20181026_160913

Judulnya nggak kuat banget yak! Hahahaha! Lupakan soal judul.

Kali ini saya akan sedikit mengulas kopi yang beragama Katolik ini. Kenapa saya bilang beragama Katolik? Sebelum menjawabnya, kita telusuri dulu kata Trappist ini ya.

“Pada masa Revolusi Perancis (akhir abad XVIII), hampir semua biara Cisterciensis, baik di Peran­cis maupun di negara-negara lainnya, disapu ber­sih oleh Napoleon. Sesudah jatuhnya Napoleon (1814), para rahib yang masih bertahan mendi­rikan biara-biara lagi. Sejak waktu itu, para rahib yang melanjutkan pembaruan La Trappe lebih di­kenal sebagai rahib “Trappist”. Sebagian dari biara-biara Cisterciensis yang tidak mengikuti pembaruan La Trappe juga hidup kembali. Dengan demikian dewasa ini ada dua Ordo Cisterciensis yaitu: Sacer Ordo Cisterciensis (S.O.Cist.) yang juga disebut “Ordo Cisterciensis Observansi Umum” dan Ordo Cisterciensis Strictioris Observantiae (OCSO) atau “Ordo Cisterciensis Observansi Tertib”, yang juga dikenal sebagai “Ordo Trappist”. Kedua Ordo tersebut terdiri dari biara-biara rahib dan biara-­biara rubiah. Dengan kata lain, kedua Ordo terdiri dari dua cabang, yaitu: cabang pria dan cabang wanita. Menurut statistik tabun 1995, S.O.Cist. mempunyai 88 biara cabang pria dan 63 biara cabang wanita. Sedangkan OCSO menurut statistik tahun 1995 mempunyai 93 biara cabang pria dengan anggota 2.600 rahib dan 65 biara cabang wanita dengan anggota 1.883 rubiab, sehingga jumlah anggota keseluruhan adalah 4.483 orang. Dalam tulisan ini kami selan­jutnya hanya akan membicarakan “Ordo Cister­ciensis Observansi Tertib” atau Ordo Trappist saja, khususnya kehidupan para rahib Trappist di Rawaseneng.” Penjelasan yang banyak ini diambil dari trappistrawaseneng.com

 Jadi sudah tahu kan kenapa namanya Trappist. Jadi sudah tahu juga kan kenapa saya memberikan label agama Katolik pada kopi ini. Yang akan saya bahas di sini bukan ke-Katolik-annya sang kopi, namun rasanya.

Ada beberapa hal yang di-highlight di Trappist Kopi ini. Pertama, roasting menggunakan kayu bakar alias 100% manual. Kedua, biji kopi dari Robusta. Ketiga, diolah oleh para rahib. Keempat, bentuknya sudah digiling halus. Keenam, packnya sederhana.

Screen Shot 2018-10-31 at 10.30.18 AM
http://trappistrawaseneng.com/

Ya elah! Serius amat mau bahas kopi aja. Habis gimana donk?! Sebagai penikmat kopi ala-ala, kita harus mencicipi segala jenis kopi dan menuliskan pengalaman ngopi di sini. Sekaligus untuk mengisi kekosongan blog. Yee kaannn!

Oke! Kembali ke Trappist Kopi. Pertama, saya tidak begitu suka yang sampai di tangan saya dalam bentuk bubuk. Kecuali teknologi pack-nya bagus untuk mejaga 100% aroma dan rasa kopi. Kedua, saya tidak begitu jatuh cinta banget sama Robusta. Kecuali Robusta Gold atau kategori Robusta unggulan yang memili cita rasa berbeda dari Robusta pada umumnya, yang bisa dibilang Robusta kelas 1 dengan biji berukuran sebesar Arabika kelas 1 juga.

Akan tetapi, bagaimana pun juga, saya harus mencoba Trappist Kopi ini. Untuk percobaan pertama, saya menggunakan Aeropress+Fellow+PaperFilter. Hasilnya PAHIT khas robusta. Aroma segarnya kopi sayang sekali sudah hilang. Mungkin karena tidak memakai teknologi Valve seperti kopi-kopi modern pada umumnya atau teknologi nitrogen malah di beberapa pack kopi lainnya. Jadi, sekali lagi, untuk ukuran segarnya kopi, sudah turun drastis ketika dibuka pertama kali dan pada akhirnya mempengaruhi ke rasa. Ditambah lagi, seperti catatan saya di atas, saya tidak begitu suka dengan Robusta. Kecuali sudah diblend menggunakan Arabika. Atau masih dalam bentuk biji dan masih fresh secara aroma dan rasa.

Untuk rasa Trappist Kopi dengan Aeropress+Fellow+PaperFilter, pahit aja output-nya. Tidak ada sesuatu yang unik seperti hasil roasting pakai kayu bakarnya beberapa kopi dari Turki. Mungkin juga, Trappist Kopi ini lebih cocok bikinnya direbus, lalu dikasih gula atau ditubruk dan dikasih gula. Seperti ritual orang-orang pada zaman dahulu di pedesaan. Tidak penting memikirkan karakter rasa A-Z sebuah kopi. Seperti orang-orang kota dan orang-orang kampung kekota-kotaan yang sudah terpapar paham istilah “KARAKTER KOPINYA KAYA APA NIH!” Acid, citrus, clove, fruity, floral, sweet, lemon, great body, sexy body, complex, clean dan istilah-istilah lainnya, yang sebenarnya ketika orang awam minum bilangnya, “ah asem ya, ah pahit ya.” Hahahah!

Namun, bagaimana pun juga, kita tetap harus menghargai perjuangan para rahib yang telah berjuang mengolah kopi dengan cara manual. Mungkin next-nya, para rahib ini harus dibelali ilmu pengolahan kopi Robusta supaya bisa memaksimalkan kualitas rasa, aroma dan pada akhirnya bisa memiliki nilai jual yang layak bersaing dengan kopi-kopi yang sudah cukup berbunyi di daerah Temanggung. Macam brand Kopi Mukidi atau Kopi Posong. Kan so far, dari Temanggung sendiri, belum ada ya KOPI KATOLIK. Bahkan mungkin di Indonesia. Hahaha! Mulai rasis agama nih. Lho nggak apa-apa, bagus donk. Pada akhirnya brand itu harus memili market yang jelas. Mungkin besok akan ada KOPI AL ISLAM, khusus buat mereka yang beragama Islam. Tidak menutup kemungkinan sih, secara trend mencipta brand untuk agama tertentu sedang naik daun di market Indonesia.

Nah, pertanyaannya, apakah dengan meminum Trappist Kopi akan menjadikan kita semua yang meminumnya akan secara otomatis menjadi Katolik aka auto kafir? Hahahah! Bahasannya sensitif sekali ya. Sesekali lah. Tak apa.

Menurut saya, nggak akan sih. Karena keimanan seseorang tidak bisa diukur dari sesuatu yang dimakan, diminum atau pun dikenakan di tubuh kita. Keimanan seseorang hanya orang dan Tuhannya lah yang tahu. Tsaahhh!

Sekian! Selamat ngopi!

 

 


komen sebagian dari blogging!:))

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: