Nenek lo ujung kulon! Pernah kan mendengar kalimat itu? Selain nenek lo kiper! Nenek lo peang! Nenek lo salto! Dan nenek-nenek lo lainnya! Lantas, selain nenek lo ujung kulon, ada apa lagi sih? Itu yang saya tidak tahu. Belum tahu tepatnya. Maka dari itu saya akan melancong ke Ujung Kulon.

Setelah browsing, nanya-nanya penginapan di Ujung Kulon, ternyata banyak sekali pilihannya. Dari bisa mendirikan tenda, di rumah penginapan, vila-vila tanpa pendingin dan dengan pendingin.
Berhubung membawa “Virgillyan Ranting Areythuza”, yang masih belum memahami konsep makan apa saja yang ada selama bisa dimakan, jadinya saya memutuskan tidak sampai ke Ujung Kulon, meskipun niatnya ingin menyeberangi Pulau Peucang dan menjelajah Taman Nasional Ujung Kulon. Tapi, ya sudahlah. Sudah beruntung masih bisa menyambangi setitik ujungnya Ujung Kulon.
Seperti biasa, salah satu problem bangsa Indonesia yang sudah merdeka puluhan tahun dalam hal akses adalah BABAK BELURNYA JALAN. Beruntung juga tidak melanjutkan sungguhan ke ujungnya Ujung Kulon. Kalau iya, goyang karawang sepanjang jalan. Ya, tidak busuk semua sih. Kalau dari Jakarta sampai Pasar Cibalung sih jalanan melesat bagaikan pembalap F1. Namun setelahnya, jalanan harus berhati-hati, selain berlubang di kanan kiri depan belakang, juga di beberapa lokasi sedang dalam perbaikan. Jadi, lupakan kekebutan di jalanan naik turun melewati sawah, hutan dan tikungan-tikungan tajam ya.
Maka, karenanya, perjalanannya pun cukup sampai di Kertajaya saja. Kasihan tulang belulang yang sudah renta dan durasi perjalanan yang cukup panjang, ditambah anak kecil yang terus bertanya, “Kok kita nggak sampe-sampe cih?”
Setelah 7 jam perjalanan, akhirnya saya bilang, “Oke! Kita sampaaiiii!” kemudian berhenti di Desa Kertajaya.
Lalu, akan menginap di manakah di Desa Kertajaya? Apakah kemping di hutan, menginap di rumah penduduk, vila mewah atau nyeberang Pulau Mangir dan mendirikan tenda di sisi pantai berpasir putihkah? Sabar ya, pelan-pelan nulisnya.

“sonofmountmalang”