"jalan, ngopi, makan, mimpi, nulis"

Reach me

Dongeng (4) : Ngobor

Dongeng malam ini bercerita tentang ngobor. Ngobor apa sih? Seru nggak ceritanya? Seru kok. Dengerin aja ya. Pasang telinga dan imaginasi. Oke?

Ngobor. Itu hanya istilah untuk penduduk di kaki Gunung Malang. Salah satu kegiatan mencari ikan, belut, lele dan kodok pada malam hari. Sekitar jam 12 malam. Lokasinya dilakukan di sawah, sungai, kali, selokan dan rawa-rawa atau situ dangkal.

Alat yang dibawa berupa golok setajam silet, ayakan, ember, senter, obor dan lampu petromak. Tahu semua alat ini? Oh, ada yang tidak tahu ya. Ayakan apa sih? Anyaman dari bambu berlubang-lubang. Gampangnya, tahu nampah kan? Nah, ayakan itu ukurannya senampah, lebih cekung dan anyaman bambunya dibuat jarang-jarang. Fungsinya untuk menjaring ikan. Ayakan ini ukurannya bervariasi, sesuai kebutuhan.

Kalau semua peralatan sudah siap dan jarum jam sudah menunjukkan pukul 12 malam, maka acara ngobor pun dimulai. Biasanya, anggota pengobor ini sekitar 6 orang. Satu memegang petromak, satu memegang obor, satu memegang golok, satu memegang ayakan, satu memegang senter dan satu lagi memegang ember. Kalau pun ada lebih dari enam, biasanya yang ikut ini cuma penggembira saja, atau sekedar belajar sekaligus jalan-jalan malam hari di tengah udara super dingin. Oh ya, ngobor ini biasa dilakukan saat sawah dalam kondisi  sehabis dibajak atau siap ditanami kembali atau sudah ditanam, namun padinya masih setinggi 15 cm. Kenapa? Itu mempermudah acara ngobor. Ikan, belut, lele dan kodok lebih mudah dilihat.

Kenapa ngobornya malem banget sih? Kata orang dewasa saat itu, semua buruannya, pada saat jam 12 malam itu sedang tidur nyenyak dan belut-belut sedang keluar dari lubangnya.

Owwww!

Lanjut ya ceritanya.

Para pengobor berjalan menuju sawah terdekat, situ terdekat, sungai terdekat. Mereka mulai mengobor. Saya biasanya membawa senter kecil atau obor kecil untuk ikut mendeteksi apakah ada ikan atau belut tertidur celentang di sawah. Kalau ada, tinggal panggil pembawa golok atau pembawa ayakan. Dua orang ini merupakan ujung tombak dalam mengobor. Dan, posisinya tidak boleh jauh dari pembawa obor atau petromak.

Jika mangsa sudah terlihat oleh pembawa petromak atau obor, pembawa golok dengan gerakan tangan secepat kilat akan menghujamkan goloknya ke belut atau ikan dan pembawa ayakan langsung menyeroknya. Kalau posisi korban tidak begitu sulit, maka yang maju ke depan adalah pembawa ayakan. Dia dengan gerakan dahsyat, langsung menyerok ikan atau belut. Pemegang ember tidak boleh jauh dari pembawa ayakan. Ember digunakan menampung hasil buruan. Namun ada satu yang tidak bisa diatasi oleh pembawa ayakan, yaitu kodok. Hanya pemegang golok yang bisa mengatasi kodok. Tahu kodok kan? Loncatan kodok itu kaya bajing loncat di pohon. Nah, supaya kodok tertangkap, pembawa golok biasanya langsung menghantamkan goloknya ke badan kodok. Kodok yang terluka langsung dipotong di bagian pangkal pahanya. Kedua pahanya diambil, badan dan kepalanya dibuang ke sungai. Horor ya!

Acara ngobor berhenti kalau ember sudah cukup untuk makan rame-rame. Bisa juga berhenti karena minyak tanah lampu petromak sudah habis. Bisa juga berhenti karena udara di kaki Gunung Malang sudah semakin menggila dinginnya. Jika sudah begitu, pengobor pun pulang. Di rumah sudah disiapkan perapian untuk menghangatkan badan. Nasih sudah matang, teh tawar panas sudah diseduh. Selanjutnya, ibu-ibu akan memasak hasil oboran. Kemudian makan bersama. Perut sudah kenyang, mata sudah kiyep-kiyep dan udara sudah tidak karuan, maka saatnya tidur nyenyak.

Zzzzz…..!

Saya melihat Tala di sebelah, dia pun sudah tertidur nyenyak. Yuk! Saya mulai ngantuk juga. Saatnya tidur. Besok-besok lanjut lagi ya dongengnya.

“sonofmountmalang”

 Note: To all my followers who cannot speak or understand Indonesian language, I’m sorry guys….:)