Sesorean itu. Semarang di jalan Pemuda. Udara di kulit menghangat. Jalanan melenggang bersahabat. Jugalah merangkak matahari di atap bangunan jaman Belanda. Mendesak penciuman kopi mengharum dari pintu sebuah café.
Sesorean itu, terkatung rasaku, antara ingin menyusuri sepanjang jalan Pemuda atau di balik kaca berpendingin saja aku mendekam. Ditemani terduduk sesosok perempuan membuang lepas jalan tatapannya. Hanya punggung terlihat bergerai hitamnya rambut.
Udara hangatnya Semarang tanpa angin berhembusan, memaksa masuk aku ke dalam café. Mendinginkan tubuh mulai berpeluh.
Aku pesan kopi hitam secangkir. Memanas. Memahit. Sedonat berisi coklat. Sedonat lagi berisikan stroberi. Terduduknya menghadap jalan di samping dua meter dari sesosok perempuan. Menatap hal yang sama, aku dan dia di jalanan Pemuda. Meliriknya sejenak untuk memastikan dia sesosok perempuan. Ya, perempuan dia. Memajang rambut panjang, membasah tipis di bibirnya dipoles lipbalm, di dadanya dua payudara menempel utuh seukuran satu setengah buah apel, berkaos muda biru, celana jeans, dan menyimpang tali bra warna hitam di pundak terbuka bebas berkulit sawo matang. Menggemaskan sedikit di pandangan sudut mata.
Secangkir kekosongan bersama di mejanya ia diam duduk, segenggam smartphone, setas warna coklat dan wajah kesepian bercampur cemas tergaris. Ia juga menunggu sesuatu datang, sepertinya, atau, berharap datang sesuatu, atau mungkin juga berharap sesuatu menyapa. Atau, bahkan berharap tidak ada apa-apa datang padanya. Kepastiannya, tidak tahu aku. Sebaris pembicaraan singkat bisa saja membuat, mungkin, membawanya ke perkenalan jauh lebih dekat. Aku dan sesosok perempuan itu hingga tak lagi berjarak memeteran.
Apa bahasa untuk membukanya? Seperti, menawarinya kopi?
Tawari saja,”Kopi?” sejengkal dari meja aku angkat secangkir mengebul tipis berasap.
Setidaknya akan ia bilang,”Silakan.”
Tentu saja selepas senyum membelah bibir berkilau basah buatannya. Diam berlalu lalang di depanku kemudian. Seolahnya, penawaran kopi itu bertitik. Berkoma seharusnya kopi ini, supaya ada olahan bahasa untuk bahasan ke menit-menit selanjutnya. Begitu bisa?
Penawaran kopi tetapinya pembuka sekaligus penutup pembicaraan. Sesosok perempuan itu bukan pengopi. Baik. Lupakan saja. Alasan hangatnya Semarang bisa dijadikan pembuka untuknya. Berikutnya.
“Begini selalu Semarang?”
“Selalu begini?”
“Selalu hangat begini?”
“Selalu. Hujan turun kecualinya.”
“Hujan aku.”
“Akunya Langit.”
“Menarik.”
“Tidak juga.”
“Konsep Hujan dan Langit, sebagai nama, lantas berada di satu ruang, saling diam, tidak berkenal, kemudian berkenal, itu menarik, menurutku.”
“Menarik.” Sesosok itu memutar kursinya ke arahku, dari jalan Pemuda ia menyimpang.
Aha! Sesosok perempuan pintar merangkai lidah. Mula memulainya saja aku sudah mulai suka. Sesosok di diamnya menyimpan daya unik menarik. Bisakah sepatah namanya terucap, atau memang ia Langit, nama khayali sesosoknya. Entahlah.
Pelajaran pertama jika ke suatu kota datang, ambil nama paling aneh. Semacam Hujan, Awan, Bumi, Daun, Pohon, Tanah, Pelangi, Bintang atau keanehan lainnya sebutkan. Untuk menarik perhatian, setidaknya, sesorean ini aku menjadi Hujan. Teman permulaan bicaraku menyebut dirinya Langit. Seperti apa jika Hujannya aku dan Langitnya sesosok itu bicara di sisi Jalan Pemuda. Mencobainya aku untuk mencinta, atau pura-pura mencinta, atau mencinta palsu di hangatnya Semarang untuk memanaskan ranjang di tengah malam.
Jangankah Langit sejenis CIBLEK?
Seorang teman bilang, seperti,”Cobain CIBLEK di Semarang. Cilik Betah meLEK. Biasanya hadir sebagai teman minum teh di warung tenda. Selanjutnya, bebas menentukan pilihan. Mau kemana dan mau diapain. Atau cicipi CEWEK MIO. Naek saja motornya. Nanti dibonceng dan bebas mau dibawa kemana atau diapain dimana.”
Mereka, Ceciblekan atau pun Cewek Mio jejadian, tak ber-cinta, juga ber-rasa pun tidak. Menyejenak hangat inginnya aku di Semarang, menyicip sesosok dada berbuah membulat, ber-rasa, juga ber-cinta hangat. Meniru drama Hollywood berakhir selalu di atas tempat tidur, ciuman kecil setidaknya menyangkut di bibirnya, bibirku, sebelum gelap, melelapi kota Semarang. Itu setidaknya aku berpikir memulai menuangkan sapa di tengah sepi suasana sejuk café sisi jalan.
“Langit? Sesuatu menunggu atau menunggu sesuatu?”
“Menunggu sesuatu hujan. Sesuatu gerimis. Sesuatu turun. Sesuatu datang. Sesuatu apa saja. Sesuatu atau bukan sesuatu sekali pun. Sesuatu untuk ditulis. ”
Tuing! Tuing! Kepala pusingku menyembul semirip Tom dijitak Jerry. Sesosok menyerocos panjang tak berjeda. Diam berhenti. Napas terhela.
“Di kota Semarang, siangnya sepanas neraka jahanam. Setuju? Sorenya, padaku saja percaya, pasti langit sejuta persen menurunkan pasukan. Hujan deras. Hujan kecil. Hujan sebentar. Hujan basa-basi. Hujan sekadar membasahkan jalanan. Hujan membawa banjir. Gerimis tipis. Gerimis tebal. Di sini aku duduk diam, setiap sore menuju sedikit malam, mengamati hujan, mencatat hujan, menyapa hujan dan mengapain saja dengan hujan. Mengerti? Hujan? Namamu kan?”
Gegarukan kepala saja aku mencibirkan mata ke trotoaran jalanan. Bingung. Pusing. Dia bukan Cecibelakan seperti terpikirkan atau seperti teman di Semarang umbarkan. Dia sesosok apa? Maksudnya perempuan apa?
“Kamu pikir aku Ciblek? Ciblek? Sejenis pelacur? Lonte? Pecun? Perempuan bayaran? Wanita murahan? Ditawari kopi kemudian reramah reramah basi dan melepas napsu di kamar hotelmu? Begitu?”
Sesosok itu kenapa menyerocos? Berdiam duduk menjadi-jadi aku. Kenapa aku bersalah diri begini. Melakukan apa harusnya aku kemudian supaya dia diam, dan melepaskannya menulis, menonton dan atau apa pun itu tentang hujannya. Asal bukan aku Hujannya, yang ia cecarin bahasa membingungi. Jika begini adanya sesosok perempuan. Kapan di Semarang aku bisa mencicip cinta. Semacamnya sopir truk saja. Membual cinta di setiap pengkolan jalanan. Hah!
Keadaannya, di depanku, sesosok itu duduk membicara sesuatu keseriusan bahasan. HUBUNGAN HUJAN & SASTRA. Aduh! Sesosok itu anak Sastra UNDIP. Sesosok di depanku sedang mengkaji dua keajaiban kata “Hujan dan Sastra.” Wak Waaaww! Kabar apa dunia di sini? Napsu tentang kelamin yang sudah ngaceng melenting, menciut kerut seketika. Bebayangan tentang ceciblekan di atas ranjang berpendar ke alam baka. Di hadapanku sesosok menyebut dirinya “Langit” calon penyastra dari kota Semarang. Terpikir pun tidak jika di Semarang ini punya atau akan sesosok sastrawan lahir. Hebatlah kalau begitu! Sepanas kota ini ada juga penulis penunggu hujan. Pengamat hujan dan segala jenis hubungan hujan menyerta sastra di dalamnya. Mana aku tahu!
Saya, tidak berani melawan bahasannya. Ilmu sastra saya NOL! Kosakata sastra pun NOL. Tak ingin saya bersastra. Keinginnya saya, santai berduduk, berbicarakan keringan-ringanan bahasan. Penyoal cinta semisal. Pelengkap sejuk di pendingin udara sebelum melangkahi trotoar malam di sepanjang Jalan Pemuda semisal hingga sampai Simpang Lima. Secukup bincangan kehidupan malam di kota Semarang. Atau jika bisa, jika sebisanya jatuh cinta semalaman pun cukup. Merasai cinta di Semarang pasti beda semerasai cinta di Jakarta.
Ah! Sudahlah ya. Menyerah aku pada sesosok perempuan itu. Tersebut Langit nama dari bibirnya.
Dan, diam. Dan, bungkam.
Sebagaimana hidup seorang penuh keberpura-puraan menjadi penulis, aku mengeluarkan laptop, dan menuliskan sesuatu memulai dari sebuah judul. Ya, sebut saja “Sesorean Cinta di Semarang” Aku pun tidak tahu apakah itu judul yang tepat. Bahkan sempat ganti, “Cinta Kilat di Semarang” juga “Sejam Cinta di Semarang” atau “Sesosok Perempuan Semarang” dan sudah bergonta-ganti judul, akhirnya aku kembalikan menjadi “Sesorean Cinta di Semarang.” Rasanya itu judul yang tepat, untuk menggambarkan cerita sore dari sebuah kafe sisi jalan, ketika sesosok perempuan berrambut panjang, berbuah dada imut, bibir menipis basah, secangkir kekosongan di mejanya, segenggam smartphone di tangannya dan sewajah gelisah menunggu sesuatu datang.
Setengah jam, menyapa seorang pria datang ke hadapan sesosok perempuan, pergi ke Jalan Pemuda kemudian, menyambut malam yang sudah turun dan merayakan matahari melesak ke balik gedung-gedung ketuaan.
Aku, menulis “Sesorean Cinta di Semarang.”
Sesorean itu. Semarang di jalan Pemuda. Udara di kulit menghangat. Jalanan melenggang bersahabat. Jugalah merangkak matahari di atap bangunan jaman Belanda. Mendesak penciuman kopi mengharum dari pintu sebuah café.
Sesorean itu, terkatung rasaku, antara ingin menyusuri sepanjang jalan Pemuda atau di balik kaca berpendingin saja aku mendekam. Ditemani terduduk sesosok perempuan membuang lepas jalan tatapannya. Hanya punggung terlihat bergerai hitamnya rambut.
Udara hangatnya Semarang tanpa angin berhembusan, memaksa masuk aku ke dalam café. Mendinginkan tubuh mulai berpeluh.
Asap tipis menerbang ketika aku tawarkan padanya secangkir kopi.
Kataku, “Kopi?”
Dan, manis sebuah senyuman khas perempuan terlempar dari bibir ber-lipbalm.
“Kopi?” katanya sesambilan mengangkat cangkir setengah jengkal dari meja.
“Menunggu sesuatu?”
“Iya.”
“Siapa?”
“Siapa saja.”
“Siapa saja?”
“Iya, siapa saja?”
“Siapa saja siapa saja?”
“Iya, siapa saja.”
“Kapan?”
“Bebas. Sekarang. Nanti. Siapa duluan.”
“Sekarang?”
“Boleh.”
“Sekarang juga?”
“Kapan saja. Bebas.”
“Oke.”
“Aku ngopi dulu ya.”
Kopi setengah cangkir aku habiskan dalam lima tegukan. Setengahnya lagi aku minta pindahkan ke paper cup. Laptopnya sudah pun kututup, memasukan ke dalam tas dan mengajak keluar café sesosok perempuan itu di sesorean hangat kota Semarang ketika beranjak malam, dan menenggelamnya sisa-sisa matahari.

“sonofmountmalang”