
Ada cerita banyak seru di balik gambar ini. Kamu tahu kan pohon AREN? Pohon ini sangat mudah ditemui. Di hutan, di sisi hutan, di belakang rumah dan di antara pohon-pohon atau pun sayur di perkebunan. Khususnya di kaki Gunung Malang. Hampir setiap kepala keluarga memiliki pohon aren di kebunnya. Itu pun mereka tidak menanamnya. Musanglah yang menyebarkan biji aren ke segala arah di tanah-tanah kosong.
Pohon aren ini, ketika masih muda, tingginya sekitar 4-5 meter bisa dinikmati bagian daging dalamnya. Rasanya manis, segar dan ranum. Dimakan mentah atau pun dimasak juga enak. Masaknya ala-ala memasak rebung atau disayur berkuah pun enak. Kalau saya, biasa lebih suka memakannya mentah-mentah. Manis-manis menggemaskan rasanya di lidah.
Kalau pohon arennya sudah terlalu besar, tingginya bisa mencapai 15 meter atau lebih, dibiarkan sampai besar dan menghasilkan buah. Sebagian besar buahnya yang sudah tua akan dipanen ketika bulan puasa tiba. Kamu tahu kolang-kaling kan? Nah, kolang-kaling itu dari buah aren. Cara menghasilkan kolang-kaling tidak semudah yang kalian bayangkan. Buah yang sudah tua akan di panen, kemudian direbus di tengah kebun menggunakan drum. Buah direbus untuk melunakan cangkangnya sekaligus membuang getah yang bisa membuat badan gatal dan bahaya jika terkena kulit langsung. Buah yang sudah matang dikupas menggunakan pisau tajam. Bagian dalamnya, yang kita sebut kolang-kaling langsung direndam air untuk melepaskan rasa gatalnya. Tidak percaya, coba saja makan buah kolang-kaling yang barus diambil dari cangkangnya. Dijamin lidah kalian gatal sampe jerit-jerit.
Jadi, pohon aren, selain pohon mudanya enak dimakan, buahnya pun enak untuk dikolak.
Selanjutnya, buah yang masih muda dengan batang muda tentunya akan diolah menjadi gula aren. Ini bagian paling sulit untuk dilakukan. Tidak semua orang bisa melakukannya. Hanya orang-orang tertentu dan keterunan tertentu juga yang bisa melakukannya. Dan orang-orang ahli ini juga biasa dipakai jasanya untuk menurus pohon aren penduduk di kaki Gunung Malang.
Mau tahu caranya?
Langkah pertama, mereka memastikan batang buahnya sehat dan besar. Kalau sudah yakin, sang ahli biasa membersihkan ijuk dan tanaman yang menempel di pangkal batang buah. Tentu saja mereka melakukan semua itu dengan jampi-jampi dan ritual khusus. Setelah itu, setiap pagi dan sore, batang buah aren akan dipijit menggunakan pemukul kayu khusus. Sambil dipijit, batangnya digoyang-goyangkan dan biasanya sambil bernyanyi atau melantukan kidung-kidung. Saya tidak tahu persisnya sampai kapan mereka melakukannya. Itu insting sang penyadap saja yang tahu kapan harus memulai menyadap. Penyadap itu istilah mereka yang ahli dalam hal pohon aren.
Batang buah yang sudah diperlakukan sedemikian rupa, pada pagi atau sore akan dipotong. Di ujung potongannya akan ditaruh bambu gombong sepanjang satu meter. Tetesan air dari ujung batang akan memenuhi bambu semeter ketika diambil. Biasanya, diambil jam lima sore dan jam enam pagi.
Hasilnya disebut tuak atau LAHANG dalam istilah penduduk di kaki Gunung Malang. Tuak ini jika diminum langsung dari bambunya, rasanya manis dan enak. Mau?
Tuak atau lahang akan dibawa ke rumah. Di sana sudah disiapkan wajah raksasa. Nah, para penyadap, dalam sekali menyadap, tidak hanya menghasilkan satu dua bambu, mereka bisa menghasilkan enam sampai tujuh bambu. Tergantung seberapa banyak aren yang sedang mereka sadap.
Tuak tadi disatukan di satu wajan besar. Kemudian dipanaskan di atas tungku besar. Tuak dibiarkan bergejolak mendidih. Di dalam proses ini, tuak sudah berganti nama menjadi WEDANG. Wedang ini masih berbentuk cairan putih lebih keruh dan lebih wangi. Rasanya lebih manis dan enak diminum hangat-hangat bersama singkong rebus. Tentu saja tidak boleh diminum semua. Segelas dua gelas bolehlah. Kenapa? Kapan jadi gulanya kalau diminum semua.
Setelah melewati proses wedang, perlahan warna putih keruh akan berubah menjadi coklat dan semakin kental. Ketika kondisinya dalam keadaan menuju kental, saya suka memintanya tiga sendok makan. Tiga sendok makan tersebut dicelupkan ke air dan jadilah karemel. Lembut, super manis dan enak di lidah. Seperti ada seorang malaikat sedang menangis di lidah saya rasanya. Saya ketagihan. Hampir setiap kali meminta karamel di saat prosesi ini.
Selain menghasilkan karamel, kondisi menuju kental ini juga biasa digunakan untuk dicampur ke nasi pera’ hingga berkuah. Kondisi di saat seperti ini disebut PEU’EUT. Saya pernah teler karena makan nasi berkuah PEU’EUT. Ini manisnya bukan main dan enaknya juga tidak tangggung-tanggung. Dijamin ketagihan meskipun teler karena kemanisan.
Wajan akan terus diaduk hingga warnanya berubah menjadi coklat kehitaman. Dalam hitungan jam, cairan kental itu dimasukan ke dalam bambu sebuku dan dituangkan kembali ke dalam potongan-potongan bambu sepanjang 10 cm. Didiamkan sampai mengeras. Jika sudah mengeras, gula tersebut dilepaskan dari bambu dan jadilah GULA MERAH. Siap dibungkus pelapah pisang kering untuk dijual ke pasar atau penduduk yang membutuhkan.
Itulah proses panjang membuat gula merah. Tidak semudah yang kalian bayangkan. Butuh insting, naluri, ketepatan, kekuatan, kesabaran dan proses panjang.
Kata penduduk di kaki Gunung Malang, pohon aren merupakan pohon yang harus tetap dipelihara. Sebab, inilah pohon yang semua bagiannya berguna. Sapu lidi, gula, ijuk, daun untuk ketupat, besek dan anyaman-anyaman serta kolang-kaling dan pohonnya untuk bahan kerajinan tangan juga bisa.
Saya tidak memotret semua prosesnya. Kapan waktu ya kalau saya kembali ke kaki Gunung Malang, akan saya foto proses dari awal sampai menghasilkan gula aren. Bahkan sampai membuat karamel dan nasi PEU’EUT. Hmmm! Jadi ngeces membayangkan nasi PEU’EUT ini. Glek!
Kalau kita tahu betapa tidak mudahnya untuk menghasilan sesuatu, mungkin kita akan lebih bisa menghargainya.
Sekian!
Tunggu foto-fotonya ya.
“sonofmountmalang”