s
“Dago.”

                       

Seorang Rindu     

            Ran, kataku, memulai sebuah perbincangan ketika kami berdua duduk di kursi kayu di sebuah café di Dago, tempat di mana asap kopi menyampaikan doa-doa ke langit hampa bintang.
            Aku pernah sekali menjatuhkan cintaku pada seorang perempuan di sini, lanjutku. Ranting, sahabat kecilku, pelanga pelongo. Ia tidak mengerti, namun ia tetap mendengarkannya.
            Akan aku ceritakan sebuah cerita, malam ini untukmu, Ran. Tentang seorang perempuan bernama Rindu, serupa cahaya-cahaya di atas kota, yang hanya mampu aku reguki dari pandangan jauh. Tanpa tersentuh, tetapi rasa senangnya meresap ke segala pembuluh darah. Membuatku, malam itu, terhanyutkan ke ladang di mana mariyuana sedang dibakar oleh pesta ria petaninya.
            Aku gele gilak!
            Aw! Sangat menyenangkan, Ran.
            Malam itu.
            Bahkan, Ran, aku bisa menuliskan dua halaman puisi cinta dengan bahasa selegit susu kental manis, dan indahnya, bisa dianalogikan segerlap-gerlap di atas kota Bandung.
            Aku menunjuk ke lautan bintang-bintang di bawah lengkungan langit semu hitam.
            Romantis sadis, ‘kan Ran?
            Saat itu.
            Cintaku pada perempuan itu, Rindu, sekali lagi, namanya, biar kamu ingat ya, Ran, sangat gaduh, kalut dan haru biru. Entah ungkapan apa lagi yang bisa memetaforakan perasaan.
            Ketika, udara Dago sedang berada di titik terdingin. Kedua tanganku memeluk, diriku. Kedua tangannya, memeluk dirinya. Kami berdua sedang disiksa nikmatnya desiran angin yang mencantuk hingga ke tulang dada.
             Kami berdua.
            Aku dan perempuan itu,
            Rindu, tentunya,
            duduk di atap mobil berasalkan syal tebal berwarna ungu tua miliknya, yang selalu ia bawa ke mana pun ia pergi. Aku tahu hal itu, karena ia pernah bercerita. Syal ungu tua itu pemberian salah satu laki-laki yang pernah mencintainya setengah mati, dan kemudian Rindu dan laki-laki itu, saling mencintai pun lah setengah mati. Setengah tahun kemudian, kedua cintanya mati.
            Kasihan ya, Ran.
            Rindu belum bisa move on dari laki-laki masa lalunya. Buktinya, syal sialan ungu tua, yang menjadi alas duduk kami berdua, selalu ia bawa. Dan aku, mau juga mendudukinya.
            Pernah ada dua cinta setengah mati saling bertubrukan, di anyaman syal ini ada sisa-sisa cinta yang terselip dan aku masih bisa menghirupinya, begitu kata Rindu, suatu hari, ketika aku tanya, ada apa dengan syal itu.
            Lupakan ya, Ran, soal syal itu. Tidak begitu penting untuk diceritakan.
            Tidak akan aku lanjutkan juga sih. Aku lanjutkan tentang Rindu saja ya.
            Malam itu, kami sudah tiga jam duduk di atap mobil. Aku sudah menghabiskan satu cangkir kopi dingin, Rindu sudah menghabiskan satu botol kecil bir dingin. Kami pun saling menyampah jutaan kata, obrolan tanpa arah.
            Terkadang tertawa.
            Tersenyum.
            Terdiam.
            Saling bertatap lama.
            Bertatapan sebentar.
            Malingkan wajah.
            Merunduk.
            Mencuri-curi pandang.
            Diam lagi.
            Oh, ya Ran. Ada satu hal lagi, sebelum berlanjut. Aku cinta mati dengan kopi, dan Rindu tergila-gila dengan bir. Baginya, kopi hanya untuk orang-orang serius. Sementara bir, hanya untuk orang-orang periang. Soal kedua jenis minuman itu, kami pernah berdebat panjang. Itu akan aku ceritakan lain kali saja.
            Setelah tiga jam duduk di atap mobil, aku, akhirnya, tetibaan saja sih, ingin jatuh cinta padanya. Pada Rindu. Tidak tahu kenapa. Mungkin sudah berteman selama lima tahun. Sudah melakukan perjalanan panjang dan tidak pernah melakukan apa-apa. Sudah sering duduk berjam-jam dan bubaran di pintu gerbang sebuah mall atau tempat nongkrong. Sementara Rindu itu, Ran, menurut pandangan mataku, sangat meresahkan jantung yang terkadang suka meletup-letup sedikit dan otak cabulku suka sekali melintas, membayangkannya, aku bisa memeluknya.
            Dan, hamparan cahaya-cahaya di atas kota Bandung, membuatku, kepadanya, menjadi romantis gilak!
            Entah aku yang romatis saja, dan Rindu tidak.
            Entah cinta tanpa logika saja atau selintasan gairah, karena malam itu, ia sedang terlihat seksi dengan botol bir yang ia dekap di antara ke dua payudara .
            Atau ia merasakan hal yang sama. Atau tidak.
            Mungkin juga, Ran, karena udara Bandung dingin dan aku jadi ingin lebih dekat dengannya. Mengunci kata-kata, melepaskan rasa. Melalui persentuhan kedua tangan kami.
            Aku hanya ingin menggengam tangannya saja.
            Setidaknya, itu yang ada di kepalaku, di larut malam.
            Akhirnyalah, aku memutuskan untuk bersabda.
            Begini sabdaku, bahasa, yang aku susun secantik aku bisa.
            Boleh jatuh cintakah aku di atas bintang-bintang bumi Parahyangan, mencintaimu sampai tak sadarkan diri, gila juga tak apalah, di ketinggian tanah berudara dingin, tetapi hanya semalam ini saja. Esok, subuh-subuh, ketika bintang-bintang daratan meluluh, begitu jugalah tentang perjatuhan cintaku, rasa yang aku ingin percikan cukup semalaman, melenyapkan dirinya.
            Bolehkah?
            Aku jatuh cinta malam ini.
            Rindu?
            Rindu, terduduk di sebelahku, sahabat tanpa syarat, perempuan berwajah lugu sedikit dungu, malaikat manis tak bersayap, merekatkan botol bir ke belahan dadanya, menatap diam ke rupa kota bermandikan cahaya. Ia hanya menarik napas pelan sekali, sedikit panjang, dihembuskan cepat, melepaskan kabut tipis dari kedua bibir memonyong kedinginan yang tetap berusaha basah oleh sisa curahan bir senyap bercampur embun dan telah berbaur dengan pelembab bibirnya yang kian menipis, namun tetap saja terlihat menggoda, untuk diarungi.
            Kira-kira kamu bisa menebak, Ran, apa jawaban Rindu malam itu. Jawabannya sangat sederhana. Tidak serumit bahasa yang aku cipta.
            Jawabannya…..
            …….
Bersambung ya…..
Note: Setelah membukukan DONGENG TIDUR TALA sebanyak 200 halaman, kini saatnya menulis Cerita untuk sahabat imut saya, Ranting Areythuza, tentang “Seorang Rindu”, salah satu kategori baru yang akan memeriahkan blog ini. Siapa sih Rindu? Ikutin aja yuk ceritanya.

“sonfomountmalang”

 

5 responses to “(1) Cerita untuk Ranting Areythuza; “Seorang Rindu””

  1. ledrakenoir Avatar

    Wow, what a view… 🙂

    1. sonofmountmalang Avatar

      Yep! One of the most romantic place. For me:p

  2. ledrakenoir Avatar

    Yeah the view call for romance – so beautiful… 🙂

  3. nonoymanga Avatar

    a low light eye candy!!!

  4. cindy knoke Avatar

    You capture such beauty!

komen sebagian dari blogging!:))

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: