
Seperti biasa, setiap malam, sebelum tidur, saya selalu mendongengkan sesuatu untuk pacar saya. Kali ini saya mendongengkan tentang Saninten? Saninten apa sih? Tanyanya.
Sebelum mendongeng, saya akan cerita sebentar. Siangnya, saya mampir ke Total Buah di KM 10 Jagorawi. Di sana saya melihat ada biji yang mengingatkan saya akan masa kecil. Saya tanya ke mbanya, dia jawab, itu Chestnut. Katanya. Owwww! Saya menciumnya. Hmmmm….! Wanginya sangat khas. Maka saya membelinya. Harganya 43 ribuan sekilo. Lumayan mahal ya. Cukup sampai di sini ya ceritanya. Saya akan kembali menceritakan dongeng sebelum tidur.
Waktu saya kecil, hutan adalah mall saya, bioskop saya, café saya, taman hiburan, taman bermain dan tempat mencari kesenangan. Salah satu hal yang saya tunggu adalah mencari pohon Saninten di musim berbuah.
Biasanya, pohon Saninten ada di tengah hutan belantara. Alat-alat yang harus disiapkan adalah keranjang bambu, pemukul kayu, golok dan sepatu but. Kenapa? Penjelasannya nanti ya. Sekarang, saya akan membahas seperti apa sih wajah Saninten.
Pohon Saninten ini bisa lebih tinggi dan lebih besar dari pohon mangga. Daunnya mirip daun rambutan. Struktur dahannya juga bisa dibilang mirip rambutan. Bedanya di ukuran pohon dan tinggi pohon saja. Buahnya pun mirip rambutan. Bedanya, buah Saninten durinya sangat tajam. Itulah sebabnya, dibutuhkan pemukul untuk memecahkan buah Saninten dan mengambil biji warna hitam bagian dalamnya. Jika beruntung, buah Saninten yang sudah matang sekali biasanya meletek, kemudian jatuh ke bawah. Enaknya tinggal mungut saja di bawah. Jika belum meletek, terpaksa orang dewasa harus manjat pohonnya, memotong dahan yang buahnya paling banyak dan sudah tua.
Sudah tahu kan? Kenapa harus menggunakan sepatu but dan topi? Supaya kaki tidak tertusuk duri buah Saninten, begitu juga kepala tidak tertimpa tajamnya duri buah Saninten. Kebayang kan kalau kena, bisa bochorrrrr tuh kepala.
Kalau kerangjang sudah penuh, Saninten diapain sih? Waktu aku kecil, sambil memecahkan buah Saninten, sesekali memecahkan cangkah hitam bagian dalam, kemudian memakannya mentah-mentah. Atau, membuat perapian dadakan dari kayu bakar sekitar, kemudian membakar Saninten. Wanginya harum tercium, rasanya manis gurih dan empuk. Sangat khas sekali rasanya. Jika perut sudah kenyang, saya kembali ke kaki gunung membawa keranjang penuh biji Saninten. Di kaki Gunung Malang, biji Saninten diolah secara sederhana. Bisa direbus, bisa juga cangkang bijinya dipecahkan, lalu diambil bagian dalamnya untuk disangrai. Sedikit diberi garam dan mentega. Hmmm…! Rasa dan wanginya, tidak akan pernah bisa dilupakan. Itu biji terenak setelah biji nangka dan biji rambutan.
Oh ya, jangan sampai telat berburu buah Saninten di tengah hutan. Saingannya banyak! Ada lutung, monyet, sejenis monyet-monyetan, musang dan hewan pemakan buah-buahan. Kalau manusia sih, tidak semua penduduk di kaki Gunung Malang suka Saninten. Tidak semuanya mau bersusah payah memecahkan buah berduri ini atau pun memanjat pohon setinggi puluhan meter.
Saninten atau dalam bahasa kerennya Chestnut merupakan biji yang mendapatkan julukan “King of Fruit” karena kandungan di dalamnya sangat bermanfaat. Lemak rendah kalori, kaya mineral, vitamin, protein dan nutrisi lainnya yang bermanfaat untuk kesehatan. Begitu sih setelah saya baca di google. Wah! Ternyata, Saninten atau Chestnut yang sering saya makan waktu kecil itu rupanya cemilan mahal ya, sekaligus cemilan bergizi.
Sayangnya, sekarang, penduduk di kaki Gunung Malang sudah banyak melupakan tradisi memakan-makanan tradisional. Mereka sudah di-brainwash SOSIS SO NICE dan makanan-makanan ringan sejuta pengawet, bahan buatan dan bahan kimia lainnya. Sayang sekali ya.
Sayang sekali juga, saya sudah ngomong sendirian. Pacar saya, Tala, sudah ngorok di sebelah. Saatnya mematikan lampu dan tidur.
Zzzzzzz…..!

“sonofmountmalang”
Catatan: Terakhir saya dengar, penduduk, pendatang, polisi hutan dan segenap jajaran pejabat pemerintah di kaki Gunung Malang menebang pohon Saninten untuk dijadikan komoditi kayu dengan harga jual bagus. Manusia bodoh!”