- Perbukitan di kaki Gunung Malang. Tempat saya bermain di masa lalu.
Nyaris setiap malam, sebelum tidur, saya mendongengkan sebuah dongeng. Perlahan dan pelan, saya membawa pacar saya, Tala, ke tempat dongeng itu terjadi, di kaki Gunung Malang.
Beberapa bulan lalu, saya mendongengkannya KOPI dan NENEK. Sekarang, saya membawanya ke kaki Gunung Malang untuk menyapa tempat-tempat masa kecil saya, melihat sisa-sisa perkebunan kopi milik nenek, yang usia pohon kopinya pun lebih tua dari usia nenek.
Mungkin cerita KOPI dan NENEK sudah seringkali saya tuliskan di beberapa bulan atau tahun lalu di blog ini. Rasanya, cerita tentangnya, tidak akan pernah habis dalam semalam dan akan selalu saya ingat setiap detail kejadiannya. Panen kopi hingga mencicipinya.
Tenang, saya tidak akan menceritakannya lagi sekarang. Saya hanya ingin pamer beberapa pohon kopi yang masih tersisa dan saya melarang mereka menebangnya. Saya pun sengaja ke Gunung Malang, karena kopinya sudah berbuah dan sebagain siap panen.
Saya dan partner pun meluncur menuju kaki Gunung Malang.
Di sana, saya menyapakannya ke pohon kopi dan mengajaknya memanen biji yang sudah merah.
Tanpa ba bi bu lagi, YUK IKUTAN PANEN KOPI!










Setelah semuanya mengelupas, biji kopi direndam di air mengalir untuk membuat lapisan lendirnya hilang dan prosesnya masih panjang sampai bisa diseduh. Masih ada proses perendaman selama 12 jam, proses penjemuran sampai lapisan tipisnya kering dan terlepas. Proses pelepasan lapisan paling tipis sampai hilang dan tinggal biji kopinya saja utuh. Biji kopi dijemur sampai kering. Masih ada proses menyangrai, menggiling, menyaring dan kopi siap diseduh. Sementara itu, sambil menunggu biji kopi siap diseduh, kita main-main bayangan yuk! *sayang nih mataharinya kurang gonjreng!*
“sonofmountmalang”