
Setiap sudut Bali seakan menyimpan sekumpulan gairah. Gairah yang membuat orang-orang Bali untuk terus meritualkan diri. Gairah yang membuat para pelancong, saya, pun terus berkontemplasi, untuk menyempurnakan seisi hati. Berkontemplasi untuk mengisi ruang-ruang kosong dengan gelombang energi. Energi untuk terus menggerakan kaki menyusuri setiap sudut Bali.
Saya tidak bisa berlama-lama menyetubuhi Lovina. Kesyahduan pesisiran pada ujungnya harus saya tinggalkan sejenak lama. Suatu waktu, jika memang berjodoh, jika memang uang hasil korupsi dalam jumlah miliaran sudah dihalalkan MUI, saya akan kembali bermain bersama reriakan laut tak berdosa, dan menyetubuhi Lovina berlama-lama.
Saya melepaskan Lovina untuk berpaling memeluk Ubud. Ada sesuatu yang saya benamkan di sisian pasir, sebiji rindu yang akan saya panen ketika melepaskan gairah di sana nanti.
Mobil langsung meluncur di kecepatan 80 km/jam menuju utara. Rute kali ini tidak melalui Munduk atau Gitgit. Saya menggunakan rute yang belum dilalui, yaitu rute utara, Jalan Raya Sangsit. Pemandangan di rute asing ini tidak kalah menarik dari Gitgit atau pun Munduk. Sepanjang jalan banyak ditemukan perkebunan cengkeh, durian dan rumah-rumah asli khas Bali. Sayangnya, tidak ada foto perjalanan di sepanjang rute ini. Partner saya, yang biasa bertugas mengambil foto perjalanan ketika saya menyetir, kali ini tertidur nyenyak sepanjang perjalanan. Ia baru bangun ketika mobil saya diberhentikan polisi di hutan pinus, sekitaran desa Sukawana. Wew! Ini Bali bagian entah berantah nih pastinya. Untung surat-surat lengkap. Polisinya juga baik. Mungkin karena saya memasang wajah cute. Cih! Saya langsung meluncurkan mobil di kecepatan 80 km/jam menuju Danau Batur.
Sebelum melanjutkan perjalanan menuju Ubud, saya berhenti di restoran buffet, Grand Puncak Sari, di dekat Gunung Batur – Kintamani. Sengaja memilih restoran buffet supaya bisa makan gila-gilaan dengan harga 100 ribu rupiah saja. Menikmatinya sambil melihat dua sejoli pemandangan alam, Gunung Batur yang tertidur dan Danau Batur yang menenang, secangkir Kopi Kintamani, pisang goreng disiram maple syrup. Mau? Sementara menunggu kalian berpikir, saya melanjutkan perjalanan menuju Ubud.
Untuk sampai ke Ubud, saya melewati rute Kintamani. Banyak sekali kedai-kedai kopi di tengah kebun kopi. Mereka menggoda saya untuk nabok rem. Maaf, ya Pi! Saya tidak tergoda. Saya terus menekan gas mobil hingga berhenti dan menyapa kemacetan Tegalalang karena banyak orang ndeso *hihihih* melihat Subak dan akhirnya sampailah di meriahnya jalanan Ubud. Saya pun sampai di Ubud.
Aroma sakral terasa di sepanjang jalan. Wangi dupa. Alunan gamelan tarian legong dan kicrikan tarian kecak di pura mulai terdengar. Mereka sedang berlatih untuk pertunjukan nanti malam. Saya tetap melanjutkan perjalanan menuju Jalan Raya Sanggingan. Letaknya setelah Antonio Blanco nanjak terus, dan aroma sakral masih terasa di sepanjang jalan.
Perjalanan pun terhenti di bungalow, tempat saya menginap semalam saja. Mandi. Istirahat. Leyeh-leyeh. Guling-guling. Malamnya akan ada acara sesantaian di Ubud, dan menghabiskan waktu semalaman.
Siapa mau ikut?






“sonofmountmalang”