
Ketika malam sudah melangkahkan kakinya memelan dari langit ke bumi hingga terang-terang sore itu segera melangkah mundur secara teratur. Kidung dari para penyembah kegelapan, di bawah tanah, di dahan-dahan pohon dan di langit redup mulai dilantunkan. Gemawan berbentuk cawan-cawan hitam dan gema guntur melantur, semakinlah menyempurnakan diri, beriringan dengan meleburnya hujan di daun-daun dan atap teras rumah.
Malam ini, saya bersama alunan hujan, akan menyempurnakannya lagi dengan secangkir aroma surga dari Nusa Tenggara Timur, pemberian seorang teman. Surga yang begitu kelam, garang dengan aroma sekuat cinta saya pada perempuan-perempuan berbincu merah membakar bibir dan rok sutera tembus pandang. Surga yang disangrai dengan tungku batu dan api dari kayu bakar, menghasilkan kegarangan rasa dan kegelapan warna.
Saya menyiapkannya dengan gaya syphon untuk mendapatkan kualitas rasa dan aroma kopi yang selaras dengan rasa serta aroma sang malam.
Hasilnya, ada rasa getir yang menggentarkan. Ada aroma yang melesak ke sudut ruangan aram-temaram dan sela-sela indera penciuman yang menggelora. Sisanya, adalah momen menyelami makna sebuah malam dengan alunan pelan hujan dan secangkir surga dari Nusa Tenggara Timur yang akan menjadikan malam saya, malam ini, menjadi sangat panjang. Hingga pada akhirnya hujan mulai pasai bercinta dengan tanah dan bulan sesempurna wajah gadis lugu di kejauhan, memaksa awan-awan memudar dan ia berpendar terang di malam langit.
Siapa yang mau membunuh malam bersama secangkir surga dari Nusa Tenggara Timur? Yuklah! Kita melayar ke sana dan menyatukan diri bersama penduduk setampat untuk belajar melakukan ritual pembuatan kopi dengan insting yang membara dan jiwa yang menyalak. Bukan dengan mesin dan waktu yang terukur.
Yuk! Yuk! *kemudian membayangkan keindahan flores sambil merenungi bulan benderang*



― Carl Sandburg *langit Cimanggis*
“sonofmountmalang”