
Saya pernah berjanji begini ketika Ranting masih berada di dalam perut ibunya,”Ranting, kalau kamu sudah keluar, kita nongkrong bareng di Ranin yuk!”
Saat itu saya dan Madre, ibunya Ranting, sedang nongkrong di Ranin sembari menikmati Wamena dan ibunya Ranting menikmati es kopi susu. Obrolannya sederhana, tentang, bagaimana rasanya ketika Ranting sudah lahir dan duduk bertiga sambil ngobrol ditemani kopi. Rasanya belum terbayangkan serunya akan seperti apa.
Untuk mencoba merasakannya, saya menepati janji, sekaligus mengenalkan Ranting ke dunia kopi. Tidak hanya dunia kopi sebenarnya. Banyak dunia lainnya yang akan saya kenalkan. Perlahan saja. Satu per satu, ditanamkan sejak kecil. Seperti ketika nenek menanamkan kecintaannya pada kopi dan teh ke saya saat masih kecil.
Maka, jadilah saya pun membawa Ranting di usia dua bulan setengah ke Ranin. Rupanya, pemilik Ranin sekilas mengenali saya. Halah! Geer!
Saya memesan kopi, mikir, Wamena ala Syphon. Salah satu jenis kopi yang bisa dibilang rada susah mendapatkannya. Kayanya lho ya. Ketika pembuatannya, saya menggendong Ranting. Sambil berbisiklah, semoga Ranting mengerti, “Olla Ranting, itu Wamena, dari Papua, salah satu kopi terbaik milik Indonesia. Strong and black.” Ranting cuma bengong. Ya iyalah! Dia belum mengerti. Yang Ranting lakukan hanyalah bengong, sekali kali heboh dan menatap api membakar pantat syphon.
Ketika kopi sudah jadi, saya menjilatkan setetes kopi di bibirnya. Meksipun kata orang modern dan kedokteran, tidak boleh memberikan kopi ke new born selain ASI. Iya sih, cuma tangan saya gatal dan Ranting menjilat-jilat setetes kopi sambil nyengir. Tak apalahyah. Cuma sekali. Sekalian belajar menikmati kopi pahit.
Selain Wamena, saya pun diberikan secangkir kopi tester, sejenis cuppinglah istilahnya, secangkir Sinabung. Sinabung? Hmmm…! Baru dengar sih istilah Kopi Sinabung. Tapi karena masih kopi Sumatera, yuklah kita coba. Siapa tahu rasanya beda dari Sidikalang atau pun Mandheling.
Setelah diseduh, kali ini ala tubruk. Sinabung tubruk tepatnya. Entah lidah saya yang salah atau lidah saya yang belum ahli menikmati kopi, tapi Sinabung ini asamnya lumayan kuat. Mungkin karena dipanen setelah Sinabung meletus. Apa hubungannya. Saya tidak tahu. Saya kan asal nebak. Atau mungkin karena ini diseduh jadi beda rasanya. Secara saya tidak suka kopi tubruk. Mungkin besok besok, saya minta sinabung dibuat espresso. Okeh! Nanti ya ke Ranin lagi. Salah satu tempat nongkrong yang bisa memberikan sajian kopi dari sudut pandang berbeda. Halah! Iya dong. Ranin ini selalu mengingatkan saya akan Seniman Coffee. Setiap kali ke Ranin, pasti pengen ke Bali. Khususnya Ubud. Menikmati kopi dalam kereligiusan wangi dupa. Werrrrrr! Nunggu Ranting setahunlah baru bisa ke Bali.
Sementara, untuk saat ini, sesuai janji, saya ajak Ranting ke kedai-kedai kopi yang sering kami berdua singgahi ketika ia masih di dalam perut ibunya dan bahkan jauh sebelum ia ada, kami berdua sering membayangkan obrolan duduk bertigaan menikmati kopi. Kini, obrolan itu sudah menjadi kenyataan.
Selamat menikmati kopi, Ranting!
“sonofmountmalang”