“Akan ada dongeng apa malam ini?” Tanya Tala.
“Tadi sore aku memotret anak-anak kecil hujan-hujanan di depan rumah. Jadi, malam ini dongengnya akan ada hubungannya dengan hujan, dan anak kecil.”
“Asiikkk!”
“Siap siap dengarin yak!”
“Siap bosss!”
“Tapi tunggu sebentar ya, aku siapin kopi dulu.”
“Yahhhh! Kebanyakan ritualnya sih ah!” protesnya.
Ritual yang terkadang harus tetap dilakukan, adalah, membuat kopi sebelum mendongeng. Malam ini, dongengnya akan ditemani kopi hasil blend Blacklisted. Perkawinan campur antara Brazil, Nikaragua dan Ethiopia. Saya iseng menambahkan sesendok Flores. Kemudian digiling manual. Setelah itu barulah dibuat espresso menggunakan mokapot.
Sambil menunggu kopinya jadi, saya memulai sebuah dongeng sebelum tidur.
Usia saya masih polos saat itu. Masih duduk di bangku SD di kaki Gunung Malang. Seorang teman juga, yang usianya masih polos juga, masih SD juga. Namanya Halimah. Anak perempuan berkulit putih susu, rambut hitam sedikit bergelombang tenang, lesung di pipi kiri, pipi kanan dan dagu. Lesung di pipi kiri lebih besar dibandingkan lesung di pipi kanan. Anaknya manis. Cantik dan seronok. Dia adalah salah satu, bahkan mungkin satu-satunya teman perempuan, yang sering mengajak saya bermain di bawah gempuran hujan. Dia teman perempuan yang liar, seronok, ceroboh, sedikit cabul dan baik hati. Saya memiliki banyak kenangan liar dan kacau balau bersama Halimah.
“Halimah cinta monyet kamu?” Tala memotong dongengnya.
“Dia….” Tiba-tiba terdengar suara kopi sudah jadi dan wanginya menyesaki kamar. Sepertinya empat karakter kopi dari empat negara ini akan menghasilkan rasa luar biasa. Wanginya saja sudah terasa pahit.
Saya menuangkan kopinya ke cangkir kecil. Masih panas sekali. Tunggu sebentar. Sementara saya melanjutkan dongengnya.
“Dia. Halimah. Bukan cinta monyetku,” jawab saya.
“Ohhhh….”
“Kan ada cinta monyet di sekolah.”
“Yang belum kamu ceritain juga?”
“Iya.”
“Kapan tuh mau diceritain?”
“Kalau sudah waktunya. Sekarang Halimah dulu ya.”
Tala tidak menjawab. Saya meneguk kopi setengah panas. Mendiamkannya di mulut, lalu menelannya perlahan. Sangat nikmat sekali, kopi di saat malam dan suara hujan menggempur genteng.
Ketika mendung mulai mengepung kampung di kaki Gunung Malang, Halimah akan datang ke rumah. Dia mengajak saya rebahan di lapangan rumput, di halaman rumah, di pematang sawah atau di mana saja sekenanya. Biasanya, dia hanya mengenakan celana dalam jika hujan-hujanan. Kalau lagi parah, dia telanjang bulat. Teriak-teriak kegirangan berlarian di bawah hujan. Kalau ada petir, dia tidak pernah berlindung. Malah suka teriak-teriak senang. Saya pun ikutan teriak. Saya dan Halimah pada jaman itu bisa dibilang partner in crime. Sering sekali melakukan hal-hal yang absurd.
“Absurd gimana?” Tala memotong lagi.
“Itu nanti aja ya.”
“Ah!” gerutunya sebal.
Pernah suatu kali, saya dan Halimah bermain hujan sampai bibir-bibir membiru kedinginan parah. Tidak bisa bicara. Seluruh badan gemetar. Itu adalah puncak kenikmatan. Tetapi sehebat apa pun saya berdua bermain hujan, tidak pernah bisa mengalahkan hujan. Saya selalu berhenti sebelum hujannya berhenti. Lagipula, sangat tidak asik ketika sedang seru bermain hujan, tiba-tiba hujannya berhenti. Jadi, lebih baik berhenti sebelum hujannya berhenti. Entah siapa yang mengajarkan itu. Mungkin sudah aturan bagi anak-anak di kaki Gunung Malang.
Atau, jika sedang baru mulai asik berhujan-hujanan, tiba-tiba hujannya berhenti, maka dilanjutkan berenang di curug sungai yang dikelilingi batu-batu besar atau berenang di bendungan sungai sisi sawah. Objektifnya adalah saat itu bermain air sampai puas. Kepuasan berhenti di titik gigil paling hebat, yaitu ketika bibir sudah membiru, gigi dan dengkul bergetar.
Paling tersiksa ketika masa-masa musim kemarau. Halimah dan saya kehilangan keseimbangan permainan. Ujungnya saya berdua, kadang ada anak lain juga, pergi ke sawah atau sisi sungai membawa ember, gayung, alat untuk menyiram tanaman yang keluaran airnya menyerupai hujan dan perlengkapan apa saja yang bisa digunakan untuk menyiram. Setelah semuanya lengkap, perang-perangan air merupakan senjata pamungkas untuk berbasah-basahan jika hujan tidak kunjung datang.
Bahagia.
Senang.
Asik.
Tertawa.
Teriak.
Menjerit.
Berlari.
Basah.
Semua menjadi satu kata. SERU!
Saya pernah melakukan semuanya dengan berbaju. Setengah telanjang. Hingga telanjang bulat. Halimah bisa melihat saya. Saya bisa melihat Halimah. Siapa saja bisa saling melihat tanpa ada perasaan apa pun.
“Waahhhh! Dari kecil kamu udah liat cewek bugil. Pantesan gedenya super cabul!” potong Tala.
“Hahahaha!”
Tapi ketelanjangan pada masa kanak-kanak tidak dibalur napsu. Tidak pernah terbersit seujung upil pun sebuah rasa cabul. Saya belum mengerti konsep seks, konsep horny, konsep ngaceng, konsep ngewi, konsep ciuman, konsep pelukan, konsep cinta, konsep flirting, konsep masturbasi, konsep gerepe dan segala konsep pikiran jorok seperti sekarang ini. HAHAHAH! Oops!
Halimah merupakan sahabat paling ideal pada waktu kecil. Saya melakukan banyak hal bersamanya di bawah guyuran hujan di kaki Gunung Malang.
“Terus pacaran sama Halimah?”
“Nggak pernah. Dibilang partner in crime doank.”
“Ohhh! Selain hujan-hujanan berdua, ngapain lagi?”
“Banyak sih, tapi itu untuk besok malam ya.”
“Yahhhh. Nanggung amad sih.”
“Biar kamu tetap penasaran.”
“Ahhhh!”
Tala kecewa. Saya menghabiskan kopi terakhir.
“SELAMAT BERHUJAN-HUJANAN”

“sonofmountmalang”