Hai, Ran…! Lama aku tak menulis surat cinta untukmu. Oh, ya, berapa tahun sekarang ya umurmu? Hmmmm…! Tiga tahun lebih kaannn? Duh, Ran…! Nggak berasa banget. Sudah tiga tahun lebih. Itu kalau pacaran sih sudah mulai berantem, cemburu dan diam-diam pergi sama yang lain. Eh, itu kalau pacaran. Kita kan sahabat yah. Bersahabat tiga tahun lebih, kita sudah ke mana saja ya? Ke Bali sekali saat usiamu dua tahun. Belum bisa ngomong. Traveling setengah Bali. Road trip ke tengah hutan tidak jauh dari Jakarta dan road trip ke pantai di Ujung Kulon dan kita menonton bintang-bintang malam. Kemudian kemping berkali-kali ya. Itu sudah membuatku bahagia. Gimana denganmu, Ran? Senang, ‘kan?
Terkadang ya, Ran, aku merasa terlalu posesif terhadapmu. Beyond posesif. Cintaku melebih batasan apa pun. Padamu, tidak pernah ada celah untuk marah. Eh, ingat kan ya, sekarang kamu sudah bisa menyuruhku membuatkan kopi di akhir pekan. Ya ya ya! You’are my big boss, boss! Demi kamu, aku buatkaann. Meskipun terkadang suka khawatir, apa iya anak seumur kamu sudah bisa menikmati kopi susu. Apalagi kalau kebanyakan susu, kamu bilangnya, “Laka, ini bukan kopi, tapi susu.” Ah! Kamu memang benar, kadang akhirnya aku tambahin kan kopi lagi dan kamu pasti bilang, “Ini balu kopi.” Sambil menyeruput dan membuatku berbunga-bunga bahagia sampai ke surga ketika kamu berujar lugu, “Mmmm…! Kopi Laka enaaakk cekali…!”
Kamu tahu, ‘kan Ran rasanya seperti apa? Rasanya melayang, mendapat pujian darimu. Ya, sama rasa melayangnya pas bisa akhirnya bertemu dengan pacar setelah seminggu tak ketemu, ketika aku masih anak baru gede banget sih. Wisss!
Eh, iya Ran, ini surat cintaku yang ketuju lho di usiamu yang ketiga tahun lebih. Harusnya aku menulis surat cinta ini setiap bulan. Namun terkadang, aku lupa begitu saja. Bukan karena terlalu sibuk dengan pekerjaan, kadang aku suka lupa, aku terlalu asik menikmati persahabatan kita. Meskipun kamu belakang sudah bisa ngambek. Misuh-misuh sendiri di pojokan kamar dengan wajah cemberut, mata kecewa dan bibir manyun-manyun sambil mengeluarkan bahasa semut, nyam nyam menyum menyam, yang aku tidak mengerti.
Tapi tenang, aku senang kok kalau kamu marah. Itu tandanya kamu punya emosi. Hahaha! Iya, kan, lebih baik marah itu dikeluarkan daripada dipendam. Cuma buatku sih lucu. Makanya kan aku suka biarin kamu marah dulu di pojokan kamar. Terus aku masuk, tetapi kamu mencoba menghindar. Ahahahha! Persis kaya pacarku dulu kalau marah. Nggak mau dipeluk, nggak mau dicium dan cenderung menghindar. Tetapi, kamu butuh dipeluk sih Ran dan kita harus bertatap mata. Aku selalu bilang kan, “Hei, Ran…! Nggak apa-apa marah sama aku. Aku nggak marah kok. Cuma, boleh tahu nggak marahnya kenapa?”
Kamu masih misuh-misuh nggak jelas kan ya. Aku suka tegaskan, “Ran, ngomong aja, aku nggak apa-apa kok, kenapa sih marahnya?”
Akhirnya, kamu pun cerita kan. Salah satunya….! Hmmmm…! Apa yah. Aku lupa. Ohh ya ya. Waktu kamu bilang mau beli mobil lagi terus aku bilang, kan udah punya. Lagian sih Ran, kerjaannya beli mobiiiiilllll terus. Mau beli mobil apa waktu kamu marah itu? Garbage truck? Garbage truck rakcaca? Halah! Alesannya apa ya? Kenapa harus beli garbage truck sebesar itu? Sederhana sekali, “Kalna aku belum punya galbage tluk yang becaalll cekali…!”
Baiklah. Aku beliin ya. Semoga kamu senang. Ehh, kamu senang belinya doank ternyata yaaaaa. Hahahah! Mainnya hanya berapa hari, setelah itu balik lagi ke mobil kecil dan kamu inget bisikin aku apa lagi setelah sehari membel garbage truck? Nih aku kasih tahu bisikin kamu ke aku itu apa, “Laka, cini aku bicikin cecuatu. Aku mau beli tluk pengangkut diggel…” Eaaaaa!
Kalau itu, aku pikir-pikir dulu deh Ran. Kamu fokuskan dulu dan mikir berat, apa benar mau banget truck pengangkut digger itu. Kalau cuma lapar mata, nggak usahlah.
Ngomong-ngomong, kamu udah sekolah lho. Semenjak sekolah juga kan kamu mulai sibuk. Pagi-pagi mandi, sarapan dan langsung buru-buru ke sekolah. Kadang aku kasihan sih Ran. Soalnya, dulu, aku, di umur sekamu, boro-boro sekolah, palingan masih meringkuk di ranjang atau duduk di depan perapian sambil disuapin singkong berbalut mentega dan garam. Minumnya teh tawar atau numpang minum kopi punya nenek. Kaaannn! Aku sudah ngopi juga dari keciiill. Hahaha!
Nah, karena kamu sudah sekolah, yang semestinya juga nggak perlu sekolah, bikin mood pagi kamu suka berantakaannn. Kalau buatku sih, nggak penting juga kamu mau sekolah atau nggak, kalau memang sedang malas, ya udah sih Ran, bilang malas atau kalau masih ngantuk, jangan dipaksa ya. Tenang kok, dulu, sekolah, bukan hal penting buatku juga. Lhaa kerjaan aku main di sawah, hutan, sungai dan kebun. Ya kaan? Kamu pasti ingetlah DONGENG SEBELUM TIDUR yang menceritakan masa kecilku di kaki Gunung Malang. Sekolah itu menyebalkan, tetapi baru menyenangkan di kelas enam. Karena apa? Mau tahu? Aku suka sama anak ceweeeeee. Hahahaha! Mau tahu namanya siapa? Semoga anaknya nggak baca surat cintaku untukmu ya. Cini aku bicikin, “Namanya Sssssssss Ssssssssssss…” Nanti kan ada dongeng sebelum tidur, aku ceritain yaaa. Lumayan kan, bisa dengerin gimana cintaku sewaktu SD. Weee!
Maunya aku sih nulis banyak banget. Biasa kan kalau sudah nulis surat cinta, maunya nggak berhenti. Tetapi masih bisa buat besok-besok kan ya, Ran….
Pesanku ya Ran di surat cintaku yang ketujuh ini, jangan berhenti berpetualang dan jangan mau disetir oleh siapa pun, termasuk aku ya. Kalau punya pendapat sendiri, ungkapin dan kalau nggak suka, bilang nggak suka. Jangan ditahan, jangan didiamkan, apalagi dipendam. Nanti bisa bucuk!
Love you…, Virgillyan Ranting Areythuza….!
“sonofmountmalang”