Malam ini saya akan melanjutkan dongeng tentang peperangan di kaki Gunung Malang. Malam sebelumnya kan perang di semak belukar. Kali ini PERANG DI KEBUN TEH.
Di kaki Gunung Malang banyak sekali perkebunan teh. Hampir semua keluarga memiliki kebun teh di belakang rumahnya atau di kebunnya. Meskipun luasnya hanya dua kali lapangan voli. Intinya, memiliki kebun teh sendiri itu seperti sudah sebuah kewajiban. Nah, biasanya, kalau untuk perang, dibutuhkan kebun teh yang cukup luas. Seluas lapangan bola, minimal. Kebun tehnya pun posisinya harus diperbukitan. Lagipula jarang sih perkebunan teh di kaki Gunung Malang yang posisinya berada di tanah datar. Pasti selalu berbukit-bukit. Karena kontur tanah di kaki Gunung Malang memang berbukit-bukit.
Perang di kebun teh bisa dibilang perang semi terbuka. Karena hampir dari awal kita secara langsung bisa melihat musuh di jarak dua puluh meteran. Memang jarak perang di sini harus segitu. Terlalu dekat rada bahaya.
Senjata perang di kebun teh hanya satu, yaitu BABAWANGAN. Pasti kamu nggak tahu kan babawangan itu apa?
Babawangan itu semacam bawang liar. Bentuknya persis bawang. Hanya teksturnya lebih keras dan daunnya lebih alot. Babawangan banyak banget di kebun teh. Babawangan kita cabut. Saat dicabut itu, bawangnya di tanah ikut tertarik dan masih ada tanah-tanahnya. Aku kumpulin dan kalau sudah banyak, perang siap dimulai. Perang terbuka ya. Jadi, dalam teriakan kata,”SERBUUUU!” maka babawangan melayang-layang di udara menghantam lawan. Babawangan diibaratkan bom yang kita lempar dan ya paling mengenai kepala, badan atau tangan. Tidak boleh melempar secara horizontal. Melemparnya harus ke atas dulu, lalu sebisa mungkin jatuh tepat di gerombolan musuh. Kalau cuma satu babawangan yang kena sih masih baik-baik aja rasanya. Kena sebuntal babawangan tuh lumayan sih. Pedes di kepala. Kaya dijitak cukup keras.
Salah satu trik supaya tidak terkena bom babawangan, ketika musuh mulai melempar bertubi-tubi ke atas, kita langsung merunduk dan bersembunyi di bawah pohon teh. Kalau pun kena, tidak terlalu sakit dan palingan juga kena ceceran tanah hingga memenuhi kepala atau punggung. Saat musuh sudah kehabisan bom babawangan dan mereka sedang sibuk mencabut babawangan lagi, baru kita bangkit dan melempar babawangan bertubi-tubi. Begitu seterusnya sampai tangan pegal dan kehabisan bom babawangan.
Biasanya, peperangan terhenti karena memang sudah sama-sama capai, haus, lelah dan puas. Setelah itu, kita pergi ke padang rumput di bukit dekat kebun teh, di bawah pohon rindang aku dan teman-temanku rebahan bareng sampai rasa capai hilang. Selanjutnya, pergi ke bendungan dan berenaaanngggg!
Oh ya, kalau lapar, aku cari ubi liar di kebun teh dan makan ubi liar. Atau, nyari pohon jambu batu dan makan jambu batu, atau apa saja yang bisa kita makan di kebun ya kita makan.
“Gimana, Ting? Ting? Ting? Lanjut nggak ceritanya?”
Rantingnya sudah bobo. Suara ngorok ringan terdengar.
“Besok aku ceritain perang di sawah yaaaa…”
Selamat tidur…..
“sonofmountmalang”