“Kamu tahu, kan? Di kaki Gunung Malang belum ada listrik pada jaman itu?”
“Iya, aku tahu,” Tala, yang sudah siap mendengarkan dongeng, menimpali
pertanyaan saya.
“Malam ini aku akan mendongeng tentang cahaya.”
“Cahaya?”
“Hooh! Bukan cahaya dari lampu listrik.”
“Ohhh!”
“Ini tentang cahaya-cahaya di kaki Gunung Malang.”
“Okeh.”
“Soal cahaya obor udah pernah kan?”
“Kayanya pernah.”
“Oke. Kali ini aku cerita soal cahaya dari langit.”
Saya menyebutnya, cahaya sejuta purnama.
Di kaki Gunung Malang, ketika malam datang, kegelapannya hanya bisa diterangi oleh beberapa jenis cahaya. Cahaya obor, cahaya centir, cahaya lampu templok, cahaya patromak dan cahaya bulan.
“Centir apaan sih?”
“Nanti masing-masing cahaya akan aku ceritakan.”
Cahaya bulan purnama merupakan gantinya matahari di saat malam. Cahayanya bisa menerangi satu halaman rumah seluas lapangan bulu tangkis. Bahkan selapangan sepak bola. Bisa menerangi jalan setapak, sungai, kolam ikan, kebun dan banyak tempat. Bedanya dengan matahari, cahaya bulan jauh lebih lembut, putih dan tidak seterang matahari tentunya. Tetapi cukup untuk dijadikan penerangan malam.
Setiap bulan purnama tiba, hampir seluruh anak keluar rumah pada malam hari untuk bermain di halaman rumah yang luas. Permainan yang dimainkan bukan sesuatu yang sulit juga. Bisa bermain karet, maen bola, voli, petak umpet, kasti, galah sin, benteng-bentengan dan engklek. Jika cahaya bulannya sungguh terang, bermain kelereng pun masih bisa.
“Main gelap-gelapan?” tanya Tala penuh rasa heran.
“Terang-terangan,” jawab saya penuh rasa yakin.
“Emang bisa?”
“Kan aku jelasin, cahaya bulan di kaki Gunung Malang cukup terang.”
“Masa sih?” Tala tidak percaya.
Cahaya bulan di kaki Gunung Malang memang sangat terang. Selain udaranya yang sangat bersih, lokasi berada di ketinggian dan juga bulan purnama seperti lampu raksasa yang menggantung di langit. Cahayanya sangat terang, bisa menerangi apa pun yang ada di bawahnya. Sering kok jika malam tiba, beberapa penduduk pergi ke hutan, menebang pohon untuk dijadikan bahan membangun rumah.
“Serius?!” Tala semakin tidak percaya.
“Suatu hari, jika purnama sedang mampir di kaki Gunung Malang, aku ajak kamu ke sana dan keluar pada malam hari. Asal tahan dingin aja sih. Mau?”
“Mauuuu!”
“Kita akan berjalan ke tengah sawah, atau melihat bayangan bulan di telaga atau pergi ke sungai dan melihat kilauan aliran sungai.”
“Asiikkk….!” Sahutnya.
“Itu dongengnya sampai di situ ya.”
“Haaa?! Pendek amat!” Protesnya.
“Ah, lagian kan sudah kebayang serunya tanpa harus aku ceritain.”
“Serunya mana?”
“Ya, itu tadi. Bermain kasti di malam hari dan permainan lainnya.”
“Kebayang sih, tapi aku mau cerita detailnya. Boleh ya?”
“Masa sih nggak pernah memainkan permainan itu.”
“Pernah, tapi siang hari.”
“Ini nggak ada bedanya sama malam hari.”
“Ahhh! Nggak seru ah!”
“Aku lanjutin ya, tapi aku mau bikin kopi dulu.”
“Oke. Jangan lama-lama!”
Memang kurang seru nih rasanya jika mendongeng sebelum tidur tanpa ditemani secangkir kopi. Jadinya saya membuatkan kopi dulu. Ini kopi dari seorang teman di dunia maya, Johanesjonaz. Ia pergi ke Munduk, Bali, untuk menyepi di rumah petani setempat. Ia mengolah kopi bersama petani. Menyangrai dan menumbuknya. Jadilah kopi Munduk. Hasil tumbukannya sangat halus. Cocoknya diseduh dengan air panas atau digodok menggunakan ketel.
Saya seduh saja. Aromanya sangat khas. Aroma kopi seduh.
Secangkir kopi sudah siap menjadi teman mendongeng. Aromanya berebutan terbang-terbang memenuhi sekitar kamar. Di luar, suara hujan rintih-rintih terdengar menimpa atap karbon. Sekali dua kali, kilatan-kilatan petir menembus jendela, menyiramkan cahayanya ke wajah perempuan, Tala, yang sudah tertidur lelap dengan dengkuran setara dengkuran kucing.
Lidah menikmati kopi, sendirian. Telinga menikmati rintihan hujan. Sementara jiwa terhanyut bersama aliran hujan menuju kaki Gunung Malang ketika purnama tiba.
Bersambung…
“sonofmountmalang”