“Mau dongengin aku apalagi malam ini?” tanya Tala, nyaris bersamaan dengan kilat menembus kaca jendela, lalu mulai terdengar petir, sedetik kemudian hujan deras bercampur angin pun berkecamuk di luar kamar.

“Apa ya…?” aku balik nanya.

“Apa aja deh.”

“Soal hujan. Mau?”

“Ok. Siapkan diri dulu. Sementara aku bikin kopi dulu ya.”

“Jangan lama-lama.”

“Siap, juragan…!”

Berhubung malam ini hujan deras, dan Tala kembali ingin disuguhi dongeng sebelum tidur, maka, demi menyempurnakan dongeng tentang hujan, saya menyeduh kopi asli dari Gunung Malang ala French Press saja. Supaya cepat dan lebih gampang.

Serupuuut! Glek!

“Kamu pernah hujan-hujanan?” tanya saya ketika kembali ke kamar, ”Waktu kecil?” sambil menuangkan kopi segar ke cangkir.

“Nggak boleh hujan-hujanan. Katanya nanti sakit.”

“Mitos,” potongku, “Malam ini akan cerita tentang hujan ya. Mungkin bakalan panjang.”

“Nggak apa-apa. Aku dengerin.”

“Sebenarnya, banyak sekali dongeng soal hujan.”

“Aku dengerin semuanya.”

“Wokeh!”

Hujan merupakan satu dari sekian hiburan paling menyenangkan. Saya tidak pernah melewatkan sekali pun hujan di kaki Gunung Malang. Segala jenis hujan di kaki Gunung Malang sudah saya lalui.

Hujan gerimis. Hujan kecil.

Hujan sedang. Hujan besar.

Hujan deras. Hujan ringan.

Hujan angin. Hujan badai.

Hujan angin. Hujan petir.

Hujan dingin. Hujan saat ada matahari

Hujan di pagi hari. Hujan di siang hari.

Hujan di sore hari. Hujan di malam hari.

Saya biasa bermain hujan di sawah dengan bebecekannya, di halaman rumah dengan tumpahan hujan dari genteng, di hutan dengan terobosan hujan dari celah daun, di tengah padang ilalang tanpa halangan, di sungai sambil berenang, di lapangan bola sambil bermain, di ladang sambil memanen hasil pertanian, di kebun teh sambil peperangan, di tengah padang rumput sambil menyabit dan di segala tempat terbuka. Kebanyakan anak-anak di kaki Gunung Malang pernah merasakan serunya bermain di bawah hujan. Mereka pun sudah merasakan segala bentuk jenis hujan. Bugil, setengah bugil dan memakai baju.

“Setiap hujan memiliki cerita sendiri,” kataku.

“Yah! Alamat bersambung nih.”

“Nggak kok. Kali ini dongengnya langsung kelar. Palingan nanti ada seri khusus untuk dongeng hujan.”

“Ok.”

“Sampai dimana tadi ya? Aku lupa.”

“Sampai di bugil-bugilan.”

“Oh iya, bugil-bugilan…”

Hujan di Gunung Malang hari itu sudah berkumandang sedari subuh. Bersyukur ketika berangkat sekolah, hujannya sedikit mereda. Saya pun bisa berjalan kaki menuju sekolah dengan berpayungkan daun pisang. Sebagai catatan saja, ketika itu, tidak semua orang memiliki payung. Jadi sebagai pelindung saat hujan supaya tidak basah, adalah dengan mengambil daun pisang dari pohonnya atau daun talas atau tudung dari anyaman bambu yang biasa digunakan ibu-ibu pemetik teh. Bukan tudung caping ya, tapi tudung yang lebih lebar. Kapan waktu akan saya foto bentuknya seperti apa.

Seusai sekolah, karena hujan tidak juga berhenti, saya memutuskan untuk bermain bola di lapangan, dilanjutkan peperangan menggunakan lumpur di sawah dan ditutup dengan berenang di kali.

“Itu buku sama sepatu nggak basah?” tanya Tala.

“Kan tasku dari kantong kresek. Sepatunya sudah aku bungkus kantong kresek juga. Jadi aku nyeker. Buku aman. Sepatu aman.”

“Ohhhh!”

“Lanjut?”

“Lanjutttt!”

Tidak terasa, hari sudah melarutkan dirinya sendiri bersama sore. Saya lupa diri. Pulang berbarengan dengan tenggelamnya matahari di balik bukit. Di kepala saya sudah terbayang, perapian, teh panas, nasi panas, lauk masih panas, singkong kukus masih panas dan segala kenikmatan rasa hangat.

Namun, semuanya bayangan itu seketika dibawa hujan deras di halaman rumah. Ayah menyambut di pintu. Menghisap rokok, mereguk kopi dan mencengkeram sapu lidi.

“Dari mana?!” Nadanya tinggi. Mengalahkan petir.

“Yah…, kena lagi deh,” saya mengumpat dalam hati, “Sekolah….,” saya jawab santai, pelan dan sambil gemetar kedinginan.

“Sekolah sampai jam segini?!”

“Ada kerja kelompok. Maen bola. Berenang.”

“Dombanya dikasih makan apa?!”

Saya tak bisa menjawab.

“Wah, kamu dulu punya domba?” tanya Tala, memotong dongengnya.

“Iya.”

“Ada berapa?”

“Tiga.”

“Itu domba kamu?”

“Iya, satu punyaku dan duanya lagi punya orang tuaku.”

“Oke. Lanjut.”

“Rese ya. Motong di tengah jalan. Rusak nih mood dongengnya.”

“Lanjut ah!”

“Sampai dimana tadi? Aku lupa.”

“Sampai dombanya dikasih makan apa?”

Demi disambar petir, saya lupa mencari rumput untuk domba. Keasikan main sepulang sekolah. Biasanya, saya mencari dua karung rumput. Sekarung untuk makan sorenya dan sekarung lagi untuk makan paginya.

“Lupa,” saya jawab singkat dan pasrah.

“Balik badan,” suruhnya tegas, lugas dan perasaan saya tidak enak, ”Jalan ke tengah halaman.”

Saya berjalan ke tengah halaman. Hujan deras pun menyambut saya.

“Diam di situ. Sampe puas tuh hujan-hujanan,” katanya sambil menutup pintu.

Kacau! Alamat kedinginan setengah mampus kalau terus-terusan diguyur hujan begini, saya bicara sendiri. Meskipun sudah sering dihukum begini, tapi kali ini hujannya sungguhan deras bercampur angin dan sudah mulai gelap pula.

“Hah!? Kamu sering dihukum di bawah hujan?” Tala kaget.

“Ya iyalaaahh! Heylowww!”

“Nakal banget sih!”

“Heh?! Namanya juga anak-anak!” saya sewot.

“Terus dombanya makan apa?”

“Makan nasi!”

“Emang bisa?”

“Ya nggaklah! Dombanya makan rumput. Ibuku yang nyabit rumputnya.”

“Ohhh! Pantesan dihukum. Hahahahah!”

“Lanjut nggak nih?”

“Oh, masih berlanjut?”

“Dikit lagi.”

“Lanjutlah.”

Saya dihukum berdiri di bawah hujan sampai suasana menjadi gelap gulita, badan mati rasa, dengkul gemetar, gigi gemeretak dan seolah mati rasa. Ini mau sampai kapan begini terus? Biasa cuma dua jam dihukumnya. Ini sudah tiga jam dan cuma pakai celana dalam pula. Plus, hujannya juga seolah ikutan menghukum saya. Tidak adil nih. Terlalu banyak hujan tidak baik juga rasanya di badan. Hahahahah!

Akhirnya, saya tidak kuat berdiri lagi. Saya tiduran di atas tanah. Menahan dingin setengah mampus.

Tidak lama kemudian, ayah membuka pintu.

“Udah puas?!” teriaknya dari pintu.

“MENURUT LOEE?!!” Jawab saya dalam hati.

“Besok-besok, kalau lupa, hukumannya sampai subuh!”

“Jrotttt!” Saya mengumpat cukup dalam hati.

“Kenapa dalam hati terus sih?” tanya Tala.

“Ya, coba aja kamu berdiri di bawah hujan di kaki Gunung Malang selama empat jam lebih tanpa baju dan hanya celana dalam, dan dinginnya lebih dingin dari Puncak. Aku kasih kamu dua juta kalau bisa ngomong.”

“Hahhahaaha!” Tala hanya tertawa, ”Kirain bisa ngomong.”

“Ya nggaklah! Seluruh badan berasa kaku dan gigi-gigi gemeretak kencang. Boro bisa ngomong.”

“Iya iya! Lanjut deh….”

“Nggak ada makanan. Nggak ada minum teh anget. Nggak ada perapian dan nggak ada belajar!” ayah menutup pembicaraan.

“Terserahlah!!!” teriak di hati.

Saya masuk ke dalam rumah. Mengeringkan badan. Memakai baju, celana, kaos kaki.

Masuk kamar.

Dan.

Menghangatkan badan di balik selimut.

Itulah salah satu hukuman terberat. Berdiri di bawah hujan malam-malam selama empat jam lebih. Dinginnya bukan kepalang. Namun, karena sering dihukum berdiri di bawah hujan, saya jadi terbiasa lama-lama.

Tidak pernah kapok. Kapan-kapan lagi, saya akan melakukan kesalahan lain. Meskipun menurut saya itu bukan kesalahan. Ayah saya saja yang memang kurang kerjaan. Dia iri dengan masa kecil saya yang penuh kesenangan. Hihihi!

“Besok-besok, akan aku dongengin soal hujan-hujanan bersama gadis bernama Limah. Gimana? Tertarik?”

Tidak ada jawaban. Tala, si pendengar setianya sudah tertidur nyenyak di balik selimut.

Sementara di luaran kamar, hujan masih terus menggempur diiringi guntur.

Hmmmm….! Menyenangkan rasanya, bisa mendengar hujan di tengah malam, tanpa ada hukuman.

Hahahahah!

Selamat tertidur….!

“sonofmountmalang”


7 responses to “Dongeng (24) Hukuman Hujan”

  1. Alf Sukatmo Avatar

    Sugeng enjang.. Monggo ngopi..

    1. sonofmountmalang Avatar

      Mari raden ndoro sukatmo

  2. naycchamomile Avatar

    kupikir cuma aku yg suka banget hujan dan kopi,….hehehhe ceritanya jd inget masa kecil

    1. sonofmountmalang Avatar

      HIhihihihih! Yuk! Hujan hujanan:p

  3. chris13jkt Avatar

    Pantes sekarang jarang masuk angin, rupanya sejak kecil sudah digembleng begitu

    1. sonofmountmalang Avatar

      Iyaaaa. Hahahaha. Maklum hidup di hutan:))

komen sebagian dari blogging!:))

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: