Banyak hal yang saya rindu ketika menyapa tanah di kaki Gunung Malang. Salah satunya, membiarkan tubuh disiksa udara dingin. Kulit disiram air seperti es. Berani?
Dinginnya menyebalkan jika tidak terbiasa. Dingin yang membuat saya tetap terjaga. Dingin yang membuat saya mengingat banyak kejadian hidup. Kejadian yang tak bisa saya lupa. Kejadian yang akan terus saya ceritakan sebagai pengantar tidur pacar saya.
Tetapi malam ini saya tidak ingin menceritakan sebuah dongeng sebelum tidur. Saya akan bercerita biasa saja, padanya, tentang kesederhanaan sebuah hangat, yang lahir dari bilah kayu atau pun potongan ranting disapa api, menjadi bara menyala. Di butanya pagi, atau di kalutnya sore.
Inilah yang saya sebut kesederhanaan hangat.
Sebetulnya ada banyak cara mencari hangat. Semisal perempuan yang terpeluk. Ciuman yang disisipi napsu. Percintaan terlarang di saung tengah sawah. Pacaran lugu di bawah pohon beringin samping pemakaman umum. Selimut tebal dari kulit macam tutul. Atau muntahan matahari pagi. Terserah. Kalian sukanya mana.
Kalau saya, lebih suka duduk di bangku kayu depan perapian berbara. Ini cara penduduk di kaki Gunung Malang menghangatkan badan. Mereka membakar kayu di tungku batu, lalu duduk di dekatnya.
Saya selalu melakukan hal itu ketika bangun jam empat subuh. Mandi di pancuran kali bersuhu di bawah 15 derajat. Ketika selesai, saya langsung menuju perapian. Duduk di depannya sambil menikmati secangkir teh hasil memetik di belakang rumah, digiling dengan tangan sendiri, dijemur, disangrai dan diseduh. Ditemaninya teh itu dengan singkong kukus bertabur keju atau mentega. Sedikit diberi garam. Atau lebih mewah lagi, singkong kukus dalam kondisi panas tersebut diberikan parutan gula merah hingga meleleh di atasnya. Dinikmati bersama panasnya teh khas buatan nenek saya. Itu adalah momen surgawi di pagi buta. Itu juga asupan energi paling hebat. Energi untuk saya berjalan kaki di setapak jalan berembun menuju sekolah. Seru, ‘kan?
Saya, setelah sekian lama tidak menyapa tanah di kaki Gunung Malang, akhirnya memijaknya kembali. Saya bangun di jam lima subuh. Menghangatkan badan di depan perapian. Tentu saja sambil menikmati kopi panas dan pisang goreng. Sesuatu yang tidak bisa saya jelaskan nikmatnya. Kamu harus mengalaminya sendiri. Jika mau sih.
Nah, akan saya kasih tahu satu trik unik untuk membuat kopi tetap panas. Trik ini saya dapatkan dari kakek dan nenek ketika ia masih hidup.
Supaya secangkir kopi atau pun teh tetap panas, saya mendekatkannya di dekat perapian. Rasa teh atau pun kopi, baik aroma atau pun kualitasnya tetap enak. Rasa sungguhan nikmat. Tidak percaya? Silakan coba sendiri.
Saya menghangatkan tubuh di depan perapian sampai kopi habis, pisang goreng lenyap dan matahari mulai menyapa di celah dapur. Dia mengajak saya bermain.
Mau gabung bareng saya di depan perapian. Menghangatkan badan sambil ngopi dan makan pisang goreng panas atau bermain bersama matahari? YUK!










“sonofmountmalang”