
Selalu ada tempat baru di Bandung setiap tahunnya. Setiap bulannya malah. Tidak pernah ada yang bertahan atau pun abadi di Bandung. Tempat lama akan ditinggalkan. Tempat baru akan diramaikan. Namun ada satu yang tidak pernah berubah di kota Bandung. ABG-ABG masih tetap unyu, lucu, bening dan menggemaskan. Logatnya masih Sunda. Tengok saja sekumpulan ABG di Lawang Wangi, tempat nongkrong yang belumlah terlalu lama. Bahasanya masih Sunda pisan. Obrolannya pun kacau balau. Saya hanya bisa menangkap, misalnya,”Aing. Anying. Bagong sia mah. Lope-lopean. Teuing. Kumaha aing. Gelo eta mah. Budak. Nembak cowok. Tataksiran. Kabogoh. Bobogohan.” Intinyamah, seruhlah nguping ABG ngobrol di Lawang Wangi. Cuma ya begitulah, namanya juga ABG. Kumpulnya cuma berlima, tapi suaranya seolah ada berlima puluh dan nadanya pada tinggi semua euy. Tapi, rupanya, tidak hanya ABG yang bisa heboh, emak-emak, ABG matang sekuliahan, kumpulan ibu-ibu muda dan kumpulan cewek-cowok dewasa pun tidak mau kalah hebohnya. Lawang Wangi memang membuat semua orang yang datang menjadi ALAY. Hahahahah! Tidak peduli dari kelas mana pun. Untunglah saya menahan diri. Ya iyalah! Saya cuma berdua. Kalau heboh, ntar dikira gilak. Hahaha!
Bandung pun sedang diguyur hujan ketika saya datang. Menyenangkan sekali jika mendapati Bandung dalam kondisi basah! Apalagi berada di atas kota Bandung, seperti berada Lawang Wangi yang berasanya semakin dingin. Begh! Enak kan kalau pelukan di Lawang Wangi. Pelukan di balkon kayunya. Terus ciuman. Terus raba-rabaan. Terus…..! Basah semua! Halah! Ngayal gila!
Sayangnya, tidak ada sajian kopi menarik di Lawang Wangi. Mungkin, pendapat saya, memang tidak banyak tempat nongkrong di Bandung yang memberikan suguhan kopi sehebat di Jakarta. Pendapat saya saja. Paling mending ya Kopi Ireng. Jadi, saya hanya memesan minuman khas Lawang Wangi. Lumayan enak. Lagipula, apa pun yang dipesan di Lawang Wangi tidak lagi menjadi penting. Apa yang penting kemudian, adalah menikmati suasananya, menikmati pacarannya, menikmati pemandangannya, menikmati kabutnya, menikmati senjanya dan menikmai semuanya dengan harga, ya lumayan murah.
Berhubung Lawang Wangi semakin kaya pasar ABG, saya melipir ke Kopi Ireng. Sepi, dingin dan berkopi. Kurang asiknya, setiap kali ke Kopi Ireng, lagu yang diputer suka tidak nyambung dengan suasananya. Rock Melayu macam ST12lah, Peterpanlah dan musik sejenisnya. Harusnya, menurut saya, nuansa di Kopi Ireng itu bermusik sejenis Bossa Nova atau Light Jazz atau minimal Norah Jones-lah. Hujan, dingin dan kopi, apalagi coba kalau bukan jazz. Musik melayu is last century. Sorry ya, mas bro. Ini masalah selera. Hahaha! Pret!
Cukup di Kopi Ireng, saya pun kembali melakukan program pembuncitan perut di Warung Setiabudi dengan mengunyah SURABI PISANG COKLAT KEJU dan BAJIGUR! Begh! Teman hujan deras di kota Bandung memang pas banget makan beginian. Nikmat pisan atuh neng! Apo seh!?
Kenyang? Sudah. Kedinginan? Sudah. Cuci mata melihat ABG? Sudah. Ngopi? Sudah. Saatnya kembali menuju Jakarta. Eh, pas mau pulang, berpapasan sama KOPI ANJIS. Apalagi itu? Mampir nggak ya mampir nggak ya mampir nggak ya? Nggak mampir. Next time saya coba, ada apa di KOPI ANJIS? Apakah berisikan ABG-ABG unyu yang berhamburan dari Maranata? Entahlah. Masih misteri. Pret!
“sonofmountmalang”