
“Mau dengerin dongeng nggak malem ini?” tanya saya. Kali ini saya yang bersemangat.
“Mauuu!” jawabnya.
“Tapi ini bakalan bersambung. Nggak bakalan habis semalem.”
“Ya udah, nggak apa-apa.”
“Baiklah. Siap-siap ya.”
Konon, ada seorang kaya Jakarta, Sabdono namanya, membuka lahan di atas bukit di balik hutan Gunung Malang. Ia membangun dua vila besar. Membangun insfratuktur perkebunan untuk menanam berbagai jenis bunga, insfratuktur perkebunan untuk berbagai jenis sayuran, peternakan dan buah-buahan. Alat-alat berat untuk pertanian dan peternakan didatangkan dari Jakarta. Ia membangun jalan aspal melewati hutan Gunung Malang. Semuanya sudah siap dijalankan. Ia, Sabdono, membangun kehidupan baru di puncak hutan dan menciptakan sejuta lapangan pekerjaan untuk penduduk di sekitarnya. Mulai dari buruh, mandor, tukang masak, pemetik bunga, pemetik asparagus, pemeras susu dan masih banyak pekerjaaan lainnya.
“Ada bunga apa aja?”
“Banyak. Segala jenis bunga dan tanaman ada.”
“Ohhh! Kalau ternaknya?”
“Kambing, sapi perah, sapi potong, segala jenis domba, ayam, bebek, ikan dan banyaklah pokoknya.”
Semenjak ada pembangunan, puncak itu pun diberi nama Puncak Bungah. Artinya, Puncak Kebahagiaan, Puncak Kesenangan dan semua yang berbau hal-hal menyenangkan. Suasananya pun yang tadinya hanya hutan, berganti menjadi tempat orang berwisata. Berpiknik di sisi hutannya. Menikmati pemandangan bunga-bunga, buah-buahan, sayuran. Namun, tidak semua orang bisa masuk ke area Puncak Bungah. Sekelilingnya dipagar supaya tidak sembarang orang masuk. Jadi, kalau mau berwisata, ya hanya bisa melihat dari balik pagar dan sudah disediakan tempat untuk kumpul-kumpul.

Puncak Bungah pun semakin ramai di setiap hari Sabtu atau Minggu. Tempat itu menjadi satu-satunyayang memiliki listrik dari mesin diesel seukuran metromini. Rasanya norak saja sih melihat lampu menyala di malam hari. Melihat traktor di perkebunan dan lalu lalang truk membawa hasil panen menuju Jakarta.
“Emang norak sih kamu.”
“Biarin! Emang kenyataannya norak yeh.”
Berdirinya Puncak Bungah, selain memberi dampak positif karena membuka lapangan kerja, juga berdampak negatif. Pohon di hutan ditebang untuk kebutuhan perusahaan Sabdono. Kehidupan seks urakan pun mulai tercium di vila tersebut.
“Wah! Ini banyak banget nih. Bisa bercabang dongengnya.”
“Nggak apa-apa. Ceritain satu per satu.”
“Itu intro tentang Puncak Bungah.”
“Terus?”
“Sudah terbayang belum seperti apa Puncak Bungahnya?”
“Hmmm…. udah sih kayanya. Di atas gunung kan?”
“Iya.”
“Berbukit-bukit?”
“Iya.”
“Kebayanglah.”
“Good…!”
Itu sekilas tentang Puncak Bungah.
Untuk mencapai ke Puncak Bungah, dari rumah saya, harus ditempuh dengan berjalan kaki sekitar kurang lebih satu jam. Saya terbiasa ke Puncak Bungah sendirian. Ayah dan Ibu kerja di Puncak Bungah saat itu. Ayah menjadi mandor di peternakan dan ibu ya menemani. Mereka diberi rumah berkamat sayu, dapur, kamar mandi, ruang tamu, teras yang langsung menghadap padang rumput. Saya untuk sementara tinggal di rumah nenek, kaki Gunung Malang.
“Kamu sendirian? Jalan kaki di tengah hutan?”
“Iya. Aku ke Puncak Bungah di hari Minggu pagi atau Sabtu siang sepulang sekolah.”
“Nggak takut diterkam harimau?”
“Kan tinggal lari pontang-panting.”
“Hihihihihi.”
Saya pergi ke Puncak Bungah untuk bermain di puncaknya. Jalan-jalan. Melihat para petani kerja di perkebunan. Ikutan membantu ibu-ibu memetik bunga. Belajar bersama bakak-bapak menyemai bibit. Bermain di perkebunan teh sebelah bukit Puncak Bungah.
“Nanti ya, kalau aku sempat ke Puncak Bungah lagi, aku fotoin semua bukitnya. Meskipun bukit-bukit itu sudah penuh dengan ilalang dan pohon Kaliandra, Kiteble, Paku dan pohon-pohon tinggi lainnya. Kembali aku harus napak tilas lebih dalam. Kemarin itu aku hanya pergi ke bukit paling tinggi dan duduk terlalu lama di sana.”
“Kalau ke sana lagi aku boleh ikut doongg….!”
“Boleh. Asal kuat jalan kaki nanjak aja sih. Satu jam.”
“Hah? Sejam?”
“Hooh!”
“Istirahat-istirahat kan?”
“Boleh.”
“Asikkk…!”
Puncak Bungah pun menjadi trendsetter. Hampir seluruh penduduk di kaki Gunung Malang dan penduduk di bukit lainnya menanam segala jenis bunga di halaman rumahnya. Rumah-rumah berbilik bambu dan berteraskan kayu pun berpadu dengan bunga-bunga bermekaran. Itu jugalah yang membuat saya menyukai bunga. Untungnya, bunga itu tidak membuat saya berubah menjadi cewek.
“Hah?! Masa sih?” celetuk Tala.
“Maksooddd!??”
“Ooopsss!” katanya ditutup tawa.
Sial.
Selain menjadi ladang baru untuk mata pencaharian, Puncak Bungah juga menjadi tempat pacaran yang merangsang. Bagaimana tidak. Duduk di puncak bukit. Memandang lepas ke depan. Angin bergiliran masuk. Aroma hutan. Kemudian napsu bisa saja lepas. Dan tidak sedikit yang pacaran itu akhirnya bercinta di perkebunan. Banyak juga yang ketahuan, diintip dan menjadi cerita menyenangkan. Hahhahaha! Coba pada jaman itu sudah ada handphone atau kamera digital. Pastinya, adegan-adegan di kebun itu sudah menyebar ke seluruh Indonesia. Berhubung teknologi belum ada, cerita demi cerita pun terdengar.
Hmmm….! Layak dicoba.
Hahahahah!
“Sudah ah! Ceritanya jadi cabul begini.”
“Tau ih.”
“Aku lanjut besok lagi ya. Masih tentang puncak bungah.
“Udahan nih?”
“Udahan dulu. Berbusa nih.”
“Yaaaahhhhh…! Kamu kan masih banyak hutang dongengnya,” Tala pun kecewa.
“Iya ya?”
“Iyaaaa! Kamu janji bakalan dongengin dua sahabat kamu. Kakek kamu. Ayah kamu. Ibu kamu. Gadis desa. Pacar kamu itu dan semuanya. Sampai sekarang belum ke situ juga ceritanya.”
“Tenang….! Semua akan sampai pada waktunya…! Aku kelarin dulu Puncah Bungahnya. Baru nanti balik lagi ke dongeng di kaki Gunung Malang ya.”
Saya membereskan selimut. Mematikan lampu.
Selamat tidur nyenyak.








“sonofmountmalang”