
Aku masih ingat. Saat kecil. Jika keluar pada malam hari, aku bisa melihat ratusan kunang-kunang berpendar. Melayang-layang. Di atas sawah. Di atas perkebunan teh. Di antara pepohonan cengkeh. Di celah-celah pohon kopi. Di halaman rumah. Di atas kolam ikan. Di atap rumah. Banyak! Ratusan. Tak terhitung. Nanti akan aku ceritakan dongeng seru sebelum tidur, tentang kunang-kunang.
Malam ini, aku tidak akan mendongeng sebelum tidur. Aku hanya akan membacakan sepenggal narasi kecil, langsung dari kepalaku. Narasi kecil tentang semiliar bebintangan di langit-langit malam, di ketika bekunya udara kaki Gunung Malang mulai merajah belulangan.
Setiap malam, sesaat setelah selimut kabut mendingin mulai mengetuk lubang jendela, aku keluar kamar. Membawa segulung tikar rombeng, bantal dan sarung. Aku membentangkan tikar di halaman rumah, lantas tiduran menghadap langit. Aku siap dijamahi semiliaran cahaya bintang secara berjamaah. Aku sungguh menikmatinya.
Hanya saja, terkadang, kenikmatan ritual menonton bintang sering terganggu oleh teriakkan ayahku. Ia memintaku masuk atau pintu rumah akan dikunci. Hahahaha! Terkadang juga, jika bintangnya sungguh menggila, aku lebih memilih dikunciin saja pintu rumahnya. Bagiku, tidur di tempat mana pun di belahan bumi apa pun, jika sudah waktunya, akan tertidur juga. Iya kan?
Di pagi harinya, aku bangun dengan rambut berembun dan seluruh tubuh seolah membeku. Rasanya dipendam di sebuah lemari es batu. Namun, aku akan-selalu mengulanginya dan terus mengulanginya. Seakan, cahaya bintang sudah mencandui hidupku.
Sempat juga terlintas di benakku, saat itu, kelak, suatu saat, jika aku sudah bersekolah lebih tinggi, aku harus mengambil jurusan astronot. Supaya aku bisa lebih dekat dengan bintang-bintang itu. Haha! Jurusan astronot. Memang ada?
Dan.
Biasanya, jam-jam paling pas untuk melihat puncak berkumpulnya bintang itu dimulai jam 12 malam. Saat paling pas dimana seluruh bintang saling bersaing untuk bercahaya. Langit pun menjadi meriah terang. Bagi yang takut kegelapan, tidak perlu takut lagi. Berbintang bebintangan akan menerangi jalan gelapmu di atas tanah.
Seperti semalam lalu, aku sudah siap menonton bintang di kaki Gunung Malang. Aku berniat mengabadikan bintang dan kunang-kunang. Kurang beruntungnya lensaku belum mampu menangkap kunang-kunang di malam hari.
Sialnya lagi, badanku terlalu loyo setelah abruk-abrukan di hutan mencari udang, sehingga rencana mengabadikan bintang di jam 12 malam pun terlewat. Padahal aku sudah pasang alarm jam satu malam. Rupanya, berisiknya alarm tidak membuatku bangun. Aku baru sadar ketika mendengar suara ayam menjerit di dekat jendela. Waaaahh! Sudah jam lima subuh!
Aku langsung keluar menenteng kamera. Mengabadikan sisa-sisa bintang yang dalam hitungan menit akan segera hilang disapu fajar. Sayang sekali ya.
Suatu saat, aku akan mengajakmu ke kaki Gunung Malang. Kita siapkan kopi, cemilan, tikar dan bantal. Kita akan menikmati miliaran cahaya di langit malam, di kaki Gunung Malang berudara beku.
Sekarang, aku hanya bisa menghadiahimu panenku pada bebintangan di lelangitan subuh, ketika sepucuk cahaya fajar mulai memecah gelap di ujung gunung.

“sonofmountmalang”