Malam ini, Ranting dan Tala sudah siap kembali mendengarkan dongeng sebelum tidur. Sesuai janji, saya akan mendongengkan tentang serunya PERANG DI KAKI GUNUNG MALANG.

“Sudah siap semuanya?”

Ranting sudah rebahan di lengan saya dan Tala alias Madre-nya Ranting sudah menyelimutkan dirinya.

Sepertinya semua sudah siap.

Di kaki Gunung Malang, aku tidak pernah kehabisan permainan. Salah satu permainan yang semua pemainnya anak laki-laki itu perang.

Perang di kaki Gunung Malang ada tiga jenis. Pertama, perang di padang semak belukar. Kedua, perang di kebun teh. Ketiga, perang di sawah setengah kering yang habis panen beberapa bulan.

Aku ceritain yang perang di padang semak belukar ya.

Perang di sini dibagi menjadi dua tim. Banyaknya tergantung yang ikutan. Sepuluh lawan sepuluh atau lima lawan lima juga bisa. Semakin banyak sih semakin seru.

Padang semak belukarnya harus memiliki kondisi seperti ini ya. Harus memiliki ilalang dan rerumputan setinggi minimal 30 senti meter. Semakin tinggi ilalang atau rerumputan semakin baik. Harus memiliki pohon-pohon setinggi dua meteran di beberapa titik. Biasanya, pohon yang tumbuh bernama KITEBLE. Fungsinya sebagai menara pengawas dan tempat bersembunyi. Harus memilik luas minimal selapangan sepak bola.

Kalau sudah memiliki medan tempur seperti itu, perang siap disusun. Pertama, harus membuat markas. Markas berjauhan. Satu markas di ujung semak belukar dan satunya lagi di ujung lainnya. Markas dibuat di pohon KITEBLE. Di dalam markas harus diberi daun-daun kering.

Markas sudah siap, senapan dibuat dari pelapah pisang. Cara membuatnya gampang. Pelapah pisang dibuat menjadi senapan AK-47. Aturannya sederhana, kalau sudah ketembak dengan kata DOR dari belakang atau duluan teriak, ya sudah pura-pura mati.

“Paham ya Ting aturannya?”

Ranting mulai gusel-gusel. Ngucek-ngucek mata.

Senapan sudah siap. Markas sudah siap. Korek api sudah siap. Perang pun siap dimulai.

Aku biasa bertugas menjadi pengatur strategi. Siapa yang harus merangkak pelan-pelan di bagian mana. Siapa yang harus menjaga markas. Siapa yang harus menyerang musuh. Siapa yang harus mengalihkan perhatian musuh.

Kalau semuanya sudah mantap, genderang perang pun dimulai. Saling intai. Saling mengendap. Saling teriak DOR. Paling seru itu mengendap-ngendap di balik ilalang tinggi dan memergoki musuh sedang lengah. Kita tembak dari belakang, “DOR!” dan musuh langsung pura-pura tumbang.

Perang biasanya berlangsung agak lama dan alot. Karena harus hati-hati dan jangan sampai kalah. Perang di medan seperti ini butuh strategi tajam. Kaya perang-perang di hutan belantara pada umumnya. Kita harus menguasi medan dan pergerakan lawan. Itulah gunanya menara pengawas.

Biasanya, komunikasi dari markas dengan para penyerang dilakukan melalui kode. Kodenya bisa bermacam-macam. Sesuai kesepakatan tim. Jangan sampai kode itu diketahui musuh. Kodenya biasa dibagi menjadi beberapa jenis. Ada untuk bilang musuh di kiri, musuh di kanan, musuh di depan, musuh di belakang atau musuh masih jauh. Kodenya bisa menirukan suara serigala, ayam, sapi, kambing dan sejenis. Kalau bisa, bikin kode suara yang nggak bisa ditebak itu jenis suara apa. Bisa hanya berupa batuk. Bersin dan kode-kode rahasia aneh.

Saat aku tahu musuh-musuh semakin berkurang, aku ikut keluar dari markas dan menyerang dengan cara langsung berlari melewati pinggiran semak belukar. Tentu saja sambil teriak,”SERBUUUUUU!” kalau sudah ada kode itu, semua langsung berdiri dan menyerbu markas musuh. Kita tembakin semuanya. Soalnya mereka kan panik ya. Jadi mereka tidak sempat mengokang senjatanya. Biasanya juga ya Ting, penjaga markas keluar dan ikut perang. Nah, aku menyelinap dari belakang, lalu membakar markas dengan korek api. Kan di dalam markasnya sudah disediakan daun kering. Itulah tujuannya, supaya markasnya bisa dibakar. Markas yang sudah ngebul, pertanda musuh harus menyerah dan tim aku pun menang. Kita semua bersorak. Salaman dan ngecek teman-teman lainnya apakah ada yang terluka atau tidak. Lukanya sih cuma goresan dari daun ilalang atau terkena duri putri malu. Ya, baret-baret sedikit sih nggak apa-apa lah. Nah, yang luka kita obatin. Obatnya dari daun kiteble atau batang kiteble muda dikerik atau daun babandotan dikucek-kucek sampai keluar airnya. Lalu ditempelkan dikulit yang tergores. Diikat menggunakan tali dari kulit kitble yang sudah tua. Kadang, kalau lagi iseng, kita membuat tandu dan menandu yang terluka itu ke bendungan terdekat. Di situ kita BERENANG DI BENDUNGANNNNN! Lumayan kan menghilangkan keringat, bikin segar dan membersihkan tanah.

“Seru kan, Ting?”

Anaknya sudah bobo enak di lengan saya.

       “Besok, aku ceritain perang di kebun teh dan sawah ya, Ting….”

Selamat bobo! Mimpi yang seru yak!

Cat.: Karena saya belum sempat membuat senapannya, kaya inilah senapannya.

“sonofmountmalang”


One response to “Dongeng (35) Perang di kaki Gunung Malang”

  1. […] akan melanjutkan dongeng tentang peperangan di kaki Gunung Malang. Malam sebelumnya kan perang di semak belukar. Kali ini PERANG DI KEBUN […]

komen sebagian dari blogging!:))

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: