Pernah tidak, berpikir, membayangkan, apa rasanya menjadi manusia buta, tanpa pernah melihat apa pun di dunia. Hanya gelap dan suara-suara yang harus diterjemahkan sendiri.
Pernah tidak, membayangkan, hanya bisa menerka-nerka bentuk hujan, wajah dari bulan, keemasan tuanya senja, birunya langit, cantiknya bintang, ombak, laut, gunung dan cahaya-cahaya kota dan segala jenis apa pun di dunia.
Pernahkah, membayangkan, hidup berada di dunia kegelapan. Sama sekali gelap. Rasanya jadi sesak. Seolah tidak ada ruang untuk berlari, lapangan luas.
Seperti bapak tua penjual kerupuk ini. Jalan meraba, menerka dan menunggu kebaikan orang, memberinya jalan, menunggunya jalan, membeli jualannya.
Meskipun begitu, ia tetap berusaha. Kan, konon, di mana ada usaha, di situ ada jalan, sesusah apa pun, ia bisa jalan cukup jauh. Menjual kerupuk dari pagi sampai jam dua belas siang. Setelah itu menunggu panggilan mijat dan kalau ada waktu, sorenya berjualan lagi.
Hebatnya, dia bisa hapal jalan pulang dan jalan jualan. Hebatnya lagi dia menikah dan punya dua anak. Hebatnya lagi, satu anaknya baru lulus kuliah dan satu lagi masih SMP.
Dia buta, menikmatinya, tetap bersyukur ada yang membeli, meskipun tidak pernah tahu dengan pasti, seperti apa bentuk-bentuk A to Z di dunia. Kita melihat, kadang, terlalu lupa diri, bahwa di belahan tanah lain, ada yang jauh lebih menderita dan tidak menyenangkan hidupnya dari kita.
Memang tepat ya, bahwa, kita, manusia, terkadang tidak pernah bersyukur. Mungkin karena kita, manusia, memiliki napsu yang lebih besar. Ya iyalah. Kalau napsunya kecil, kita akan jalan di tempat.
Ya ya ya ya!
“sonofmountmalang”