
Sedang memindahkan file-file foto, ternyata banyak banget ya foto liburan di Bali yang belum terposting. Kasihan kan foto-fotonya tidak diapa-apain. Lebih baik posting sajalahyah. Ini potongan tulisan untuk membantu sedikit cerita soal Munduk.
#
……………………
Kita akan kemana lagi nih Pak Ketut? Saya bertanya ke Pak Ketut. Dia menjawab,”Kita akan ke air terjun Munduk.” Katanya Gitgit bagus, pak. Wah, itu jalan kakainya jauh. Oh, baiklah. Saya sudah gempor terlalu banyak jalan kaki di Bali.
Mobil yang kami tumpangi meluncur melewati hutan cengkeh dan kopi. Pak Ketut mulai bercerita lagi. Kaca mobil tetap kami buka. Wangi cengkeh tercium sepanjang jalan menuju desa Munduk. Katanya, kalau mau beli tanah di sini saja. Murah. Satu are harganya cuma 15 juta! Dalam satu are itu ada kopi, cengkeh dan coklat. Sekali panen udah bisa leha-leha. Makanya orang di sini kaya-kaya semua. Sekali panen cengkeh bisa mencukupi hidupnya sampai setahun berikutnya. Kalau mau, beli lewat saya saja. 15 Juta! Beli sehektar udah deh tinggal nunggu panennya saja. Sesekali nengokin ke sini. Enak kan tempatnya. Dingin dan masih asri. Belum rame sama turis.
Dalam hati, kalau saya punya uang milyaran kaya koruptor negeri ini, saya pasti langsung membeli tanah di desa Munduk ini. Saya suka wangi hutan cengkeh dan kopi serta airnya yang dingin. Bisa hidup damai tanpa polusi udara, kuping dan mata seperti di Legian atau Jakarta. Ah, mimpi! Lebih baik menyapa air terjun Munduk yang harus ditempuh berjalan kaki melalui anak tangga tanah yang licin. Rasanya, orgasme dadakan saya di tempat ini. Air terjunnya tinggi. Suaranya bergemuruh. Airnya meluluhkan hati yang panas tak mampu beli tanah di sini. Hahahhaha!
Saya nyaris setengah jam bercengkerama di air terjun Munduk. Menghirup udaranya, meminum airnya dan melepaskan energi negatif bersama aliran air. Tiba-tiba saya jatuh cinta begitu saja di desa Munduk. Padahal tidak ada gadis satu pun yang saya temui kecuali pacar saya, yang sejak kedatangan di Bali selalu ada di samping saya.
Sudahlah. Kalau berlama-lama, nanti bisa patah hati karena tidak mampu beli tanah di sini. Huyahahahaha! Saya melanjutkan perjalanan ke bawah. Jalanannya menggila. Tidak ada tanjakan. Semua jalanan turun dan turun. Pak Ketut akan membawa kami ke Banjar. Di sana ada permandian air panas.
Saya tidak begitu suka mandi air panas. Jadi tidak begitu antusias ketika sampai di sana. Lagipula, tidak ada gadis Bali mandi di tempat itu. Yang ada hanya bapak-bapak tua, emak-emak dan anak kecil. Yuk ah! Kita balik ke Legian saja. Saya butuh istirahat untuk mengumpulkan tenaga. Supaya besok masih bisa bergerak menjelejahi Bali bagian selatan.
Hari sudah mulai sore. Perjalanan kali ini menanjak. Saya akan kembali ke Legian. Butuh sekitar 3 jam dari Banjar. Dengan kondisi jalanan hujan begini, perjalanan akan semakin lama. Padahal saya mengejar pemandangan indah dari ketinggian Baturiti. Sepertinya tidak akan terlaksana. Ditambah lagi Pak Ketut berencana mampir ke desanya untuk membeli tuak. Katanya, tuak di kota sudah tidak asli lagi. Itu sebabnya dia ingin membeli tuak di desanya sendiri. Lho? Pak Ketut bukan orang Legian? Oh, ternyata bukan. Dia bilang, rata-rata, orang yang kerja di Legian atau Kuta, Denpasar dan sekitarnya, itu berasal dari kampung-kampung pelosok di Bali. Coba saja datang di hari Raya Galungan, Legian – Kuta itu sepi. Semua orang pulang kampung.
Dueh! Kaya di Jakarta donk ya. Iya, persis begitu. Jawabnya. Memangnya kampung Pak Ketut deket dari sini? Saya bertanya. Takut kalau jauh. Bisa-bisa sampai di Legian sudah malam. Dengan tenang dia menjawab, dekat kok. Ada di bawah sana.
Dekat? Satu hal. Jangan percaya orang Bali soal jarak. Dekatnya mereka berbeda dengan dekatnya manusia Jakarta pada umumnya. Desa yang dia bilang jaraknya dekat, ditempuh dengan waktu nyaris sejam dan melewati hutan kopi, cengkeh dan coklat. Jarak satu rumah ke rumah lainnya sekitar satu sampai dua kiloan. Serem!
Wah! Jangan-jangan saya akan di bawah ke tengah hutan. Terus Pak Ketut ini mangggil teman-temannya, kemudian saya dibunuh dan harta benda diambil semua. Tamatlah riwayat saya di tengah hutan cengkeh, kopi dan teh. Pasrah saja. Sempat terpikir untuk menulis di twitter,”Saya sedang dibawa ke tengah hutan. Kalau tidak kembali, tolong cari di desa Munduk mayatnya.” Horor!
Saya yakin, orang Bali itu baik-baik. Tidak mungkin mereka melakukan hal-hal aneh. Saya mencoba meyakinkan diri sendiri. Semuanya akan berjalan lancar. Saya dibawa ke dalam hutan. Semakin dalam. Semakin jauh dari keramaian. Semakin tidak ada rumah sama sekali. Semakin lebat pula hutannya. Hari sudah mulai sore. Hujan pun menyemarakan suasan horor di hutan Munduk.
Setelah sejam naik turun melewati hutan dibarengi hujan. Akhirnya Pak Ketut berhenti. Ini dia rumah saya. Saya tak bisa berkata-kata. Di tengah hutan belantara coklat, cengkeh, aren dan pohon-pohon lainnya, ada rumah semewah ini. Gila! Rumahnya tiga kali lipat lebih besar dari rumah saya. Terasnya luas. Warna catnya pun mentereng berwarna orange dipadu warna putih. Selamat datang di rumah sederhana saya, ucap Pak Ketut. Speechless. Saya menarik napas panjang. Masih belum percaya di tengah hutan ada rumah mewah. Jangan-jangan ini ilusi saya saja.
Ternyata ini bukan ilusi. Ini asli. Saya bisa merasakan air hujan mengenai kulit saya. Dingin. Kita minum tuak dulu ya, katanya. Pak Ketut mengajak ke gubuk di belakang rumahnya. Gubuk itu milik pamannya. Di depan gubuk ada bale-bale kecil. Di sana terlihat empat pria serem, ada juga berambut panjang, sedang duduk-duduk santai sambil merokok dan minum tuak. Waduh! Aman nggak sih nih. Apakah ini akhir hidup saya? Dibunuh orang dari desa Munduk. Ah, tidak mungkin. Mereka pasti orang baik semua.
Mereka memang baik kok. Mereka menawarkan saya tuak. Saya minumnya penuh ragu. Ada obat biusnya nggak ya. Jangan…jangan…., ah sudahlah. Saya minum seteguk. Lumayan juga. Mereka pun minum lagi dan lagi. Mau yang manis? Pamannya Pak Ketut bertanya. Jangan repot-repot, saya bilang. Tapi pamannya tetap memanjat pohon aren dan membawakan saya minuman segar manis langsung dari pohon aren. Glek! Glek! Dua gelas habis. Kami pun ngobrol ngalor ngidul sampai pada mereka semua mendoakan kami supaya segera mendapatkan keturunan.
Terima kasih! Terima kasih! Saya berkali-kali mengucapkannya. Maaf merepotkan. Mereka bilang, kami semua senang kedatangan orang. Maaf tidak bisa memberikan apa-apa. Maaf…
Saya jadi tidak enak hati. Pak Ketut pun mengakhiri pembicaraannya sambil mengeluarkan uang. Dia ini bos kalau ada uang. Kalau ngga ada uang, samalah kaya kami ini semua. Canda seorang paman tertuanya. Pak Ketut hanya cengar-cengir saja. Kemudian dia pamitan untuk pulang.
Saya pun pulang melewati hutan-hutan dengan jalanan tanpa lampu penerang, sementara hujan mengguyur sepanjang jalan pulang menuju Legian.
Sambil menyetir dengan hati-hati karena jalanan licin, Pak Ketut kembali bercerita soal kehidupannya. Saya pun bertanya sudah punya istri belum, dia menjawab ringan,”Istri saya tiga.” Heh?! Serius?! Dia meyakinkan saya dengan menjelaskan ketiga istrinya. Istri pertama menghasilkan dua anak. Anaknya sudah setinggi badannya. Lebih cocok adik ketimbang anak. Istri kedua tidak menghasilkan anak. Istri ketiga usianya seusia anaknya. Dia menikah dengan gadis belasan tahun dan mendapatkan seorang anak masih TK. Jika diberikan kesempatan, dia pun akan menambah istri lagi. Hebat!
Obrolan semakin seru, tetapi batas waktu dia menyetir 12 jam sudah nyaris habis. Lebih dari 12 jam, saya akan dikenai biaya tambahan 10 ribu per jam. Saya terpaksa harus menyetir sendiri. Sebelum menyetir sendiri, Pak Ketut bertanya tentang perjanjian sewa mobil. Dia meminta saya bertanya ke Pak Ketut. Heh?! Maksudnya? Saya jadi bingung. Saya nyewa mobil ke Pak Ketut. Yang nyetir juga Pak Ketut. Kenapa saya harus nelepon Pak Ketut kalau Pak Ketut sendiri ada di sebelah saya. Hiii! Bingung.
Bingung saya segera terjawab setelah Pak Ketut menjelaskan. Di sini banyak sekali nama Ketut. Ketut itu artinya anak ke empat. Dia pun menjelaskan lebih detail soal nama untuk anak pertama biasa disebut Gede, Putu, Ni Luh. Anak kedua biasanya ada Made atau Kadek. Sementar anak ketika selalu ada embel-embel Nyoman atau Komang. Oh, sekarang saya baru mengerti. Panggil saya Pak Ketut Budi saja, katanya. Baiklah. Saya menelpon Pak Ketut Mobil. Supaya kalau ke Bali saya tidak salah nelepon lagi, saya catat nama Pak Ketut di Blackberry saya. Pak Ketut Mobil dan Pak Ketut Sopir. Gampang kan ya.
Sesampainya di Legian, mobil kami berhenti di tempat oleh-oleh. Kumbawati namanya. Di sana Pak Ketut akan dijemput temannya dengan motor. Dia menyerahkan kunci mobilnya. Kami pun bersalaman. Terima kasih, Pak Ketut. Dia tersenyum, kemudian pergi.
Sekarang, giliran saya nyetir di sekitar Legian – Kuta – Seminyak. Saya pede bisa sampai ke penginapan di Legian tanpa tersasar sedikit pun. Jalanan di Bali sepertinya gampang. Lurus lurus belok kiri belok kanan sampai deh di jalanan bernama Double Six/Arjuna.
Semenit. Dua menit. Tiga menit. Setengah jam saya tersasar-sasar di tengah kota Legian – Kuta. Kembali bertemu jalan yang sama, pertigaan yang sama dan resto yang sama. Dimanakah hotel tempat saya menginap? Keringat mulai bercucuran padahal mobil berpendingin. Sementara jalanan di Legian – Kuta rasanya semakin menggila. Macet dimana-mana. Parkir dimana-mana. Motornya melesat-lesat seperti kelelawar baru keluar dari goa. Duenk! Pusing. Cape. Putus asa. Google Map pun tidak membantu. Hanya satu yang bisa dilakukan, berdoa dan kembali meraba-raba jalanan menuju penginapan.
Setelah sejam lebih berputar-putar, akhirnya bertemu juga di jalan menuju penginapan. Terima kasih Dewata!
Cukup sudahlah yah nyetir malam ini. Niat untuk bergaul di sekitar Hard Rock Café pun pupus. Takut tersasar kemana-mana. Saya putuskan untuk nongkrong di Circle K saja. Bodoh! Ke Bali nongkrongnya di Circle K juga. Dueh! Tak apalah daripada sejam dua jam nyasar-nyasar tengah malam dengan perut kelaparan. Ngiks!
Perut kenyang, mata masih ingin belanja di sisi pantai Kuta. Tetapi tubuh terlalu lelah. Lebih baik istirahat. Masih ada Bali bagian selatan yang menunggu saya besok.
#
……………………………….





“sonofmountmalang”