
it sang itself
utterly away. Haiku-Matsuo Basho.
Jam lima sore saat itu. Di kaki Gunung Malang. Jam di mana lembayung jingga merona di bebukitan. Cahaya-cahaya berhamburan di jalan, sawah-sawah, ladang pertanian, di dedaunan dan di wajah-wajah anak gunung yang sedang bermain di halaman rumah. Nyanyian lantang Tonggeret – Tonggeret menyahut bersahutan. Di pohon jambu depan rumah. Di pohon pisang samping rumah. Di banyak pepohonan. Di segala arah.
Di balik jendela yang terbuka, Ranting terlelap di tengahnya. Nyanyian Tonggeret pengantar tidur sore. Baru. Baginya. Sembari dirasuki dinginya udara sore.
Setelah lama tidak mendengarkan nyanyian lantangnya, ketika kembali ke kaki Gunung Malang, telinga saya dimanjakan suara Tonggeret di segala penjuru rumah. Tongeret, begitu orang di kaki Gunung Malang menyebutnya, atau sebagian ada lagi yang menyebutnya Ower-Ower. Sesuai bunyi yang mereka pekikan.
Beruntungnya juga, kali ini, beberapa Tonggeret – Tonggeret itu bunyinya sangat dekat. Paling dekat di pohon depan jendela kamar, tempat di mana Ranting tertidur pulas.
Saya mengambil kamera untuk menangkap momen, ketika Tonggeret, serangga yang memiliki fase metamorfosa menakjubkan, memanggil lawan jenisnya untuk kawin di pohon. Selama 17 tahun Tonggeret hidup dalam fase larva. Setelah 17 tahun, ia akhirnya menjadi serangga dewasa dalam waktu tiga hari dan segera memasuki fase repoduksi. Beberapa minggu setelah perkawinan Tonggeret akan mati.
Banyak orang bilang, Tonggeret merupakan simbol berakhirnya musim penghujan. Di kaki Gunung Malang, Tonggeret selalu menyalak waktu Sariak Layung (istilah Sunda), yaitu waktu menuju senja. Waktu di mana anak-anak di kaki Gunung Malang harus menyudahi segala permainan dan pergi ke kali atau pancuran untuk mandi (pada jaman itu. jaman kini sudah ada kamar mandi).
Begitu juga hari ketika saya membawa Ranting ke kaki Gunung Malang, ketika senja-senja mulai melayu dan suara Tonggeret perlahan saling terdiam, digantikan jangkrik-jangkrik, gaang atau anjing tanah, serangga malam dan binatang malam lainnya, saya masuk ke rumah.
Di langit biru sendu, dihias sembulan bulan seperempat dan ceceran bintang. Di kaki Gunung Malang, saya, Ranting dan Tala bagi saya, dan Madre bagi Ranting, berbaring meluruskan pikiran yang ditenangkan oleh nyanyian malam dan hembusan udara dingin dari celah-celah jendela dan bilik rumah.

17 tahun bermimpi
3 hari berteriak mencari pasangan sejati
lantas mati


“sonofmountmalang”