Pada suatu hari, di kaki Gunung Malang….

Begitulah awal cerita Dongeng Sebelum Tidur dimulai. Malam ini agak sedikit horor. Jika tidak kuat, merem saja dan tinggal tidur ya.

Siap-siap?

Pada suatu hari, di kaki Gunung Malang, tersebutlah sepasang kekasih belia. Umurnya masih belasan tahun, namun mereka berdua sudah terbakar asmara berapi-api hingga tak kuasa menahan hawa napsu. Bercinta di kebun dan di tempat-tempat sepi di kaki Gunung Malang merupakan kebiasaan yang seringkali mereka lakukan. Begitu menurut cerita dari mulut ke mulut penduduk di kaki Gunung Malang.

Tiba-tiba saja penduduk kampung seketika gempar. Tersiar kabar, sang gadis sekarat di kebun tomat. Dari mulutnya keluar busa dan darah muncrat ke mana-mana. Pemilik kebun tomat panik dan mengabarkan ke seluruh penduduk kampung. Sang gadis pun dibawa ke puskesmas. Sepanjang perjalanan, sang gadis tak berhenti memuncratkan darah dari mulutnya sambil terus berbusa. Ia mendapatkan pertolongan keracunan di puskesmas, namun nyawanya tidak tertolong. Ia meninggal karena minum racun untuk membasmi hama tomat.

Rupanya cerita punya cerita, sang gadis tengah mengandung bayi usia tiga bulan dan meminta pertanggungjawaban sang pacar. Sang pacar malah memutuskannya. Karena takut, menanggung malu dan sekaligus jadi beban pikiran kepada orang tuanya, ia pun mengakhiri hidupnya dengan meminum racun di kebun tomat.

Masalahnya tidak berhenti di meninggalnya sang gadis. Masalah mulai tersebar ketika penduduk mulai mendengar suara rintihan sang gadis menangis di puskesmas pada malam hari. Rintihan suara sang gadis meminta tolong. Beberapa warga penduduk yang kebetulan melewati puskesmas pada malam hari pun sering mendengar rintihan dari dalam puskesmas. Ketika melongok ke dalam melalui jendela kaca, tidak ada siapa-siapa di dalam puskesmas dan suara itu pun mendadak hilang.

Cerita tentang rintihan sang gadis di puskesmas pun tersebar. Cerita menyebar sangat cepat. Dari satu mulut ke mulut lainnya. Orang-orang mulai takut pergi ke puskesmas kalau seorang diri. Bahkan sekedar untuk melewatinya karena kebetulan harus lewat puskesmas pun biasanya lebih baik melipir mencari jalan lain. Beberapa orang lebih baik menghindar. Kalau pun tidak ada jalan lain, mereka terpaksa melewati puskesmas dan benar saja, lewat malam hari terdengar suara rintihan sang gadis dari dalam.

Pernah suatu malam, seorang penduduk lewat puskesmas, kemudian ia melihat sesosok gadis dengan rambut acak-acakan menatapnya kosong dari balik kaca puskesmas dengan mulut penuh busa. Kebetulan penduduk tersebut tidak menyadari bahwa yang di dalam puskesmas itu sesosok gadis yang bunuh diri. Maka, ia pun mendekati jendela puskesmas dan menanyakan kondisi sang gadis. Hanya saja belum ia begitu dekat dengan jendela, sang gadis itu hilang begitu saja.

Barulah si penduduk tersebut sadar, yang ia lihat adalah sosok hantu gadis yang mati karena minum racun hama tomat. Penduduk tersebut ngacir sambil jejeritan minta tolong saking takutnya.

Puskesmas pun semakin angker. Tidak ada yang berani bertugas sampai sore. Suasana pun jadi mencekam kalau menjelang malam. Tidak satu pun berani melewatinya. Terlebih pada saat itu, di kaki Gunung Malang belum ada listrik. Penerangan ada di rumah masing-masing hanya menggunakan lampu templok, centir* atau pun patromak. Sementara di jalanan gelap gulita. Kecuali sedang bulan purnama. Barulah jalanan terang benderang.

Setiap malam, setelah sang gadis itu meninggal, selalu ada cerita baru tentang penampakannya. Pernah terjadi pada seorang penjaga pos ronda. Ia sedang keliling patroli berjalan kaki. Penerangannya hanya berupa senter. Tiba-tiba, menurut ceritanya, ia melihat sang gadis sedang menyusuri jalanan berbatu. Kebetulan juga kan, pada jaman itu, jalanan belum diaspal. Hanya tersusun dari batu-batu saja.

Ia penasaran dengan kelakukan sang gadis. Malam-malam kok menyusuri jalanan. Penjaga ronda pun iseng bertanya, “Lagi nyari apa neng?”

Sang gadis menjawab, “Ngumpulin sisa darah sepanjang jalan, mang…..”

Penjaga roda keliling bingung, “Darah…?” dengan bulu roma mulai berdiri.

Sang gadis menjawab lagi, “Iya, mang. Darah saya…” Dengan wajah tetap menunduk menatap jalan berbatu. Abang penjaga ronda tidak berani bertanya lagi, ia baru sadar kalau yang ia tanya adalah hantu sang gadis yang bunuh diri di kebun tomat. Tanpa menunggu panjang, si abang langsung balik badan dan ngibrit ke pos ronda. Ia tidak berani melihat ke belakang sama sekali.

Sesampainya di pos ronda, ia terengah-engah dan bercerita ke teman serondanya. Mendengar cerita temannya yang melihat sang gadis di jalan, mereka langsung bubar meninggalkan pos ronda. Ngibrit ke rumahnya masing-masing.

Esok paginya, kabar penampakan sang gadis di jalan sedang mengumpulkan sisa darah yang tercecer sepanjang jalan dari kebun tomat ke puskesmas pun menyebar dalam sekejap ke kampung-kampung. Suasana malam berikutnya mulai mencekam. Tidak seorang pun penduduk berani keluar jam setelah magrib. Dukun masing-masing kampung sudah memberikan instruksi untuk tidak kelayapan malam hari. Karena katanya, hantu sang gadis ini memang sungguh tidak rela membuat penduduk kampung tenang. Ia akan terus mengguncang penduduk kampung dengan penampakan-penampakannya. Bahkan kata dukun-dukun kampung, kemungkinan ia akan membalas dendam sampai sang pacar yang memutuskan hubungannya ikut mati bersamanya.

Kejadian mencekam itu baru seminggu semenjak ia meninggal di puskesmas dengan darah menyembur dari mulutnya dan di perutnya mengandung bayi usia tiga bulan.

Karena hamilnya ini juga, beberapa penduduk yang rumahnya tidak jauh dari puskesmas, seringkali mendengar suara bayi menangis diselingi rintihan sang gadis tengah malam. Sementara suasana di kaki Gunung Malang jika malam sudah tiba itu sangat hening, senyap dan sunyi. Suara gemirisik angin pelan di belakang rumah saja terdengar jelas. Apalagi suara rintihan dibarengi hujan rintik atau pun sayup-sayup lolongan suara anjing di kejauhan. Lebih horor lagi jika dari tengah hutan terdengar lolongan suara ajag. Dijamin semua penduduk kampung langsung menciut dan tidak berani tidur sendirian.

Dari cerita-cerita menyeramkan inilah, dukun di kampung asal di mana gadis tersebut tinggal, sudah memberikan “tembok pembatas” supaya si gadis tidak gentayangan di kampungnya. Yang terjadi adalah, hantu sang gadis gentayangan di kampung-kampung terdekat dari puskesmas dan kampung-kampung sepanjang jalan di mana ia dibawa dari kebun tomat ke puskesmas. Termasuk kampung di mana aku tinggal, di kaki Gunung Malang. Bisa dibilang, kampungku merupakan kampung paling telat memberikan “tembok pembatas” supaya sang gadis tidak masuk ke wilayah kampungku. Tapi semua itu sudah terlambat. Arwah sang gadis sudah merasuki tubuh perempuan di kaki Gunung Malang.

Tembok pembatas itu istilah dukun memberikan jampi-jampi di selingkaran kampungnya dengan menaburkan garam dan air yang sudah diberikan kekuatan gaib. Termasuk memberikannya ke seluruh penduduk kampung agar masing-masing rumah diberikan “tembok pembatas” demi terhindar dari kepenasaran arwah sang gadis.

Karena sebagian kampung telat memberikan tembok pembatas, dan gentayangannya sang gadis membuat malam-malam semakin mencekam, akhirnya gabungan dukun dari beberapa kampung pun bersatu. Mereka merencakan akan membongkar makam sang gadis dan menusukkan jarum-jarum ke telapak kakinya. Agar, katanya, sang gadis tidak lagi bisa berjalan dan menghantui seluruh penduduk kampung.

….Bersambung…..

Bagaimana dongeng selanjutnya, tunggu saja ya, yang mendengar dongeng sebelum tidur di samping saya sudah tidak ingin mendengar lanjutan dongengnya. Kita lanjutkan besok lagi….

 


komen sebagian dari blogging!:))

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: