dan Gulai Kambing 29 di daerah Kota Tua lebih enak dan terkenal. Saya tidak sempat makan di sana. Sekali lagi, waktunya tidak ada.





Ketiga, Zen bilang, kalau kamu lapar, makanlah. Kalau kamu haus, minumlah. Saya bilang, kalau lagi lapar gilak, makanlah apa pun! Dijamin enak! Salah satu makanan yang direkomenin sama penduduk setempat, yaitu Pecel Bu Sumo. Ini saya bener-bener kalap. Pecel tanpa nasi, tempe goreng empat dan bakwan goreng empat. Kenyang? Super kenyang! Tapi, sekali lagi, makanan Semarang cenderung manis. Termasuk pecel yang saya makan.

Keempat, selagi saya kosong, saya iseng jalan-jalan santai di sekitaran Jalan Pemuda sore hari. Eh, nemu Istana Wedang. Rada salah sih, jam-jam limaan di saat udara Semarang masih hangat, saya memesan Wedang Ronde, ya keringatanlah. Pokoknya, Semarang nih menguras keringat saya. Pagi, siang atau pun sore. Dan, Istana Wedang ini ternyata cukup terkenal. Mau?


Kelima, setelah bosan di Istana Wedang, saya loncat ke sebelahnya. Di sini ada Nasi Jawa. Rame banget! Masaknya menggunakan arang, tapi sayang rasanya, menurut saya biasa sekali. Ya, beginilah kalau berkunjung ke suatu kota untuk tugas. Mungkin kalau khusus traveling, saya bisa mencari makanan ENAK, kuliner DAHSYAT!


Keenam, sebenarnya ada satu tempat lagi yang saya kunjungi dan ramai banget. Namanya Kolam Pemancingan Barokah, Desa Sekopek – Mijen. Di sini super ramai! Tapi saya tidak makan di tempat karena tidak ada waktu untuk menunggu antrian. Jadi, kami semua memesan dan menunggu sambil kerja di atas bukit. Dua jam kemudian makanan datang dan WUENAKE RE! Apa karena saya sedang lapar parah ya. Tidak tahu juga. Yang jelas, Pemancingan Barokah ini pemiliknya seorang bapak tua bergaya ala Bob Sadino. Dia Pak Marno pemilik restoran, kolam ikan, perkebunan dan peternakan ayam. Dia pemilik tanah super luas. Intinya dia orang kaya dan saya suka gaya sederhananya.
Lain waktu saja ya, jika SEMESTA mendukung, saya akan ke Semarang dan merasakan kuliner lebih enak, wisata seru dan apa pun itu yang berhubungan dengan Semarang. Semoga ya. Amin!
“sonofmountmalang”