
Teman kantor saya, Dayan, sudah dari setahun lalu mengajak ke Lampung. Dia orang Lampung. Dia seringkali merayu, katanya, pantai di Lampung keren-keren. Pantai di dekat rumahnya juga keren-keren. Kalau bicara soal pantai, saya mudah diperdaya. Selain pantai, juga rencananya akan menginap di tenda, di tengah hutan. Cerita Dayan cukup menarik. Masa kecilnya tinggal di tengah hutan. Jauh kemana-mana. Di kepala saya, saya sedang membayangkan sedang berenang di pantai berpasir putih dan tidur di tengah hutan belantara. Seru ya!
Rayuannya membuat saya luluh. Saya pun melakukan perjalanan akhir pekan menuju Lampung bersama empat teman lainnya, Dayan si anak Lampung, Milla anak Manado KW-5, Mentari anak Semarang dan Dwi anak Jakarta.
Kami berlima naik kapal Merak – Bakauheni. Membayar tiket pelabuhan 275 ribu dan ngantri sekitar setengah jam untuk masuk ke kapal.
Jarak tempuh laut sekitar dua jam. Perjalanan malam tidak bisa begitu dinikmati. Tidak bisa melihat apa-apa. Hanya deru mesin kapal dan badannya membelah laut.
Saya sampai di Pelabuhan Bakahueni sekitar jam empat subuh. Tanpa banyak cingcong, saya mengendarai mobil di jalanan keriting dan bersaing dengan truk-truk, kontainer dan bis besar. Menyeramkan, menegangkan dan saya terus ngebut di jalanan Trans Sumatera dengan kecepatan 80 KM/Jam.
Tujuan utama perjalanan ke Lampung adalah kota Talang Padang, di dekat Gunung Tanggamus. Itu kampung Dayan. Ada apa sih di Talang Padang?


Kebanyakan di Talang Padang ini adalah pohon coklat, pohon kopi dan pohon kelapa. Pohon coklat dan kopi lebih mendominasi pemandangan di sepanjang jalan. Mungkin, hampir semua kepala keluarga di Lampung, khususnya Talang Padang itu memiliki perkebunan coklat dan kopi. Sekeliling rumah, depan belakang dan samping ditanami pohon coklat.
Nah, menurut cerita Dayan. Dulu, kakeknya, salah satu orang terkenal di Talang Padang. Raja Hussein namanya. Ia seorang kaya raya. Pemilik puluhan hektar sawah, kebun coklat, kebun kopi, kebun kelapa dan hasil bumi lainnya. Selain orang kaya, Raja Hussein juga seorang kepala adat pada jamannya. Ia tinggal di rumah adat Talang Padang. Rumah adat itu kini usianya sudah hampir 300 tahun dan tidak dirawat. Menurut pamannya teman saya, rumah itu dihuni banyak hantu.

Karena Raja Hussein ini seorang kaya raya, maka ia tidak ingin anak-anaknya lahir di rumah sakit biasa. Istrinya harus melahirkan di RS bagus. Salah satunya RS Katolik. Susternya memberi nama anak-anak Raja Hussein dengan nama-nama Katolik. Anaknya ada yang bernama Markus, dan terakhir anak kembar diberi nama Paulus – Petrus. Teman saya ini merupakan cucu Raja Hussein, dan nama-nama yang saya sebutkan tadi adalah pamannya. Bahkan, cucu-cucunya pun diberi nama keren. Yohanes, Xaverius dan beberapa nama katolik lainnya. Padahal mereka Islam. Lucu ya.
Suwenya, perjalanan menuju Talang Padang tidak begitu mulus. Sempat beberapa kali nyasar di Bandar Lampung. Teman saya sudah lupa jalan menuju kampung halamannya. Hiuh! Maklum. Dayan sudah tuwe!
Akhirnya, setelah lima jam perjalanan, saya sampai di rumah Paulus sekitar pukul 9 pagi. Di halaman rumahnya, Paulus sedang sibuk membereskan spanduk-spanduk untuk kampanye dirinya sebagai CALEG dari PKB. Lucu ya. Nama Paulus dan nyaleg dari partai Islam.

Kami berlima ngobrol sebentar dengan Paulus. Dia bercerita sedikit masa kecilnya Dayan. Cara bicaranya unik. Gaya Lampung. Terlebih lagi Paulus ini ceplas-ceplos kaya pelawak. Lucu dan ramah. Kami berlima disuguhi kopi Lampung. Lumayan untuk menyegarkan mata karena saya tidak tidur semalaman dan harus nyetir.

Rencana, setelah dari rumah Paulus, saya berlima akan berendam di pantai sekitaran KOTA AGUNG. Saya melewati jalanan liuk sana liuk sini. Udaranya panas-panas segar. Mungkin perpaduan segar dari Gunung Tanggamus dan panas karena dekat pantai.
Ketemu pantai bagus? Oh, jangan khawatir. Saya bertanya ke banyak orang di sekitara Kota Agung, jawabannya macam-macam. Ada yang bilang, “Pantai bagus di sana” “Di sini” “Nggak ada pantai bagus” “Pantainya kotor” “Ada di sana, tapi banyak yang mati.” “Jauh” “Dan jawaban-jawaban tidak menjawab masalah.”
Memang benar sih. Kota Agung ini bukan kota wisata. Tidak ada papan penunjuk ke pantai. Akhirnya saya diantar dua kali tukang ojek ke pantai berbeda, dua-duanya tidak menarik. Yang satu banyak sampah, yang satunya lagi airnya tidak bagus dan pasirnya hitam. Ombaknya pun menggulung.
Gagal! Impian untuk berenang pun punah. Ditambah lagi SAMSUNG GALAXY saya mati total. Biasanya, Samsung inilah yang menolong saya sebagai penunjuk tempat-tempat bagus di suatu daerah. Sementara teman saya lainnya menggunakan iPhone, yang mapnya tidak sebagus Samsung. Eaaaa!
Akhirnya, saya balik lagi ke Talang Padang. Padahal ya, dari Kota Agung ke arah Teluk Semangka lurus terus itu akan ketemu Pantai Krui dan berikutnya ada Bengkulu. Tanggung ya. Kepalang gila demi pantai. Sayangnya, Dayan yang orang Lampung ini juga rupanya orang LAMPUNG KW 10! Dia tidak tahu jalan dan tempat-tempat wisata. Lengkaplah acara terkatung-katung kita semua. Coba kalau dia mengaku tidak tahu, saya pasti sudah browsing sebelumnya. Tapi ya sudahlahyah, sudah terlanjur.
Demi haus air, kami berlima berhenti di Way Lalaan. Ini air terjun yang sudah ditinggalkan wisatawan. Toilet, tempat mandi, tempat berteduh dan bangunan lainnya sudah hancur. Karena sudah jarang didatangi, air terjun ini jadi bagus dan bebas sampah. Kami berlima berendam di air dingin. Badan kembali segar.








Saya melanjutkan perjalanan menuju rumah Markus di Campak Sia. Markus ini pamannya Dayan. Katanya, rumahnya, ada di tengah hutan. Rencananya, kami akan membuat tenda di tengah hutan. Oke! Mari menuju Campak Sia. Campak sia artinya tempat buangan. Di tempat ini, ada satu kampung yang bicaranya bahasa Sunda. Tahu kan ya. Lampung itu isinya orang-orang tramsmigran hasil kerjaannya jaman Kang Harto. Tidak heran juga banyak nama-nama daerah berbau Sunda dan Jawa di Lampung ini. Tidak heran juga banyak perkampungan Sunda dan Jawa.






Jalanan menuju Campak Sia melewati tengah sawah, kebun kelapa, tengah kebun coklat, pisang dan kopi. Jalanan berkerikil menuju lebatnya kebun coklat. Saya sampai di tengah kebun coklat. Di situlah ada rumah Markus. Ini beneran di tengah-tengah entah berantah, tapi bukan tengah hutan. Ini tengah perkebunan coklat dan kopi. Saya tidak sempat momotret banyak. Posisi saya sebagi sopir sedikit sulit mengambil banyak foto. Apalagi perut sungguh lapar. Di kepala saya adalah makanan makanan dan makanan. Saya mau makannn! Hahahha!
Sambil menunggu makanan matang, Dayan sibuk mendirikan tenda. Bukan di tengah hutan. Maksudnya Dayan hutan kopi dan coklat. Ahahhaha! Suwe. Kena tipu. Saya pikir beneran hutan belantara.
Sambil mendirikan tenda, Dayan juga sibuk mendirikan layar tancap. Rencananya, sambil santai di depan tenda, kami semua akan menikmati layar tancap.



Danggg! Malamnya, hujan hebat mengguyur Campak Sia. Lebih suwenya, tendanya bocoooorrr. Hhahahah! Goblos! Kami semua mengungsi ke rumah Om Markus. Di sanalah ketika mereka sibuk nonton, saya ngobrol berdua bersama Om Markus sambil menikmati kopi Lampung dan pisang goreng di tengah guyuran hujan deras.
Ketertarikan saya pada kopi yang membuat Om Markus ingin bicara dengan saya. Sambil terus menuangkan dan terus menikmati kopi Lampung, saya ngobrol seru.
Kebunnya seluas 50 hektar! Diisi oleh KELAPA, JENGKOL, DUKUH, PISANG, PALA, LADA dan terakhir adalah KOPI dan COKLAT! Seluas 50 hektar inilah isinya. Coklat tidak pernah berhenti panen. Setiap hari panen. Wow! Sekilo biji coklat dihargai sekitar 20 ribu. Kopi 15 ribu. Kelapa dua buah itu dijual dengan harga seribu! Pisang dan lainnya saya tidak bertanya. Di kepala saya sedang membayangkan dalam 50 hektar kebun, berapa coklat yang ia panen.




Tapi ia mengakui, ia tidak bisa mengurusi segalanya. Jadi, kebunnya dibiarkan berbuah begitu saja. Tidak diberi pupuk, tidak dibersihkan. Kalau jaman orang tuanya masih hidup, Raja Hussein, kebunnya dirawat dengan baik. Karena, pada jamannya, banyak para pekerja. Sekarang, Markus, di usia sudah tua, mengurusi 50 hektar itu sendirian dibantu anak-anaknya.
Seru bicara dengannya. Saya ingin sekali mengajarinya internet supaya dia lebih melek soal perdagangan dan perkebunan. Komoditi hasil buminya sangat menjanjikan jika diurus dengan baik. Bukan berarti juga dia tidak kaya. Saya berani jamin, kekayaannya jauh lebih banyak dibandingkan saya atau pun gaji seroang CEO di sebuah perusahaan. Menarik bicara panjang dengannya.
Tapi karena besok saya juga harus nyetir lagi menuju Pantai Pasir Putih, maka saya pamit ngorok.
Paginya, ketika kami semua pamitan, saya dikasih KOPI LUWAK segambreng! Senangnya bukan kepalang! Persediaan kopi untuk sebulan nih.


Kami berlima meninggalkan Om Markus di tengah kebun coklat. Mobil melesat menuju Pantai Pasir Putih. Di sana saya menyewa kapal seharga 300 ribu.
Nahhhh! Pantai Pasir Putih. Akhirnya ketemu pantai bagus juga. Bagus? Yakin!?
Pantai ini, menurut saya, BAGUS! Pasirnya putih. Banyak pulau di depannya. Kaya Ha Long Bay KW-4. Salah satu pulau yang akan saya tuju adalah PULAU CONDONG SULAH. Airnya jernih, biru dan pasirnya putih. Tapi ketika dilihat lebih dekat, saya jadi geli. Di tengah lautnya, BANYAK SAMPAH! Segala jenis plastik ada. Bahkan, ketika berada di pantai seberang pulau pun, isinya sampah semua. Pantainya sudah tidak dirawat. Bangunan sudah hancur. Mungkin beda kalau saya pergi ke pulau yang diberli Tommy Winata. Mungkin di sana bersih. Tapi beneran sih, pulau dan laut di dekat Pantai Pasir Putih ini sayang banget. Pemandangan di bawah lautnya BAGUS, tapi sampahnya beneran keterlaluan. Bahkan perahu yang saya tumpangi berkali-kali mesinnya mati karena baling-balingnya tersangkut plastik. KETERLALUAN! Saya kecewa, tapi harus ngapain? Sampah sebanyak itu siapa yang mau bersihin. Pantai sebagus itu juga isinya sampah semua, siapa mau bersihin.












Pulang saja yuk! Saya tidak jadi berenang. Geli melihat pantai dan laut isinya sampah semua.
Kami semua pulang. Kembali ke Jakarta. Weekend Getaway kali ini beneran amburadul dan pelajaran yang bisa diambil adalah, JANGAN HARAP “BAGUS” KITA SAMA DENGAN “BAGUSNYA” ORANG DAERAH. Dan untuk pemerintahan sekitaran Pantai Pasir Putih, please deh, SAMPAH di laut sudah tidak bisa dimaafkan. Masa mau melihat terumbu karang saja harus menyibakan sejuta sampah. Rrrrr….!
Sekian! *nabung buat ke TELUK KILUAN, KARIMUN JAWA, LOMBOk, FLORES, AMBON, SIKUAI, MENTAWAI, UJUNG KULON DKK*
Sisa foto Lampung akan di-posting di selanjutnya saja ya.
“sonofmountmalang”