“Malam ini aku mau lanjutin cerita tentang Cahaya Sejuta Purnama ya.”

“Aku siapppp!”

“Goooddd!”

Cahaya purnama di kaki Gunung Malang mulai terang di atas jam 8 malam. Dengan catatan, langitnya cerah. Tidak ada awan sama sekali. Jika semuanya sudah pasti cerah, anak-anak akan berhamburan keluar rumah. Kalau sudah ada tanda teriakan dan jeritan anak-anak, maka permainan pun siap dimulai. Halimah, tentu saja ia akan selalu ada. Biasanya Halimah yang memanggil dari luar dan mengajak bermain saat bulan purnama. Ketiga sahabat saya, juga pasti ada. Anak-anak lain seumuran saya atau lebih besar juga pasti ada. Sementara orang tua biasanya duduk-duduk santai di bale-bale rumah sambil ngopi, ngeteh atau ngerokok. Mereka hanya mengawasi saja keseruan yang terjadi di halaman rumah.

Tapi terkadang juga sih, ada beberapa orang tua iseng ikutan bermain. Mereka ikut memeriahkan kehidupan malam di halaman rumah.

Halaman rumah di kaki Gunung Malang tidak ada rumputnya alias tanah keras saja. Kalau main, kaki dan seluruh badan siap-siap kotor dengan tanah. Yang membuat kotor itu main kasti, main tarik tambang orang atau main galasin atau main voli atau maen bola.

“Itu main tarik tambang orang kaya gimana sih?”

“Kamu nggak tahu?”

“Nggak. Baru denger.”

“Yehhh! Norak ah.”

Tarik tambang orang itu biasa dilakukan olah dua kelompok. Satu kelompok isinya paling sedikit empat orang. Semakin banyak ya semakin seru. Satu kelompok sepuluh orang sih paling seru.

Pertama, buat garis di tanah. Garisnya dibuat guratan di tanah. Kemudian di satu sisi garis berdiri 10 orang dan di sisi garis satunya lagi berdiri sepuluh orang. Masing-masing orang dari masing-masing kelompok akan membentuk tambang dengan melingkarkan tangannya ke pinggang temannya. Di masing-masing ujung garis akan berdiri anak paling kuat. Sebut saja sebagai ujung tombaknya. Ujung tombak masing-masing akan saling berpengan tangan. Dalam hitungan ketiga kedua kelompok akan saling tarik manarik dan anggota-anggota lainnya, yang sudah melingkarkan tangannya ke pinggang temannya di depan akan menarik ke belakang.

Siapa yang kuat, dialah yang menang.

Nah, biasanya kalau ujung tombaknya menang, otomatis akan terjengkang ke belakang dan akan membuat efek domono, membuat orang di belakang ikut jatuh. Sementara ujung tombak yang kalah akan tersungkur, diikuti oleh anggota lainnya. Kalah atau menang sama-sama jatuh dan kotor.

Tetapi ada satu hal yang saya suka dari permainan ini. Saya akan mencari anggota di depan untuk dipeluk pingganya itu ya anak perempuan. Hmmm…!

“Siapa?” Tanya Tala. Penasaran banget nih anak.

“Halimah biasanya.”

“Tuh kan, naksir Halimah.”

“Bukaaann! Dia itu tenaganya kuat.”

“Lho? Kalau tenaganya kuat, mestinya dia yang meluk pinggang kamu?”

“Kan dia meluk pinggang anak lain.”

“Yeee! Terus kenapa kamu meluk pinggang Halimah?”

“Lha? Kenapa jadi ribut?  Suka-suka aku dong mau meluk siapa. Nggak aku lanjutin nih.”

“Rrrrrr….!” gerutunya kesal.

Halimah itu badannya lebih besar dari saya. Tenaganya juga jauh lebih kuat. Plus, dia lebih gemuk juga. Jadi kalau meluk pinggangnya berasa lebih nyaman, empuk dan tidak sakit seperti meluk anak-anak kurus. Hmmmm…! Tenang, Halimah bukan cinta monyong saya. Dia hanya partner in crime di banyak hal. Santai saja. Cinta monyong saya belum masuk dongeng. Masih jauuuuh! Bahkan, kedua sahabat gila saya juga belum terkuak. Santai saja. Masih jauhhh!

Permainan saat bulan purnama akan terhenti jika semua sudah capai dan berkeringat. Paling malam sih jam sepuluh malam sudah bubar. Orang tua seringkali melanjutkan permainannya dengan menyalakan lampu bantuan supaya lebih terang, yaitu patromak. Mereka bermain bulu tangkis sampai lampu patromaknya mati kehabisan minyak tanahnya. Semua anak-anak pergi mandi, ganti baju dan menghangatkan diri di perapian. Setelah itu ngantuk, lalu tidur sampai dibangunkan kembali olah kicauan burung di sekeliling rumah.

Begitulah anak-anak di kaki Gunung Malang menikmati malam bulan purnama. Semuanya akan menunggu bulan berikutnya. Selama sebulan dalam gelapnya malam, masih ada cara lain untuk menikmati permainan di malam hari.

“Sebelum berlanjut, aku bikin kopi dulu. Boleh?”

“Udah malem sih, masih ngopi aja.”

“Yahhhh. Kan masih mau lanjut nih dongengnya.”

“Tapi udah malem.”

Saya melihat jarum jam sudah menunjuk angka sebelas malam.

“Ya udah, dongengnya lanjut besok deh ya. Kita bobo aja.”

“Boleh, tapi yang ada Halimahnya dong.”

“Tenang, Halimah akan mulai hadir. Lagian ada apa sih dengan Halimah?” Tanya saya heran.

“Penasaran aja, kamu pernah ngapain aja sama Halimah.”

“E buseeddd! Masih keciiilll! Mau ngapainnn.”

“Ceritain besok yah.”

“Hmmm……!” Saya hanya bergumam sambil menarik selimut. Memejamkan mata. Mengingat-ngingat, ngapain aja sih sama Halimah. Hmmmm….!

Selamat tertidur!

“sonofmountmalang”


2 responses to “Dongeng (30) Cahaya Sejuta Purnama – Dua”

  1. chris13jkt Avatar

    Wih kalau bulan purnama berarti mandinya malam juga ya . . . Gak dingin tuh?

komen sebagian dari blogging!:))

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: