Dongeng sebelum tidur malam ini sedikit berbau jorok. Jangan berpikiran aneh-aneh ya. Jangan horny. Jangan basah. Jangan ngaceng. Jangan crod. Oke? Sudah siap?

Ketika itu, kehidupan kaki Gunung Malang belum ada listrik. Cahaya untuk pergi dari satu tempat ke tempat lainnya saat malam menggunakan OBOR BAMBU, OBOR BOTOL atau LAMPU SENTER. Tahu obor bambu atau botol kan? Sepertinya saya pernah cerita soal obor bambu atau pun obor botol.

Saya termasuk anak, bisa dibilang, sedikit iseng. Iseng ya, bukan nakal atau bandel. Kebiasaan pada malam hari, anak-anak di kaki Gunung Malang, pergi mengaji di surau atau mushola. Dari dulu saya tidak begitu suka mengaji. Kebanyakan bolosnya. Pergi dari rumah izinnya mengaji, di tengah jalan bergabung dengan dua sahabat saya dan pergi ke kebun teh untuk menangkap burung tertidur di sarangnya atau sekedar nongkrong-nongkrong saja di jembatan. Tapi, keisengan ini, biasanya, hanya saya yang melakukannya. Kedua sahabat saya berperan sebagai kompor dan mereka tidak berani melakukannya.

    “Keisengannya apaan sih?” Tala sudah tidak sabar.

Jadi, ketika anak-anak gadis baru bubaran dari pengajian, mereka pulang berkelompok. Antara empat sampai lima gadis yang pulang bersamaan. Satu di antaranya membawa obor. Lainnya ikut. Obor digunakan secara etsafet. Mereka akan mengantarkan temennya yang terdekat. Rumah terakhir yang membawa obor terakhir. Atau, kalau mereka tidak berani membawa obor sendirian, biasanya minta ditemani anak-anak lainnya yang rumahnya berdekatan atau ya menginap di rumah temannya.

    “Jadi apa isengnya?” Tanyanya tidak sabaran.

Saya sudah menunggu gadis-gadis ini lewat di jembatan. Sebetulnya, triknya tidak hanya menunggu di jembatan. Bisa juga diam-diam ikut di belakang atau datang dari balik pohon. Pokoknya banyak cara. Tergantung kondisi dan situasi.

Ketika sudah mendekati gadis-gadis itu, saya meniup obornya. Suasana menjadi gelap gulita dan mereka sedikit panik, meskipun kejadian itu sudah terbiasa. Di saat itulah saya memeluk salah satu di antara mereka. Aw! Aw! Aw! Setelah selesai memeluk, saya kabur sebelum mereka menyalakan obornya. Selain memeluk, biasanya sih, tidak sengaja tetenye kegerepe.

    “Hah?! Kamu gerepe tete?” tanyanya kaget.

    “Gerepe nggak sengaja. Kan meluk. Bisa aja tangan gerepe tete. Lagian kan tetenya masih dalam kondisi pertumbuhan. Jadi nggak ngaruh juga.”

    “Kacau! Cabul banget sih.”

    “Hahahah! Namanya juga anak-anak sih. Kan iseng. Nggak ada napsu waktu itu.”

    “Terus gadis-gadisnya marah?”

    “Ya nggaklah. Palingan besoknya juga aku ketauan.”

    “Terus kamunya diapain?”

    “Nggak diapa-apain. Kan mereka sebenarnya teman main di kaki Gunung Malang. Mereka sudah tahu keisenganku. Ya, palingan mereka bales meluk aku terus digelitikin sampe minta ampun. Malah pernah tuh aku nyaris dibugilin. Bajuku sampe robek-robek.”

     “Haaa?! Serius?”

    “Seriuslah! Pernah sampe tali kolor aku putus!”

    “Sama-sama iseng sih.”

Saya tertawa. Yah, namanya juga anak kecil ya. Nyolong-nyolong peluk. Nyolong-nyolong nyium. Nyolong-nyolong gerepe. Itu hal biasa. Pada jaman itu. Lagipula, waktu itu, di kaki Gunung Malang, ada mitos aneh. Katanya, kalau tete gadis sering digerepe, maka tetenya akan cepat tumbuh dan cepat jadi perawan matang alias sudah siap dilirik pemuda dewasa. Siap pacaran dan siap dinikahi tentunya.

    “Emangnya, nikah di usia berapa?”

    “Pada jaman itu sih, 13, 14 atau 15 tahun sudah ada yang nikah. Malah, 15 tahun sudah ada yang janda juga.”

    “Haaa??!” Tala kaget.

    “Iya. Itu dulu sekali. Sekarang sih kayanya jarang 15 tahun sudah nikah. Jarang lho ya. Palingan usia 16 tahunan baru banyak yang nikah.”

    “Berarti masih ada yang 15 tahun sudah nikah?”

    “Masihlah.”

    “Terus terus. Abis gerepe itu ngapain lagi?”

    “Ya, udah. Cuma sebatas gerepe lalu kabur. Gerepe kabur. Gerepe kabur.”

    “Mereka nggak pernah ngadu ke siapa gitu?”

    “Ya nggaklah. Kayanya itu sudah biasa deh di kaki Gunung Malang.”

    “Kacau juga pergaulan kamu ya.”

    “Eh, jangan salah. Ada yang lebih seru dan kacau lagi.”

    “Apa? Apa?!”

   “Itu ceritanya besok. Sekarang, berhubung tenggorokanku lagi nggak enak, dongengnya cukup sampai di sini dulu.”

    “Yaaaaahhh….! Sekarang aja deh…!”

    “Tahan sampai besok rasa penasarannya ya.”

    “Ahh! Payah nih! Sering banget dongengnya ketunda. Belum ngantuk banget nih matanya.”

    “Tenang…! Kita akan relaksasi bareng.”

Saya menutup dongeng sebelum tidur dengan mendinginkan AC, menaikkan volume suara hujan, suara aliran air di kali dan sayup-sayup Preludes-nya Chopin. Ini merupakan pengantar tidur yang sempurna, untuk saya. Sementara Tala, secara otomatis, akan terbawa emosi relaksasi. Kemudian dia akan tertidur mendahului saya.

Selamat tidur! Selamat belajar gerepe!

 

 


4 responses to “Dongeng (23) Gerepe Tete”

  1. Raf Avatar

    hoi, jomblo cabul.

    1. sonofmountmalang Avatar

      Hahahahahahahah! Ayo kamu belajar lagi sana:p

  2. chris13jkt Avatar

    Loh ini udah lewat berapa hari koq belum juga diceritain yang lebih seru itu? 😀

    1. sonofmountmalang Avatar

      Hahahahahah! Pelan pelan ah:))

komen sebagian dari blogging!:))

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: