Malam semakin meluluhkan tubuh gelapnya kepada kabut-kabut tipis di bawah bulan. Cahaya halusnya menembus celah tenda di atas perbukitan, tempat kami berdua berkemping. Suara malam serentak memenuhi ruang-ruang kosong di perbukitan. Suasana hening terisi oleh serangga malam. Angin terus meniupkan aroma malam. Dingin membelit kulit.

Malam ini saya akan melanjutkan dongeng sebelum tidur. Tidak seperti biasanya, dongeng kali ini saya ceritakan di bawah atap tenda. Bosan tidur di ranjang terus. Sekali-kali harus merasakan tidur di setengah alam bebas. Lampu remang-remangnya dari bulan malam saja. Itu sudah cukup.

     “Kemana kamu akan berlari jika hatimu sedang gelisah, ngambek atau marah besar?” itu pertanyaan saya sebelum memulai mendongeng sebelum tidur. Tala tidak menjawabnya. Ia tidak pernah berlari kemana-mana sepertinya.

Saya sering kali kabur dari rumah jika ribut dengan bapak atau sedang malas mendengarkan celotehan bapak atau hanya dalam kondisi gamang. Ada sebuah tempat di terpencil. Jauh dari rumah penduduk. Lokasinya ada atas bukit sisi hutan Gunung Malang.

Dari bukit ini, saya bisa melihat ke bawah. Sawah-sawah. Rumah penduduk. Ladang. Lapangan. Makam. Sungai. Sekolahan.

     “Nggak seru ah!”

     “Yah, tapi kamu harus tahu tempat ini.”

     “Buat apa?”

     “Pokoknya harus tahu supaya nanti aku tidak menceritakannya lagi. Kan semua dongeng ini baru awalan. Prolog untuk ke halaman berikutnya.”

     “Ohhhh! Lanjuuuut!”

Untuk mencapai bukit ini, saya harus berjalan kaki menanjak selama 30 menitlah. Tidak terlalu jauh. Jalananya hanya setapak saja. Kanan kiri kebun teh dan ilalang liar jelang ke bukit.

Di bukitnya sendiri tumbuh tanaman liar, buah-buahan liar dan lalapan. ada Cecenet, Antanan dan Buah Monyet. Masuk ke hutan sedikit tinggal ambil buah Canar. Diam di bukit ini, saya tidak akan pernah kelaparan. Ngambek seharian kabur dari rumah pun tetap bisa kenyang. Air jernih mengalir dari selokan hutan menuju perkampungan. Buah-buahan cukup untuk mengenyangkan perut.

Sebenarnya, ada tiga tempat yang biasa saya gunakan untuk kabur dari rumah. Bukit Sunyi, Goa di tebing dan Rumah Pohon. Ketiganya tempat nyaman untuk bersembunyi.

     “Kamu punya goa sama rumah pohon?”

     “Iya. Goanya aku bikin sendiri di tebing. Rumah pohon juga bikin sendiri.” “Wahhhh! Asiknya.”

     “Tempat itu yang tahu hanya aku dan kedua sahabatku. Dan ada satu lagi. gadis kecilku. Hmmm….”

     “Wahhh! Siapa? Halimah ya? Ngapain aja sama Halimah itu?”

     “Bukan Halimah! Ini gadis kecilku. Gadis yang akan menuntun ke sebuah dongeng besar selanjutnya. Nanti ceritanya. Belum sampai ke sana.”

     “Ahhhh! Nggak asik banget sih!”

     “Lanjut nggak nih?”

     “Ya deh!”

Di Bukit Sunyi ini saya biasa rebahan di atas daun Rasamala atau Puspa kering bersama dua sahabat saya atau gadis kecil itu. Suasananya sepi dan sejuk. Bebas untuk berbuat apa saja, melakukan apa saja, tanpa diketahui orang lain. Biasanya saya rebahan persis di bawah pohon Rasamala. Kadang pohon Puspa. Kedua pohon ini sama-sama enak untuk berlindung dari matahari.

Dari ketinggian bukit ini, saya bisa mendengar sayup-sayup suara orang memanggil, suara lengkingan ayam, kambing, domba, suara elang di lembah, suara burung-burung di atas pohon dan segala jenis suara, dengan jelas. Enak. Damai. Tenang. Sejuk dan wangi hutan tertiup angin gunung. Kamu harus merasakan berada di Bukit Sunyi. Cuma jalannya ya pasti ngos-ngosan. Kapan-kapan ya kalau kita ke Gunung Malang, saya ajak kamu ke tempat itu. Kita duduk sambil menikmati pemandangan dan suasananya.

      “Sekarang sudah tahu kan tempatku bersembunyi?”

      “Iya, tapi kurang seru ah! Nggak ada adegan adegan seru!”

      “Nanti juga bakalan seru.”

      “Sekarang aku mau diceritain tentang dua sahabat kamu dong. Ceritain gadis kecil itu dong. Ceritain Halimah lagi dong.”

      “Hahahaha! Penasaran banget sih sama mereka berdua.”

     “Habisnya, dongengnya masih prolog terus. Kapan masuk ke ceritanya. Ceritain Halimah aja deh, pernah diajak ke Bukit Sunyi itu nggak sih?”

     “Halimah?”

     “Iya.”

     “Pernah.”

     “Ayo ayo, ngapain sama Halimah di situ?”

     “Hmmm….!”

Seperti yang pernah saya dongengkan, Halimah hanyalah partner in crime. Kami berdua tidak pernah melakukan hal-hal senonoh meskipun kami berdua pernah bugil bareng, mandi bareng, berenang bareng, tidur bareng dan banyak hal dilakukan bareng-bareng. Entah kenapa, saya tidak berpikiran aneh-aneh ketika melihat Halimah telanjang bulat atau pun setengah bulat.

     “Aku tidak pernah berbuat apa-apa, kecuali pernah meremas payudaranya tanpa sengaja dan memeluknya.”

     “Wohhh! Mulai seru nih.”

     “Udah, segitu doank sih.”

     “Ahhhh! Di Bukit itu, sama Halimah, nggak pernah ngapa-ngapain?”

     “Nggak pernah. Aku sama Halimah cuma rebahan doank sambil melihat ke perkampungan dan sawah-sawah.”

     “Ahh…! Masa sih,” Tala mencoba mengorek-ngorek tentang Halimah.

     “Iya!” Saya ngotot, “Nanti deh aku ceritain soal Halimah lagi.”

     “Yah….! Udahan nih dongengnya?”

     “Kan cuma pengenalan Bukit Sunyi doank. Nanti apa yang terjadi di Bukit Sunyi ya akan ada ceritanya ya.”

     “Selalu ya, gantung dongengnya.”

Tala meminta saya menceritakan lebih jauh soal Bukit Sunyi, dua sahabat saya, Halimah dan gadis kecil itu. Tetapi karena udara dingin di tenda membuat saya harus segera meringkuk tidur di balik selimut tebal.

“sonofmountmalang”


2 responses to “Dongeng (31) Persembunyian”

  1. chris13jkt Avatar

    Wah jangan-jangan ini asal mula jadi suka sama ranting rasamala nih 🙂

    1. sonofmountmalang Avatar

      Hmmmm….! Bisa jadi MasKris:d

komen sebagian dari blogging!:))

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: